Kereta api Gaya Baru Malam mulai berjalan perlahan. Ujung kepala kereta mulai memasuki area stasiun kota Jogjakarta. Terlihat petugas stasiun mulai mengibarkan bendera pertanda kereta haruslah berhenti. Sudah biasa kereta berhenti di stasiun Jogja kota barang waktu agak lama sekitar 30 menit.
Para pedagang asongan mulai ramai menjejali semua pintu gerbong. Bertujuan untuk menjajakan dagangan yang mereka bawa. Mencoba peruntungan dan nasib baik di setiap gerbong kereta barangkali ada yang mau membeli dari dagangan yang mereka jual sambil menampakkan wajah memelas. Sebagai salah satu strategi perdagangan yang mereka terapkan pada setiap pembeli.
Di gerbong nomor lima tepatnya tempat duduk nomor lima A. Rudi tengah termenung menatap langit-langit gerbong. Dalam benaknya sudah jauh aku dari kota kelahiran. Aku tak boleh mundur sebagai lelaki, aku harus berprinsip dan berpendirian teguh dan tidak boleh cengeng.
Sedangkan Moza yang sedari pagi menjadi temanya mengobrol tengah pulas tertidur berbantal lengannya sendiri. Dengan posisi tidur terduduk kepalanya iya sandarkan di dinding gerbong, karena Rudi dan Moza sama-sama mendapatkan tempat duduk pas di samping jendela berhadap-hadapan. Rudi tampak sesekali melirik ke arah wanita yang menemaninya menghapus sepi dalam gerbong kereta itu.
Rudi sempat bergumam dalam hati. Ada wanita yang pekerjaannya tiada halal. Tetapi iya begitu baik, sedangkan wanita yang kutinggalkan begitu baik, tetapi terikat dengan adat istiadat ketimuran yang kental. Andai saja wanita yang di depanku ini adalah Rindu.
"Kopi Mas," ucap salah satu pedagang asongan yang kebetulan lewat menawarkan kopi yang ia bawa. Sontak membuyarkan lamunan Rudi yang sedang iya nikmati sendiri dalam otak yang sepi.
"Oh iya Mas, boleh dua gelas ya kopi hitam," ucap Rudi meminta di buatkan.
"Baik Mas sebentar ya," ucap pedagang asongan mulai meracik kopi di dua gelas wadah plastik seperti bekas gelas air mineral tapi nampaknya masih baru mungkin ia beli khusus untuk menyeduh kopi dagangannya.
Dengan lincahnya tangan-tangan dan jemari-jemari pedagang kopi asongan menyeduh kopi pesanan Rudi. Mungkin sudah terbiasa atau memang sudah mahir sehingga kopi hitam dua gelas sudah cepat di sajikan.
Namun kopi seperti ini yah terima apa adanya rasanya yah begitu saja karena disajikan secara manual air seduhan pun berasal dari termos panas yang ia bawa dalam gendongan di belakang punggungnya.
"Ini silahkan Mas kopinya dua gelas," ucap pedagang asongan mengulurkan dua gelas kopi hangat pada Rudi.
"Berapa Mas harganya?" tanya Rudi bertanya harga kopi tersebut.
"Dua gelas jadi lima ribu Mas," ucap pedagang asongan seraya Rudi mengulurkan uang kertas dengan nominal pecahan lima ribuan.
Lalu sang pedagang asongan segera berlalu kembali dengan terus berteriak, "Kopi, kopi," ucapnya menuju gerbong selanjutnya.
Rudi menaruh dua gelas plastik berisi kopi hitam hangat diatas meja kecil yang menempel di dinding gerbong tepat di hadapannya. Satu gelas ia taruh di hadapannya, satu gelas lagi iya taruh di hadapan Moza yang masih tengah tertidur pulas.
Namun harum aroma kopi seketika membangunkan Moza dari lelapnya. Nampaknya bau kopi yang menyengat membuat Indra penciuman Moza tak bisa di bohongi akhirnya terbangun jua.
"Loh kopi, wah enak ini. Dik Rudi yang beli, ia kah?" ucap Moza yang terbangun dari tidurnya.
"Ia Mbak Moza, kebetulan aku suka minum kopi dan dari tadi pagi belum sekali pun aku minum. Barusan kebetulan ada pedagang yang menawarkan kopi sekalian aku belikan untuk Mbak Moza," ucap Rudi sambil menyeruput segelas kopi di tangannya.
"Wah jadi ngerrepotin Dek Rudi terimakasih loh Dek," ucap Moza sambil mulai mencicipi kopi hitam satu gelas di hadapannya.
"Kopi kereta memang lain ya Dek, walau rasanya hambar tapi kenikmatannya pasti terngiang sampai nanti saat kita sudah lama tak naik kereta berasa kangen suasananya," ucap Moza tersenyum manis.
Rudi hanya memandangi Moza sambil ikut tersenyum tipis dan terus menyeruput kopi kereta di bawah langit stasiun Jogja kota.
"Eh Jogja ya ini?, baru berhentikah ini kereta Dek?" ucap Moza memandang keluar jendela memastikan kalau stasiun di luar kereta adalah stasiun Jogja.
"Katanya tadi sih begitu Mbak, Mbak Moza sudah sering naik kereta rupanya Sampek hafal banget bentuk stasiun," ucap Rudi mengernyitkan dahi tanda heran dengan wanita di depanya.
"Seringlah Dek setahun bisa lima kali aku bolak-balik dari Jombang ke Jakarta," ucap Moza.
"Hayuk turun sebentar kita cari nasi bungkus aku lapar banget ini Dek," ucap Moza menarik tangan Rudi mengajaknya turun sebentar dari kereta, karena kereta pasti berhenti agak lama di stasiun Jogja kota.
"Memang tidak apa-apa kita turun Mbak, nanti ketinggalan lagi kalau keretanya berangkat?," ucap Rudi agak menahan tarikan tangan Moza.
"Sudah ayo enggak apa-apa Dek Rudi, kereta masih lama berangkat lagi aku sudah sangat lapar ini," ucap Moza terus menarik tangan Rudi.
Akhirnya Rudi mengalah jua dan ikut turun dari kereta bersama Moza. Untuk mencari pedagang nasi bungkus di sekitar setasiun kota Jogja.
Jam dinding besar nan gagah yang menempel ogah di tengah dinding muka stasiun nampak menunjuk pukul 00.05 itu pertanda bahwa kereta akan berjalan sekitar 25 menit lagi. Sedangkan suasana stasiun yang berkabut mulai terasa dingin bagi siapa saja yang berada di sana.
Nampaknya Moza yang hanya memakai baju agak terbuka terutama di bagian dada dan memakai celana pendek di atas lutut mulai merasa kedinginan. Terlihat tubuhnya mulai menggigil tapi tidak dirasakannya. Rudi yang berdiri di sampingnya mulai mengerti dan melepaskan jaket kulit yang ia kenakan lalu di pakaikanlah pada Moza agar tak terlalu kedinginan.
"Eh loh Dek kenapa jaketmu kau lepas dan kau pakaikan pada ku," ucap Moza menatap Rudi agak malu-malu.
"Sudahlah Mbak aku lihat Mbak Moza agak menggigil jadi daripada Mbak masuk angin nanti," ucap Rudi seraya tersenyum.
Moza Akhirnya menurut apa kata Rudi dan ikut tersenyum. Dalam hati Moza bersenandung lirih akan semakin bunga simpati pada Rudi, karena jarang cowok yang perhatian kepadanya bukan hanya memperhatikan kemolekan tubuhnya saja.
"Buk pesan nasi bungkus dua ya yang satu pakai ayam, kamu mau ikan apa Dek?," ucap Moza bertanya pada Rudi.
"Samakkan saja Mbak," ucap Rudi menjawab.
"Sama Buk," ucap Moza memesan nasi bungkus di salah satu warung di salah satu sudut stasiun Jogja kota.
"Minumnya neng?" ucap Ibu penjual.
"Aku teh manis hangat saja Buk," ucap Moza.
"Kalau suami Neng minumnya apa?" ucap Ibu penjual.
Lalu Moza dan Rudi saling menatap mendengar Ibu penjual nasi bungkus bertanya dengan mengira Rudi adalah suami dari Moza.
Hahaha...,
Rudi dan Moza tertawa berbarengan, "Bukan Buk ini teman saya, memang kami satu kota tapi baru kenal tadi di kereta," ucap Moza melihat Rudi yang hanya tersenyum.
"Oalah Ibu kira suaminya Neng cantik," ucap Ibu penjual nasi bungkus.
"Bukan Bu mana pantas aku mendampingi pria baik seperti Dek Rudi ini," ucap Moza mulai menundukkan kepala mengingat akan pekerjaannya sebagai pemuas nafsu lelaki hidung belang namun tetap ia rahasiakan agar tak ada orang tahu, tetapi tetap saja ia selalu merasa sedih akan pekerjaannya.
Tiba-tiba tangan kekar Rudi mengelus pundak Moza sambil tersenyum. Moza yang mendapatkan perlakuan lembut dari Rudi menoleh pada Rudi seraya tersenyum padanya.
"Aku bukan lelaki sebaik itu Mbak," ucap Rudi menghibur Moza.
"Ini neng pesanannya dua nasi bungkus dan dua teh manis hangat, aku samakkan saja ya minuman Mas gantengnya?" ucap Ibu penjual.
"Ia Buk tak apa jadi berapa semua?" ucap Moza.
"Loh biar aku yang bayar Mbak," ucap Rudi sambil mengeluarkan dompet.
"Sudah aku saja lakukan baru mau memulai perantauan tentu akan butuh banyak biaya nanti di kota tujuan mu," ucap Moza.
"Semua jadi 14 ribu neng cantik," jawab Si Ibu penjual nasi bungkus.
"Sudah ayo kita kembali ke kereta," ucap Moza.
Namun belum beberapa langkah Rudi dan Moza keluar dari warung nasi di salah satu sudut stasiun kereta api mulai bergerak perlahan hendak berangkat kembali meninggalkan stasiun Jogja kota.
"Loh Mbak keretanya hendak berangkat," teriak Rudi.
"Loh ia Dek ayo cepat," ujar Moza mulai mengajak Rudi berlari.
Laju kereta semakin cepat namun Rudi dan Moza belum sampai di atas pintu gerbong kereta setidaknya sedikit lagi sampai kurang satu meter lagi. Dengan sigap Rudi menggendong tubuh Moza dan mengangkatnya agar dapat segera naik ke atas pintu kereta.
Wajah Moza nampak kaget dan detak jantungnya mulai berdenyut kencang dalam hatinya berkata, tak pernah iya segugup ini saat di sentuh lelaki. Walau sudah sering sekali tangan-tangan kotor lelaki hidung belang menjamah setiap lekuk tubuhnya. Kali ini berbeda tangan kekar pemuda kampung nan lugu yang menyentuh tubuhnya membuat iya terdiam di ujung pintu kereta.
Setelah Rudi berhasil naik kedalam kereta melalui salah satu pintu gerbong bersama Moza yang berdiri mematung di hadapannya mereka saling memandang lalu tertawa bersama.
Kereta api gaya baru malam pun mulai melaju kencang membelah kota Jogja menuju lurus ke barat dengan tujuan akhir Stasiun Gambir Jakarta. Membawa semua kenangan Jaka di kota kelahiran Jombang tercinta dan membawa kesedihan Moza akan pekerjaan yang ia geluti di kota Jakarta.