Baik Alesta maupun Ansel diam, setelah sekitar setengah jam yang lalu mereka pergi dari kediaman rumah Ibu Alesta. Kini mereka tengah berada di dalam mobil yang secara tiba-tiba mogok di jalan.
"Ini semua karena mu!" Dengus Ansel secara tiba-tiba membuat Alesta seketika menatap bingung Ansel, apa salahnya bukankah Ansel sendiri yang telah mengejutkan semua orang dengan menyeretnya secara tiba-tiba? Kenapa laki-laki yang tengah duduk disampingnya menyalahkan dirinya?
Sesaat pandangan mata mereka bertemu, sebelum akhirnya Ansel terlebih dahulu memutuskan kontrak mata antara dirinya dan Alesta. Ansel saat ini tidak ingin mencari mati, terhadap Alesta.
"Maaf, aku tidak bermaksud mengatakan ini!" ujarnya menatap butiran air hujan yang terus mengguyur Ibu kota.
"Aku benci hujan!" Alesta memandang diam Ansel yang secara tiba-tiba berucap begitu saja.
"Kenapa Bapak, bicara seperti itu? Bukankah setelah hujan itu akan ada pelangi!" Ansel diam mendengus pelan, sebelum akhirnya mengeluarkan ponselnya untuk melihat jam sebentar. Sebelum akhirnya menyenderkan kepalanya pada dasbor mobil dan menutup matanya seolah menikmati guyuran hujan.
"Jangan bicara seperti itu, kau bukan seorang pujangga. Lagipula tidak ada seorang perempuan yang menjadi pujangga!" Seketika Alesta merenggut kesal terhadap penurunan Ansel. Entah kenapa saat ini Alesta benar-benar sedikit berpikir bodoh terhadap imajinasinya, jika dirinya dan Ansel akan membicarakan sesuatu yang baik. Mungkin seperti yang berada dalam adegan film drakor yang sering ia lihat.
"Lagipula aku mengatakan hal ini, karena aku sangat rugi dalam segala hal, jika hujan turun para pegawai di kantor akan datang telat dan hanya akan sibuk melihat hujan." Alesta memilih diam mendengarkan lanjutan ucapan Ansel yang masih saja berpikir mengenai perusahaan yang jelas-jelas perusahaan yang dipimpin Ansel saat ini mengalami kemajuan yang cukup pesan dalam kurun waktu lima tahun ini.
"Sebenarnya kita mau kemana?" Ansel sesaat menarik napas pelan menatap penuh keraguan pada Alesta yang pasti saat ini tengah menunggu jawabannya.
"Aku tidak tau, sudahlah jangan terlalu banyak tanya. Aku tidak membawa ponsel!" Sentak Ansel membuat Alesta yang melihatnya hanya dapat menatap kearah saku baju Ansel dimana baru beberapa menit yang lalu Ansel memainkan ponselnya.
"Maaf Pak, tapi bukankah ponsel Bapak ada di saku!" Seketika mendengar penuturan Alesta membuat Ansel merasa salah tingkah sendiri dan memilih diam untuk menghubungi bengkel langganannya.
**
Aroma semerbak ekspreso mengguar begitu saja ketika Alesta dan Ansel memilih untuk berteduh disalah satu cafe untuk menunggu mobil mereka diperbaiki. Alesta tersenyum sesaat begitu Ansel tanpa bicara banyak memesankan dirinya coffie art, namun senyum Alesta seketika pudar begitu seorang perempuan bergabung dengan mereka.
"Ansel!" ujar perempuan tersebut tampak ramah, kemudian mengalihkan perhatiannya kearah Alesta yang hanya dapat menunjukan senyum yang jelas begitu canggung.
"Kau, bukankah sekertaris waktu itu." ujar perempuan tersebut membuat Alesta hanya dapat sebisa mungkin memasang raut wajah dengan senyum seakrab mungkin dengan perempuan entah siapa itu, yang pasti saat ini Alesta yakin jika perempuan itu merupakan salah satu dari banyaknya kekasih Ansel.
"Ya, anda benar!"
"Aku kira waktu itu Ansel tidak akan menerimamu, aku masih ingat sekali ketika Ansel begitu kesal menunggumu. Tapi lupakan saja," Sekarang Alesta ingat perempuan di depannya bernama Marissa, dan perempuan ini pernah ia lihat ketika pertama kali dirinya masuk ke ruang kerja Ansel.
"Perlukah, kita membahas itu. Aku sudah melupakan insiden itu. Kenapa kau kemari Marissa?" ujar Ansel mencoba untuk melupakan kejadian saat itu.
"Tidak ada aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang penting tentang hubungan kita, kupikir aku ingin menemui dirimu besok dan kebetulan sekali kita bertemu!" ujar Marissa mulai serius berbicara dengan Ansel
"Bisakah kita membicarakan ini berdua? Kau sekertaris, ini bayar pesanan kami. Kau bisa memesan apapun lagi, dan ini untukku!" ujar Marrisa dengan entengnya mengusir Alesta, yang hanya diam memandang Ansel yang dalam hati diam-diam takut menunggu respon istri.
Sesaat Alesta hanya menarik sedikit senyum paksa pada bibirnya mengambil beberapa lembar uang dari Marrisa dan memilih pergi meninggalkan dua orang yang entah membicarakan apa. Sakit? Tentu saja siapa yang tidak sakit melihat suaminya bicara dengan orang lain.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan!" ujar Ansel begitu saja setelah beberapa menit, diantara mereka hanya ada keterdiaman.
"Aku hanya ingin mengatakan, kenapa kau memutuskan hubungan kita?" Ansel mendesah pelan sembari matanya menatap kearah Alesta yang terlihat sibuk membaca majalah yang sengaja disediakan cafe tempat mereka berteduh.
"Aku pikir, aku tidak perlu menjelaskan lagi. Seharusnya model seperti dirimu tau betul, pimpinan perusahaan seperti diriku tidak bisa merusak harga diri perusahaan. Lagipula aku juga sudah katakan Minggu lalu jika aku suka menikah, aku tidak melukai istriku!" Dusta Ansel untuk menutupi rasa takutnya, Ansel benar-benar masih mengingat bentul bagaimana Alesta begitu murka sampai melempar ponselnya .
"Kau tidak takut sama sekali dengan gertakan ibumu, kenapa kau harus takut dengan istrimu. Atau, kau sudah mulai menjalin hubungan dengan perempuan itu!" Tunjuk Marrisa kearah Alesta yang masih dengan posisi yang sama membaca majalah dari kejauhan, Ansel diam sesaat mengabaikan ocehan Marrisa.
"Bukan urusanmu, akan lebih baik kita urusi urusan kita masing-masing. Lagipula, sejak awal bulan aku yang meminta hubungan ini, tapi kau!"
"Jika sebagai perempuan kau tidak ingin terlalu, jangan lukai orang lain. Dan, jangan sangkut pautkan masalah kita dengan sekretaris ku. Perlu kau tau, dia sangat profesional. Tidur seperti kau yang suka mengulur waktu!" ujar Ansel setenang mungkin memilih untuk melangkah mendekati Alesta. Inilah satu-satunya cara Ansel untuk menghindari pertengkaran hebat, Marrisa orang yang egois sedangkan istrinya adalah orang yang emosian. Jika, itu sampai terjadi bisa-bisa Marrisa akan habis di tempat.
"Aku sudah selesai, ayo!" ujar Ansel tanpa banyak bicara langsung menarik tangan Alesta untuk segera keluar dari cafe, tentu saja apa yang dilakukan Ansel tak lepas dari mata Marrisa yang masih tak terima dengan apa yang dilakukan Ansel.
"Aku pernah melihatnya sebelum ini,tapi dimana?" ujar Marrisa secara tiba-tiba teringat sesuatu yang tak asing baginya.
**
Sedangkan saat ini Ansel merasa bingung sendiri dengan apa yang ingin ia lakukan dan kali ini mereka berdua berakhir di mal yang terletak tidak jauh dari cafe tempat tadi mereka bertemu dengan Marrisa.
"Kau ingin berbelanja apa?" Pertanyaan itu langsung terlontar begitu saja dari mulut Ansel begitu mereka berjalan menyusuri berbagai gerai di mal.
"Kenapa kau menatap diriku seperti itu!" ujar Ansel setengah membentak, begitu sadar terus dipandangi sang Istri. Sedangkan Alesta jangan ditanya, dirinya hanya mampu diam menundukkan kepalanya takut.
**