Chereads / TANGGUH PERKASA / Chapter 22 - Untaian 22: Perjuangan Mencari Kerja

Chapter 22 - Untaian 22: Perjuangan Mencari Kerja

Tangguh yang dulu sempat tersesat di pulau asing telah kembali ke kampungnya, namun saat ini ia berkelana dan tinggal di kota metropolitan untuk memperjuangkan desanya dan memberi pelajaran pada orang–orang yang telah merusak desa mereka.

Di sisi lain, saat ini justru ayahnya masih berada di pulau itu. Pak Tono bersama Joko, yang selama bertahun-tahun mencari Tangguh, kini telah menemukan jejaknya. Namun Tangguh telah meninggalkan pulau itu. Mereka pun mencoba membuat perahu untuk kembali ke kampung, berharap Tangguh telah kembali ke rumah.

Dengan menggunakan peralatan yang digunakan Tangguh dan dukun Parti, Pak Tono dan Joko mulai membuat perahu. Kayu–kayu mulai dikumpulkan. Mereka bekerja dengan penuh semangat. Walau cucuran keringat membasahi kening. Bahkan Joko walau hanya menggunakan satu tangan, tapi semangatnya tak pernah surut untuk menggergaji kayu, memaku, dan menghaluskannya hingga menjadi perahu. Baginya, kekurangan haruslah dijadikan sebagai pemicu semangat untuk bekerja lebih keras, bukan untuk dikeluhkan yang akan membuat diri semakin lemah.

Setelah seharian bekerja keras dengan bercucuran keringat, akhirnya di malam itu jadilah sebuah perahu kecil yang akan mereka gunakan untuk mengarungi samudra biru menuju Desa Pasirputih. Mereka duduk melepas lelah memandangi perahu yang telah mereka buat. Pak Tono membayangkan perahu itu membawanya untuk bertemu dengan istri dan anaknya yang selalu ia dambakan sejak lama tak bertemu, begitu pun dengan Joko yang juga berharap bisa segera bertemu kedua orang tuanya. Malam itu mereka terlelap dalam lelah di mulut gua.

***

Ayam mulai berkokok, matahari perlahan mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur, menembus sela-sela batang pohon yang berderet di hutan. Pak Tono dan Joko bersiap memulai perjalanan mereka. Perbekalan tak lupa mereka siapkan. Dan yang terpenting adalah tenaga, karena perjalanan akan memakan waktu cukup lama.

Ketika semua telah disiapkan, perahu mulai ditarik menuju tepi pantai. Menelusuri jejak perahu yang dipakai Tangguh. Joko yang hanya memiliki satu tangan berusaha mengeluarkan semua tenaganya tuk terus menarik perahu dengan tambang. Terlihat keringat bercucuran. Namun tiba-tiba Joko berteriak kesakitan. Tangannya terkilir karena menahan beban yang terlalu besar. Pak Tono pun berhenti dan melihat kondisi tangan Joko. Rupanya cederanya cukup parah. Ada pergeseran di persendian sikunya. Joko tak bisa melanjutkan usahanya menarik perahu itu.

"Maafkan saya, Pak, saya tak bisa menarik perahu ini," lirih Joko dengan raut penyesalan.

"Sudahlah nak Joko, saya mengerti. Biar saya yang berusaha menarik perahu itu."

Pak Tono berusaha keras menarik perahu hingga tepi pantai. Ia harus mengeluarkan tenaga lebih banyak, kerena kali ini hanya menarik sendiri. Keringat bercucuran. Otot-ototnya amat tegang. Namun beberapa langkah di depannya, pegangannya terlepas, dan ia pun terjatuh. Kedua lututnya terbentur batu dengan amat keras. Pak Tono merintih kesakitan. Sementara Joko yang panik segera menghampirinya.

"Pak Tono, kau tak apa-apa?"

"Kakiku.... kakikuuuu, sakit sekali...!!!" Pak Tono merintih kesakitan.

Pak Tono bisa sedikit menggerakkan kakinya, namun amat sakit sekali, apalagi harus berdiri dan berjalan. Cedera yang ia alami cukup parah. Benturan keras itu tepat mengenai tempurung lututnya.

Pak Tono dan Joko amat menyesal kenapa mereka berdua mengalami cedera di saat mereka telah menemukan jejak Tangguh di pulau itu. Dengan sangat terpaksa, mereka pun menunda perjalanan itu sampai kondisi mereka benar-benar pulih.

***

Di Jakarta, perjuangan Tangguh, Cahyo, dan Solihin untuk mencari Jamal, Badrun, dan Tohir yang telah menggusur desa mereka memang belum selesai. Mereka pun tak melupakan niat untuk mencari dukun Parti yang terpisah. Namun yang terpenting bagi mereka saat ini adalah mencari pekerjaan untuk bertahan hidup. Mereka merasa tak enak diberi makan dan tinggal gratis terus di rumah Pak Sobar. Mereka merasa tak bisa berpangku tangan dan tergantung pada orang lain terus.

Tanpa membawa ijazah apa pun, mereka mencoba mencari pekerjaan di kota metropolitan. Orang yang memiliki ijazah SMA saja sulit mencari pekerjaan yang layak di kota besar, apalagi mereka yang datang dari desa tanpa membawa ijazah apa pun.

Mereka berangkat dari rumah Pak Sobar di pagi hari setelah berpamitan dengan Pak Sobar. Mereka mulai mendatangi sebuah perusahaan dan bertanya apakah ada lowongan di perusahaan itu.

"Pak, maaf mau nanya. Apa di sini ada lowongan pekerjaan? Kami sedang mencari pekerjaan, Pak."

"Oh, maaf, di sini sedang tidak ada lowongan," begitulah jawabnya.

Mereka mencoba ke beberapa perusahaan lain. Dengan berjalan kaki mereka terus menelusuri kota, bertanya di setiap perusahaan yang mereka lewati. Namun jawabnya masih sama. Tidak ada perusahaan yang sedang mencari lowongan. Mereka mulai mengerti mengapa di kota ini begitu banyak pengagguran dan gelandangan yang tinggal di jalan. Untuk mencari pekerjaan memang cukup sulit. Bahkan mereka pernah diusir mentah–mentah oleh satpam salah satu perusahaan. Tapi mereka tidak menyerah. Mereka tak akan menjadi benalu di kota itu.

Entah berapa puluh perusahaan telah mereka datangi pada hari itu, dari pagi hingga sore. Dan di sore hari mereka akhirnya menemukan lowongan pekerjaan di suatu perusahaan. Setelah mereka bertanya, mereka pun kali ini langsung disuruh masuk untuk menemui bagian HRD untuk diwawancarai.

"Tolong sebutkan nama kalian satu persatu?" tanya HRD tersebut.

"Tangguh Perkasa."

"Cahyo Permana."

"Solihin Muhidin."

"Kalian mau melamar pekerjaan sebagai apa?" HRD itu pun bertanya lagi.

"Ehhmmm, apa saja deh, Pak. Yang penting halal dan pekerjaan yang layak buat kami," jawab Tangguh.

"Kalian bisa komputer?"

"Ehhmm...." Mereka terdiam saling memandang lalu menggelengkan kepala, karena tak ada satu pun di antara mereka yang mengerti komputer.

"Lalu apa yang kalian bisa, kemampuan apa yang kalian miliki?" HRD itu kembali bertanya.

Mereka kembali terdiam tak berucap.

"Perlu kalian ketahui bahwa perusahaan ini hanya menerima orang yang memiliki kemampuan saja terutama kemampuan mengoperasikan komputer," ucap HRD itu.

Mendengar apa yang diucapkannya, mereka bertiga menundukkan kepala dengan wajah yang kecewa. Lantas mereka berdiri tuk meninggalkan ruangan itu.

Tapi rupanya sebelum mereka meninggalkan ruangan itu, HRD pun berucap, "Tangguh, Cahyo, Solihin, mau ke mana kalian?! Saya kan belum bilang kalau kalian tidak diterima di sini," ucap HRD itu.

"Maksud Bapak?" tanya Tangguh.

"Kalian kan bilang kalau kalian butuh pekerjaan. Kalian juga bilang kalau kalian sudah seharian mencari pekerjaan dan kalian mau kerja apa saja asalkan halal."

"Jadi Pak, apa kita bisa bekerja di sini?"

"Ya, kalian bisa bekerja di sini," jawab HRD itu.

"Tapi bukannya Bapak bilang kalau yang diterima di perusahaan ini hanyalah orang yang memiliki kemampuan?" tanya Solihin.

"Ya, memang. Bukankah semua orang memiliki kemampuan dalam bidang tertentu. Lalu mengapa kalian merasa tidak memiliki kemampuan?"

"Jadi pekerjaan apa pak yang bisa kami lakukan?" kata Tangguh.

"Ehm... begini, kalian kan tidak bisa komputer. Tapi saya lihat sepertinya kalian pekerja keras. Setiap hari perusaahan kita kedatangan barang dari suplayer yang kita simpan di gudang, lalu kita proses. Saya rasa kalian bisa membantu mengangkat barang–barang tersebut. Tidak apa-apa kan kalau kalian saya tempatkan di bagian gudang?"

"Tidak apa-apa, Pak, tentu kami senang sekali. Terima kasih, Pak," ucap Tangguh bersyukur.

"Kalau begitu kalian bisa mulai bekerja besok. Sekarang kalian pulanglah dan beristirahat. Kalian pasti sudah capek seharian keliling-keliling kota untuk mencari pekerjaan."

Mereka pun kembali ke rumah Pak Sobar dengan perasaan lega karena telah mendapatkan pekerjaan, walaupun hanya sebagai pengangkut barang di bagian gudang.

"Ternyata emang bener, Guh, ketika segala upaya dilakukan tiada henti dan tiada kata menyerah. Maka hasil akan datang," ujar Cahyo.

"Ya, itu bener, Yo, Hin."

***