Tangguh, Cahyo, dan Solihin bergegas pulang kembali ke rumah Pak Sobar, tempat mereka menumpang saat ini. Mereka sampai pukul setengah empat dini hari. Ketika tiba di rumah Pak Sobar, ternyata pintu tidak dikunci. Lalu dibukalah pintu itu secara perlahan dan mereka melihat Pak Sobar duduk tertidur di sofa ruang tamu. Ketika mereka datang, barulah Pak Sobar terbangun dari tidurnya.
"Ya ampun, Pak Sobar, Pak Sobar sudah lama di sini?" ucap Tangguh bertanya dan merasa tidak enak karena baru pulang.
"Ya, saya menunggu kalian di sini," ucap Pak Sobar yang tetap santun.
"Ya ampun maafkan kita, Pak," ucap Tangguh yang merasa bersalah.
"Iya Pak, maafkan kita," Cahyo dan Solihin pun ikut minta maaf.
"Ya sudah, nggak apa–apa. Sekarang kalian istirahatlah. Masih ada waktu sejam lagi sebelum adzan subuh. Eh... tapi apa kalian sudah makan?"
Mereka hanya memegang perut dan menggelengkan kepala. Suara keroncongan dari perut pun terdengar jelas.
"Ya sudah, di meja ada makanan, tapi maaf yah kalau sudah dingin."
"Pak Sobar, justru kami yang harus minta maaf karena selalu merepotkan Bapak," ujar Tangguh menundukkan muka.
"Ah sudahlah... tidak apa-apa."
"Terima kasih banyak, Pak," ucap Tangguh.
"Iya, terima kasih banyak, Pak," ucap Cahyo dan Solihin.
Pak Sobar tersenyum dan mengangguk. Sesuai namanya, Sobar, ia adalah seorang yang amat sabar.
Tangguh, Cahyo, dan Solihin makan dengan lahap, mengganjal rasa lapar yang mereka rasakan. Dan kini mereka hanya punya waktu setengah jam untuk tidur di malam itu sebelum mulai kerja di hari pertama. Tapi sialnya, rasa gerah dan keringat yang mereka rasakan membuat mereka tak bisa tidur. Akhirnya mereka tak tidur sama sekali di malam itu.
Mereka terbangun dari tiduran. Setelah shalat subuh, barulah mereka tertidur karena rasa kantuk yang mulai mendera dan memberatkan kelopak mata. Namun ketika pukul enam pagi mereka terbangun dengan kondisi masih ngantuk berat. Tapi mereka harus mempersiapkan diri untuk kerja di hari pertama. Mandi, sarapan dan berganti baju dengan baju yang baru mereka beli. Tak lupa mereka pun membalurkan minyak wangi milik Cahyo. Walaupun berat, namun mereka tetap berusaha semangat menjalani hari pertama kerja.
Persiapan yang maksimal itu ternyata membuat mereka tak sadar terhadap waktu. Tak terasa waktu sudah pukul setengah tujuh pagi, sedangkan mereka harus datang pukul tujuh pagi. Mereka bergegas dengan langkah cepat berangkat menuju kantor. Menaiki bus kota dan menghadapi kemacetan membuat mereka semakin kesal. Dan akhirnya mereka pun telat lebih dari setengah jam sampai di kantor di hari pertama bekerja.
Saat tiba di kantor, mereka langsung menuju tempat mereka bekerja, yaitu gudang. Di sana tengah diadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh kepala gudang. Ketika mereka datang, justru rapat yang tadinya serius berubah menjadi gelak tawa, ketika para pekerja melihat penampilan Tangguh, Cahyo, dan Solihin.
Hari itu mereka memakai pakaian yang sangat rapi, kemeja tangan panjang lengkap dengan jas, dasi, celana kantoran, dan sepatu pantovel.
"Guh, Hin, memang ada apa dengan penampilan kita. Kita kan sudah rapi begini?" tanya Cahyo sembari melihat pakaian yang dikenakannya.
"Ah, dasar bodoh. Kau kan yang punya ide supaya kita berpakaian seperti ini. Kau lihat saja pakaian pekerja yang lain, mereka memakai kaos dan handuk di leher. Kita kan bekerja di bagian gudang...!!!," kata Tangguh kesal.
"Ya maaf, aku terlalu senang karena kita diterima kerja di kantor."
"Hai, kalian ini malah ngobrol. Kalian pegawai baru kan, baru bekerja disini sudah datang telat. Kalian ini gimana, sih??!!" gertak kepala gudang memarahi mereka diiringi tawa dari para pekerja lainnya.
"Ya, maaf, Pak. Kami berjanji akan kerja sebaik mungkin dan hal ini tak akan terualang kembali."
"Oke sa....saya pegang jan...janji kalian.... wuhuhahahahaha..... hahahahahaha,"
Kepala gudang yang marah itu pun tak kuasa menahan tawanya ketika ia melihat penampilan Tangguh, Cahyo, dan Solihin, yang berpakaian terlalu rapi dengan label dan harga pakaian yang masih tergantung di kerah baju mereka.
Tangguh, Cahyo, dan Solihin, malu sekali karena sudah memakai pakaian yang paling rapi tapi ternyata mereka hanya kuli angkut di gudang dan mereka lupa membuang label dan harganya, karena berangkat terburu-buru.
"Ya sudah, sekarang kalian mulai kerja!"
"Baik, Pak."
***
"Sial betul kita, Guh, udah bela–belain ngamen, ngegedor toko orang Cina, ga tidur demi dapet baju bagus, eh ternyata malah jadi gini, malu–maluin."
"Iya nih, malah kerjaannya ngangkat yang beginian, bikin baju kotor," sahut Solihin.
"Udahlah, kalian gak usah ngeluh gitu. Udah bagus orang seperti kita ini dapet kerjaan," ucap Tangguh menenangkan mereka.
Hari itu adalah hari pertama mereka bekerja. Hari–hari yang seharusnya mereka sukai dan mereka sambut dengan semangat, justru mereka merasa malu dan sial. Di sore harinya, mereka pulang dengan tertunduk lesu. Tangguh ternyata tidak pulang bareng Cahyo dan Solihin. Itulah yang membuat Cahyo dan Solihin bertanya–tanya di manakah Tangguh sekarang. Karena setibanya di rumah Pak Sobar, Tangguh tak ada di sana. Mereka mencari Tangguh ke luar rumah dan akhirnya mereka menemukan Tangguh sedang sendiri menyepi di sebuah taman kecil di komplek. Mereka pun mendekatinya.
"Guh, sepertinya kamu sedang bersedih, ada apa?" tanya Cahyo.
"Iya Guh, yang tadi gak usah kamu pikirin," Saran Solihin.
"Oh, aku gak sedang mikirin itu, kok. Aku cuma merenung aja, dulu aku pernah berjanji pada ibuku untuk lulus minimal jadi sarjana dan bekerja di pekerjaan yang terhormat. Tapi apa Yo, Hin, aku sekarang malah jadi begini. Sekolah hancur, kerja cuma jadi kuli angkut di gudang. Dan hingga kini aku masih belum tau di mana ibu dan ayahku," ujar Tangguh menundukkan muka.
"Guh, sabar yah, kita yakin kok kamu suatu saat bisa ketemu sama orang tua kamu. Itu pula kan salah satu tujuan kita datang ke kota ini," Cahyo menenangkan Tangguh dan merangkul pundaknya.
"Betul Guh, kita akan terus bantu kamu buat nyari ibu kamu yang mungkin ditawan sama tiga penjahat tengik itu," Solihin pun ikut menenangkannya.
"Iya, makasih ya, kalian emang sahabat yang bisa diandalkan," ucap Tangguh kepada kedua temannya.
"Oh iya, kita kan sekarang sudah kerja, rasanya nggak enak ya kalo kita numpang terus di rumah Pak Sobar. Kayanya kita harus nyari kosan atau kontrakan," usul Tangguh.
"Kamu betul, Guh, Pak Sobar itu terlalu baik, terlalu sabar."
"Dan kita terlalu merepotkannya."
"Dan kita terlalu membuatnya susah."
"Yah, kalo gitu hari minggu nanti kita mulai cari kosan atau kontrakan baru."
"Betul Guh, tapi sekarang kita harus kembali ke rumah Pak Sobar, jangan sampai Pak Sobar nungguin kita lagi di ruang tamu."
"Kamu benar Hin, ayo kita pulang!"
Mereka pun kembali ke rumah Pak Sobar. Keesokan harinya mereka mulai kerja lagi. Kali ini hanya memakai kaos biasa. Baju kantoran yang rapi itu tidak dipakai lagi dan hanya digantung di kamar. Ya, mungkin mereka berharap suatu hari nanti baju itu akan terpakai ketika mereka sudah sukses.
***