Fatamorgana adalah sesuatu yang nampak oleh mata namun sebenarnya tak ada. Sementara mimpi adalah pengalaman yang ada di alam bawah sadar yang hanya ada dalam tidur. Jika bukan keduanya, berarti itu adalah harapan yang menjadi nyata.
***
Hari itu, Tangguh kerja lembur hingga larut malam. Ada beberapa pekerjaan yang harus ia bereskan. Kali ini ia pulang tidak bareng dengan kedua sahabatnya yang telah pulang sejak sore tadi.
Sehabis pulang lembur di malam itu, ia merasa amat lelah. Otot-ototnya seolah enggan lagi menopang berat tubuhnya, bahkan termasuk kelopak matanya yang terasa begitu berat.
"Toktoktok... toktoktok.....," suara ketukan pintu terdengar dari lantai bawah. Pintu segera dibuka oleh Angga, anak kosan di lantai bawah.
"Ya, ada apa ya, Mbak, mau cari siapa?" tanya Angga pada tamu yang datang.
"Ehm..... Tangguhnya ada?" ucap wanita itu dengan tutur kata yang halus.
"Oh Tangguh, Tangguh sih ada di lantai atas. Ntar saya panggilin ya, Mbak."
...…..
"Guh, ada yang nyariin elu tuh," ucap Angga memanggil Tangguh di depan kamarnya.
"Siapa?" tanya Tangguh heran.
"Nggak tau, tapi perempuan sih, katanya dia nyariin elu."
"Siapa, sih?" tanya Tangguh pada dirinya sendiri.
Tangguh pun turun ke bawah walau wajahnya masih kusut. Ia hendak menemui orang yang mencarinya itu dengan rasa penasaran.
"Hai, kamu yang mencariku?" tanya Tangguh pada wanita yang mencarinya itu.
Wanita yang sedang menghadap ke arah berlawanan itu membalikkan badannya secara perlahan. Spontan Tangguh dibuat begitu terkejut ketika melihatnya. Jantungnya berdegup cukup kencang, keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya. Ia terpaku menatapnya, Terpaku pada sosok wanita cantik dengan rambut hitam mengkilap yang terurai. Matanya seperti bintang yang memancarkan cahaya, kulitnya terlihat putih dan halus laksana salju di kutub utara. Seutas senyum manis yang terlukis di bibir tipisnya membuat Tangguh semakin gugup.
"Li....Lica, ini benar–benar kamu?" tanya tangguh seolah tak percaya menampar pipinya sendiri.
"Ya, ini aku Guh, kamu masih ingat aku?"
"Ya, tentu aku masih ingat kamu. Kamu tau dari mana aku ada di sini?"
"Ah, itu nggak penting, Guh. Guh, kamu mau kan temenin aku keliling kota malam ini. Aku lagi ingin menjernihkan pikiran."
"Oh tentu, aku siap-siap dulu, yah," jawab Tangguh yang bergegas ke kamarnya, berganti baju yang rapi dan merapikan rambutnya dengan minyak rambut. Tak lupa memakai parfum milik Cahyo. Tangguh masih tak percaya kalau Lica tiba-tiba datang menemuinya malam itu. Di kamarnya, ia menampar-nampar pipinya seolah tak percaya.
Mereka berjalan di tengah kota Jakarta. Diiringi dengan lampu kota yang membuat malam itu terasa begitu indah. Mereka juga makan bersama di pinggir jalan yang telah mulai sepi tersingkir oleh larutnya malam, berjalan-jalan seolah Jakarta milik mereka berdua.
Namun tiba–tiba turun hujan cukup deras dari langit malam yang tak bertabur bintang karena tertutup awan. Mereka berdua kehujanan. Tangguh membuka jaketnya dan menutupi air hujan yang jatuh agar tidak membasahi tubuh Lica lebih banyak lagi. Buat Tangguh, ini momen yang tak akan terlupakan dalam hidupnya.
Ia tak peduli walau air membasahi mukanya. Tangguh mengusap mukanya yang basah itu kemudian mengusap kelopak matanya. Dan apa yang ia lihat, ternyata di hadapannya ada Cahyo dan Solihin yang membawa gelas kosong. Ia baru sadar kalau Cahyo dan Solihin menyiram mukanya dengan air itu hingga basah kuyup. Ia pun baru tersadar kalau semua itu hanyalah mimpi belaka yang tak mungkin jadi nyata.
"Guh, banguuuuuun... ini udah siang, kamu lihat jam, gih!!" teriak Cahyo.
"Haduuuh ternyata udah mau jam delapan. Kenapa kalian baru ngebangunin. Telat deh sampe kantor!!!" teriak Tangguh menyalahkan.
"Haduuh Tangguh, kita tuh udah ngebangunin kamu dari subuh tadi, tapi kamunya nggak bangun–bangun. Udah diteriakin di deket kuping juga tetep nggak bangun–bangun," ujar Solihin.
"Iya nih, emang kamu mimpi apa sih Guh, sampe tidurnya nyenyak begitu?" tanya Cahyo.
Tangguh terdiam sejenak memikirkan mimpinya semalam, "Hmm.... ah... enggak, aku nggak mimpi apa-apa, kok," Jawab Tangguh menggelengkan kepala sambil menyilangkan jari tengah dan telunjuk di belakang punggungnya, namun senyum tipis tak mampu ia sembunyikan dari wajahnya.
"Ah masa, kamu boong, ya?" ucap Solihin menoel pinggangnya.
"Kalian ini apaan sih, aku kemaren kecapean banget, jadi tidurnya pulas banget. Ya udah, ayo kita berangkat, jangan bicara yang enggak-enggak!"
"Tapi kamu nggak mandi dulu, Guh?" tanya Cahyo.
"Ah, kita udah telat banget, nanti aja di kantor, kalo sempat."
***
Mereka bertiga pun berangkat ke kantor terburu-buru. Akibat macet, mereka harus berlari secepat mungkin ke kantor yang berjarak 2 km dari tempat mereka tinggal. Keringat bercucuran dari kening, keringat juga membasahi badan mereka. Apalagi Tangguh yang pagi itu tak sempat mandi.
Walaupun telah terburu-buru, mereka tetap telat sampe ke kantor dan harus dimarahi dulu oleh kepala gudang sebelum mulai bekerja seperti biasa. Untuk ke sekian kalinya mereka mendapat teguran dari atasan.
***
Di saat jam istirahat, Tangguh terlihat sedang merenung lagi, duduk di samping pos satpam. Cahyo dan Solihin menghampirinya sambil membawa nasi bungkus yang sudah mereka beli.
"Guh, kamu ngelamun lagi. Apa kamu masih kepikiran soal kejadian di minimarket itu?" tanya Cahyo.
"Ah, enggak kok, bukan soal itu," jawab Tangguh menggelengkan kepala.
"Atau jangan-jangan kamu lagi mikirin soal mimpi semalem, ya?" tebak Solihin.
"Ah, kamu sok tau Hin, aku cuma mikirin apa kata bos kita. Kita ini kan sering telat. kita kayanya harus perbaiki itu, Yo, Hin," kata Tangguh mengelak.
"Kamu bener juga Guh, tapi kan kamu yang susah dibanguniiiiin," ucap Cahyo menyalahkan Tangguh.
"Hehehe.... ya udah, kalo laen kali begitu, kalian berangkat duluan aja."
"Yeh... bukan gitu juga kali, Guh. Kita kan selalu bersama dari mulai pertama ke kota ini sampai nanti pun kita harus bersama, kita harus terus berkolaborasi jangan sampai terjadi segregasi," ucap Cahyo.
"Betul tuh, kita kan sahabat," sahut Solihin.
"Terima kasih ya, kalian emang sahabatku," ucap Tangguh merangkul kedua sahabatnya itu.
Cahyo mengendus-ngendus, "Ettt, tunggu dulu Guh, rasanya bau banget. O.. iya, kamu kan belum mandi," ucap Cahyo langsung menghindar.
"Iya guh, kamu lama-lama jadi kaya guru dukun itu, hahaha," ujar Solihin.
"Enak aja luuu."
"Kalian bener Yo, Hin. Sebenernya aku emang lagi mikirin soal mimpi semalam. Tapi sudahlah, mungkin semua itu memang fatamorgana yang nggak akan bener-bener terjadi," ucap Tangguh dalam hatinya.
***
Persis seperti hari kemarin. Hari ini Tangguh kembali kerja lembur. Ia harus membereskan barang–barang di gudang dan mendatanya. Tidak seperti hari kemarin, hari ini Cahyo dan Solihin pun ikut lembur juga. Mereka bekerja sampai larut malam.
Sepulangnya dari kerja lembur, sama seperti hari kemarin, Tangguh merasa lelah. Sementara Cahyo dan Solihin telah tertidur pulas selepas Sholat Isya berjamaah tadi. Tangguh tak langsung tidur. Ia menyempatkan diri duduk di balkon, menikmati hangatnya secangkir teh diiringi suara jangkrik dan ditemani cahaya bintang yang berkelap-kelip.
Saat itu terdengar suara ketukan pintu dari lantai bawah. Angga—anak kosan bawah—membukakan pintu dan naik ke atas untuk memberitahukan sesuatu pada Tangguh.
"Guh.... Guh....!"
"Iya, ada apa?" tanya Tangguh.
"Ada yang nyariin elu tuh, Guh," jawab Angga.
"Ah, siapa?" tanya Tangguh penasaran.
"Nggak tau, tapi katanya nyariin elu. Dia maksa, terus katanya kenal sama lu. Tadinya sih mau gue usir, soalnya gue yakin lu pasti nggak kenal sama orang kayak gitu."
"Maksud kamu? Emang siapa sih, cewek cowok?"
"Hmmm... ya cewek sih, Guh," jawab Angga menggaruk-garuk kepala.
"Ah yang bener, kalo gitu jangan diusir, suruh dia tunggu sebentar, nanti aku ke bawah," jawab Tangguh yang begitu semangat.
"Tapi guh..... "
"Udah.. ga usah pake tapi, kamu suruh aja dia tungguin sebentar oke!"
"Ya udah, kalo elu maunya gitu sih nggak apa-apa," jawab Angga seraya menggaruk-garuk kepala belakangnya lagi.
"Wah ternyata ini bukan cuma fatamorgana. Dia bener-bener datang untuk menemuiku, sama seperti mimpiku semalam," ucap Tangguh dalam hatinya yang riang gembira.
Tangguh yang membayangkan kalau itu Lica berkaca sejenak di kamarnya, memakai baju kemeja putih yang ia beli waktu pertama kali masuk kerja, merapikan rambutnya dengan minyak rambut, dan menyemprotkan parfum yang ia ambil diam-diam dari kamar Cahyo ke sekujur tubuhnya. Rasa kantuk yang sebelumnya ia rasa seolah lenyap entah ke mana.
Tak lama kemudian, ia pun segera ke lantai bawah untuk menemui wanita yang sedang mencarinya itu.
"Halo, kamu cari aku?" tanya Tangguh kepada wanita itu sambil menuruni tangga.
Sama seperti di mimpinya, wanita itu yang menghadap ke arah berlawanan membalikkan tubuhnya ketika mendengar Tangguh memanggilnya. Dan seketika saja Tangguh begitu kaget dan terkejut setengah mati. Matanya melotot seperti mau loncat dari tempatnya, mulutnya menganga lebar seperti mulut kudanil.
"Apaaaaaaaaaaaa......!!!!" teriak Tangguh yang amat terkejut.
Teriakannya bukan karena terkejut senang, tapi karena terkejut kecewa. Ternyata yang ada di hadapannya itu bukan wanita yang berparas cantik, bukan wanita yang selama ini ia rindukan, melainkan wanita yang sudah tua dengan pakaian compang-camping yang dipakainya.
"Gue bilang juga apa Guh, lu pasti nggak kenal sama gembel ini, kan?" ucap Angga.
"Guh, jangan bilang kamu nggak kenal sama gurumu ini, Guh!" ucap wanita tua itu mengancam.
Tangguh bengong sejenak, dengan menampakkan wajah kekecewaannya.
"Iya... eh.... a..aku kenal sama orang ini. Dia adalah guruku," jawab Tangguh. "Tapi kenapa mesti guru sih yang dataaang, huhuhu... L." jeritan Tangguh dalam hatinya.
"Tuh kan saya bilang juga apa. Heh Letoy, di mana kamarmu? di mana si Cahyo dan Solihin?" tanya gurunya.
"Kamar kita di atas." Tangguh menunjuk ke atas.
"Ya sudah, ayo kita ke atas!" kata gurunya.
Angga hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat Tangguh bersama gembel itu.
...….
"Yo... Hin, bangun, ada yang datang, nih," Tangguh membangunkan kedua temannya. Mereka pun segera bangun dan keluar dari kamar.
"Wah guru dukun, ternyata guru dukun datang kemari," kata Cahyo dengan ekspresi biasa saja.
"Wah Guh, ternyata bukan fatamorgana Guh, kamu bisa ketemu sama gurumu lagi," kata Solihin sembari menahan tawa.
"Kamu tuh ngomong apa sih hin -__-," ujar Tangguh yang geram dengan ucapan itu.
"Ya sudah, karena hari sudah malam, sudah waktunya tidur, guru sekarang tidur di kamar Solihin saja, ya," usul Tangguh.
"Eits.... enak saja, kamarku kan lebih kecil daripada kamar kalian. Di kamar Cahyo aja tuh yang agak gede," kata Solihin seolah melempar guru dukun itu.
"Enak aja, di kamarku kasurnya cuma ada satu. Lagi pula kamarku kan wangi banget, aku nggak mau ah kalo guru dukun tidur di kamarku. Di kamar kamu aja Guh, dia kan guru kamu," usul Cahyo yang sebenarnya melemparkan kembali si guru dukun.
"Jangan dong, biar jelek begitu guru kan wanita, masa tidur di kamar laki–laki," kata Tangguh akhirnya menemukan alasan yang tepat.
"Dasar kalian kurang ajar. Udah ninggalin guru di bus sampe guru sempat tidur di kolong jembatan, eh sekarang kalian malah lempar-lemparan gitu," kata guru dukun itu dengan mata melotot.
"Eh, tapi ngomong-ngomong, kamu kok wangi banget, Guh. Atau jangan-jangan kamu yang ngabisin parfumku, ya?" tanya Cahyo setelah mengendus-ngendus wewangian yang dipakai Tangguh.
"Iya Guh, terus kok kamu pake baju rapi begitu, emang mau ke mana?" tanya Solihin yang juga heran dengan penampilan Tangguh memakai kemeja rapi, dasi dan jas.
"Eh... enggak kok, enggak," jawab Tangguh menunduk.
"Atau jangan-jangan kamu pakai baju rapi sama parfum buat nyambut gurumu ya, Guh?"
"Eciee. . . .ecieeeee"
"Enak aja, udah ah udah malem, mending kita tidur," ucap Tangguh, kesal.
...….
Akhirnya dukun itu tidur sendiri di balkon. Biar bagaimana pun, suka atau tidak suka, kedatangan guru dukun membuka peluang kembali bagi mereka untuk menuntaskan misi membawa Badrun, Jamal, dan Tohir ke desa mereka dan memberi pelajaran pada ketiga penjahat itu, serta mencari orang tua Tangguh yang diduga ditawan. Mereka pun berharap agar misi ini berhasil, bukan sekedar mimpi, dan bukan sekedar fatamorgana belaka.
***