Balkon selalu menjadi tempat mereka melepas lelah. Membiarkan spektrum cahaya matahari menghangatkan pagi dan embusan angin masuk ke ruangan. Atau menatap bintang-bintang di langit sambil bernyanyi dan saling bercengkrama di malam hari. Yang pasti mereka cukup kerasan tinggal di sana.
Tangguh, Cahyo, dan Solihin memang baru pertama kali bertemu dengan pemilik kosan tempat mereka tinggal, yaitu saat pertama kali menemukan tempat kos itu. Seorang bapak–bapak berkumis tebal yang kelihatannya galak, tapi ternyata cukup ramah. Nyaris mirip dengan Mas Adamnya Mba Inul.
Tapi rupanya pendapat anak–anak kosan bawah berbeda. Anak–anak kosan di lantai bawah yang telah tinggal lebih lama di kosan itu, justru menilai pemilik kosan sangat galak. Ia tak segan-segan mengusir penghuni kosan yang tak mengikuti aturannya. Dahulu saja ada penghuni kosan yang membawa teman wanitanya ke kosan, langsung diusir karena dituduh hendak berbuat mesum. Padahal itu sore hari dan mereka hendak mengerjakan tugas kelompok.
Tangguh, Cahyo, dan Solihin tentu tak percaya atas apa yang diucapkan anak–anak kosan bawah. Karena saat bertemu dengan pemilik kosan itu, kesan pertama yang mereka dapat adalah keramahtamahan yang ditunjukkan bapak berkumis tebal itu. Tak jarang bapak itu tersenyum menaikkan kumisnya dan menganggukkan kepalanya, apalagi saat menerima uang pembayaran sewa kamar kos.
***
Malam itu, mereka kembali membicarakan rencana untuk mencari tiga penjahat yang telah menggusur desa mereka secara sepihak. Siapa lagi kalau bukan Badrun, Jamal, dan Tohir. Mereka membicarakannya di kamar Tangguh sambil mendengarkan berita di radio. Maklum, di kosan atas yang punya radio cuma si Tangguh doang. Kalau mau nonton TV harus ke bawah.
Mereka berbincang sampai larut malam, sampai kelopak mata tak sanggup lagi menahan beratnya ibarat rolling door kios atau ruko di tepi–tepi jalan di tengah malam. Mereka berempat pun terlelap tidur di kamar Tangguh.
Tak disangka, entah ada angin apa tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari anak-anak kosan bawah. Rupanya malam itu, tepat di tengah malam, Pak Sarkas, pemilik kosan yang berkumis tebal tiba di kosan. Ia datang di tengah malam membuat para penghuni kosan bawah menjadi sibuk. Ada yang merapikan kamarnya. Ada yang menyembunyikan bungkus–bungkus rokok yang ia koleksi, dan macam–macam pokoknya. Mereka semua sibuk membereskan semuanya sebelum Pak Sarkas melihat kamar kosan mereka.
Rupanya benar apa yang mereka pikirkan, ternyata Pak Sarkas memang melakukan razia dadakan terhadap para penghuni kos itu. Tapi suasana gaduh di lantai bawah rupanya tak mengusik telinga Tangguh, Cahyo, Solihin, dan dukun Parti. Mereka terlelap dalam alam tidur masing-masing yang berselimut mimpi. Posisinya pun sudah nggak karuan, Tangan Cahyo ada di muka Solihin, sementara kaki si dukun Parti dekat muka Cahyo.
Kamar anak kosan bawah mulai diperiksa satu persatu. Mungkin ini yang membuat jarangnya mahasiswa yang kos disitu lebih dari satu tahun. Mereka mungkin tidak nyaman dengan apa yang dilakukan Pak Sarkas.
Satu persatu kamar kos di lantai bawah sudah diperiksa. Ia tak menemukan pelanggaran berat selain ditemukan bungkus rokok di kamar Angga, anak kosan bawah. Kini Pak Sarkas berjalan menuju tangga lantai atas. Nampak di lantai atas amat senyap. Mereka berempat sudah berada di alam mimpi hingga tak sadar apa yang terjadi di kosan itu. Pintu kamar Cahyo, Tangguh, dan Solihin pun tertutup rapat dan tak ada suara.
Di lantai atas, pak Sarkas memandangi ketiga kamar satu per satu. Nampak ia hendak memilih kamar mana yang akan dirazia terlebih dahulu. Langkah kaki menuntunnya menuju kamar Cahyo. Pintu dibuka secara perlahan, namun ia tak menemukan seorang pun di kamar itu. Ia menggeledah barang–barang yang ada di kamar itu dan tak ada barang–barang yang mencurigakan kecuali beberapa botol parfum yang telah kosong. Setelah merazia kamar Cahyo, kemudian langkahnya terarah menuju kamar Solihin. Ia membuka pintu kamar secara perlahan. Di kamar itu juga tak ada seorang pun dan tak ada barang-barang yang mencurigakan.
Melihat kedua kamar yang kosong, Pak Sarkas berpikir kalau mereka bertiga sedang keluar malam. Ia pun berpikir kalau di kamar Tangguh juga tak ada siapa-siapa. Namun ketika ia hampir melewati kamar itu, tiba–tiba langkahnya berhenti dan memutuskan untuk mendekati kamar Tangguh. Pak Sarkas membuka secara perlahan pintu kamar Tangguh. Dan apa yang terjadi, Pak Sarkas dibuat geram dengan apa yang ia lihat, matanya hampir saja melompat keluar dari tempatnya, kumis tebalnya tiba-tiba berdiri seperti bulu ayam jago yang hendak bertarung. Dikepalkan kedua tangannya ketika melihat apa yang ada di hadapannya. Di kamar itu sedang tertidur pulas Tangguh, Cahyo, Solihin, dan yang membuatnya kaget ialah tentu saja sesosok wanita tua yang berpakaian compang-camping juga tertidur pulas di lantai kamar.
"Taanggguhhhhh, Cahyooooooo, Solihiiiiiin, banguun kaliaaaaan...!!!!!!" teriak Pak Sarkas.
Mereka berempat terbangun dari tidur nyenyaknya.
"Ada apa, Pak, ada kebakaran, yah?"
"Atau ada gempa, Pak?" tanya Solihin dan Cahyo yang baru sadar.
"Kurang ajar kalian, berani-beraninya kalian membawa wanita gembel kemari apalagi sampai berbuat mesum seperti itu..!!!" teriak Pak Sarkas dengan nada tinggi.
"Tu..tunggu dulu, Pak. Ini gak seperti apa yang Bapak bayangkan. Mana mungkin kita mau berbuat seperti itu dengan wanita keriput dan gembel ini," ucap Tangguh membela diri.
Taaaaaaak..... Tangguh pun dijkitak gurunya, "Kurang ajar kau menghina gurumu sendiri."
"Guru, ini situasinya genting," ujar Tangguh.
"Sekarang kemasi barang–barang kalian dan pergi dari kosan ini....!!!" kata Pak Sarkas yang tanpa berpikir panjang langsung mengusir mereka.
"Ta..tapi pak."
"Tidak ada tapi, lakukan sekarang juga!!!" perintah Pak Sarkas tegas.
Beribu kata yang mereka ucapkan hingga mulut berbusa sekalipun takkan mampu menggoyahkan kuatnya keputusan Pak Sarkas untuk mengusir mereka dari kosan malam itu juga. Mereka hanya pasrah walau batin mereka menentang. Dengan wajah tertunduk lesu, mereka langsung mengemasi barang-barang. Mereka tak menyangka akan secepat itu keluar dari kosan itu. Padahal mereka sudah bayar sampai tiga bulan ke depan. Tapi mereka tidak bisa menentang. Dalam perjanjian, mereka memang harus patuh pada aturan sang pemilik kos. Mereka tak menyangka jadi seperti ini. Dukun Parti pun turut merasa bersalah atas kejadian ini,
"Guh, Yo, Hin, maafin Guru, Guru yang salah, gara-gara Guru, kalian diusir."
"Ahh, sudahlah Guru, ini bukan sepenuhnya salah Guru. Bukankah kita memang punya misi yang sama di Ibu kota ini," Tangguh yang kali ini tidak menyalahkan gurunya.
"Yah, benar Guru dukun, ini memang udah suratan takdir kok, kita memang harus tereliminasi dari kosan ini walau kedengarannya kontroversi," ucap Cahyo.
"Aku juga pikir kayak gitu, Yo," Solihin pun senada.
***
Di sepinya malam, di redupnya lampu jalan, dan di dinginnya angin malam yang berembus menerpa epidermis kulit, mereka berjalan menelusuri kegelapan malam dengan membawa tas besar yang berisi barang–barang masing-masing. Mereka tak tahu lagi harus ke mana. Kini mereka tak punya tempat tinggal. Untuk pindah ke kosan baru pun belum punya uang yang cukup kecuali menunggu gajian yang masih dua minggu lagi.
"Kita harus ke mana ni, Guh?" Solihin kebingungan.
"Yah, aku juga nggak tau, Hin. Yang penting kita bisa terhindar dari panas dan hujan aja udah cukup," jawab Tangguh yang juga tak tau mau ke mana.
"Bagaimana kalo kita balik lagi aja ke rumah Pak Sobar?" usul Cahyo.
"Iya sih, tapi kita nggak enak lah sama Pak Sobar. Dia udah begitu baik sama kita. Lebih baik kita selesaikan masalah kita sendiri," jawab Tangguh bijak.
"Hmmm, kamu bener Guh, aku setuju," sahut Solihin sependapat.
"Kalo Guru boleh usul, gimana kalo kita tinggal di tempat yang waktu itu Guru pernah tinggal di situ waktu pisah sama kalian, gimana?"
"Emang waktu itu Guru dukun tinggal di mana?" tanya Cahyo.
"Ya sudah, ikut saja, nanti kalian juga tau."
Mereka bertiga berjalan mengikuti si guru dukun menuju tempat tinggal sementara. Yah, walaupun kadang mereka merasa kalau guru mereka itu agak nggak waras, tapi kali ini mereka percaya. Lagi pula guru mereka sudah merasa bersalah dengan kejadian yang membuat mereka diusir dari kosan.
...
"Mana guru tempatnya, kok belum nyampe-nyampe?" tanya Tangguh.
"Iya guru dukun, kita capek nih, bawa barang segini banyaknya," keluh Cahyo menenteng barang-barangnya.
"Tenang, bentar lagi kita sampai, tuh tempatnya," kata dukun itu menunjuk tempat yang dimaksud.
"Haaaaaah....." Tangguh, Cahyo, dan Solihin kaget secara bersamaan ketika melihat tempat itu.
Ternyata memang penilaian mereka terhadap guru dukun itu ada benarnya juga. Sesuai penampilannya, memang guru dukun itu lebih cocok jadi gelandangan. Setidaknya itulah yang dipikirkan mereka bertiga setelah melihat tempat yang katanya akan dijadikan sebagai tempat tinggal sementara bagi mereka berempat.
Yah, namun apa mau dikata. Malam sudah semakin larut dan mereka tak punya pilihan lain. Malam yang telah melewati setengah bagiannya itu dengan sangat terpaksa mereka lewatkan dengan beristirahat di kolong fly over, beralaskan kardus dan berselimutkan kertas koran.
Kota Jakarta yang panas di siang hari ternyata justru menjadi dingin sampai menusuk tulang mereka di malam itu. Sesekali mobil yang lewat menambah dinginnya embusan angin malam. Tapi itulah hidup, bagi mereka hidup itu memang tak bisa ditebak. Tapi satu hal yang mereka yakini adalah bahwa kesulitan hidup yang mereka alami, suatu saat akan menjadi momen yang takkan terlupakan dalam perjuangan hidup mereka. Dan mereka pun terlelap di tengah kedinginan dan keganasan Ibu kota.
***