Lalu lintas mulai padat, kendaraan berderet di sekitar jalan layang, bagaikan semut yang berebut menuju sebongkah gula. Ada anak–anak yang berangkat sekolah, ada orang-orang yang berpacu mengejar waktu menuju kantor, ada pengamen jalanan yang mulai mengais rezeki, sementara mereka berempat masih terlelap dalam tidur di bawah jalan layang, di bawah tiang yang menopang kokohnya fly over. Sampai akhirnya satu persatu dari mereka terbangun karena suara klakson mobil yang berbunyi di tengah kemacetan, dan suara peluit polisi lalu lintas yang bertugas merapikan lalu lintas.
Tangguh, Cahyo, dan Solihin baru ingat kalau mereka bukanlah gelandangan, mereka masih bekerja di sebuah perusahaan di bagian gudang.
"Haduuh, gawat nih, udah jam berapa. Bisa-bisa kita telat lagi, nih," ucap Tangguh cemas.
"Iya, ayo kita segera berangkat!" Solihin bergegas.
Mereka bergegas berangkat ke kantor dengan pakaian seadanya, yang lusuh dan kotor karena habis tidur di jalanan. Mereka tak sempat mandi, hanya cuci muka dengan menggunakan air aqua yang ada di jalan. Mereka segera berangkat dengan terburu-buru. Sementara dukun Parti masih tidur dengan lelapnya beralaskan kardus bekas dan berselimutkan kertas koran.
Saat terlelap dalam tidur sambil mendengkur, ternyata ada pula yang berniat membangunkan dukun yang sudah tua itu. Apalagi yang membangunkanya ternyata adalah tiga orang lelaki berbadan kekar, berpakaian hitam ala band-band black metal dan bertato di lengan.
"Hei, bangun... bangun...!!!!" teriak mereka bertiga sambil menyentuh si dukun itu dengan kaki.
Dukun Parti terbangun dan heran karena ia dikelilingi pria-pria berotot dan bertato yang berpakaian preman.
"Ada apa ini? Siapa kalian? Mau apa kalian? Jangan perkosa saya?" kata dukun tua itu memeluk dirinya sendiri dan mundur menyandar di pilar jalan layang.
"Heh gembel keriput, enak saja, emang siapa yang mau memperkosa nenek-nenek tua. Apa lo tau tempat ini adalah tempat kekuasaan kita. Jadi lo gak berhak tidur di sini. Karena lo udah tidur di sini, jadi lo harus bayar," ujar preman itu menjulurkan tangannya.
Dukun itu berpikir sejenak. Ia berpikir jurus apa yang akan ia keluarkan untuk melawan ketiga preman itu. Setelah berpikir, akhirnya ia tau satu jurus yang ampuh.
"Langkah seribuu...!!" ia berlari secepat mungkin.
Para preman mengejarnya. Dukun itu berupaya menyusul Tangguh agar mendapatkan bala bantuan. Ia berlari menuju kantor Tangguh, Cahyo, dan Solihin.
***
Dengan napas ngos–ngosan dan pakaian yang kusut diiringi cucuran keringat yang mengalir di kening dan sekujur tubuh, Tangguh, Cahyo, dan Solihin sampai juga di tempat kerjanya. Mereka lagi-lagi telat, tapi tak seperti biasanya, si bos kali ini tidak marah. Ia hanya menatap mereka dan berkata halus, "Sini kalian, ikut saya!" Si bos mengajak mereka ke ruangan kerjanya. Mereka tak tahu apa maksudnya.
"Duduk!" kata si bos dengan ekspresi datar.
"Baik Pak, terima kasih," jawab mereka.
"Apa kalian tau kenapa saya panggil ke sini?"
Mereka bertiga saling menoleh satu sama lain, tak tau apa maksud atasan mereka.
"Kami nggak tau, Pak. Memangnya ada apa, Pak?" jawab Tangguh yang tak mengerti.
Si bos tak menjawab apa pun. Di atas meja ia hanya menyodorkan tiga amplop putih yang berisi surat pada mereka. Secara perlahan diiringi jantung yang berdegup kencang, mereka membuka amplop itu masing-masing dan membaca isi surat yang diberikan pada mereka.
Mereka sungguh kaget dengan apa yang ditulis di surat itu. Mereka merasa sedih dan amat kecewa setelah membaca surat itu. Surat itu adalah surat pemecatan. Mereka pun bertanya–tanya mengapa bos mereka membuat keputusan seperti itu.
"Pak, kenapa kita di pecat, Pak?" tanya Tangguh.
"Memang apa kalian tak tau kenapa kalian di pecat? Apa kalian sudah pernah hitung berapa kali kalian telat? Berapa kali kalian kerja gak becus? Dan yang paling fatal kalian menghilangkan dokumen penting tentang pencatatan keluar masuknya barang. Kesabaran saya sudah habis. Sekarang silakan kalian keluar...!!" jawab si bos menunjuk pintu yang terbuka.
Tak lama kemudian, datanglah dukun Parti yang berlari ke gudang tempat mereka bekerja. Dukun itu berupaya menghindari kejaran preman yang mengejarnya. Ia berlari dan merangsak masuk ke tempat Tangguh bekerja dan memanggil nama Tangguh, Cahyo, dan Solihin, berharap mereka bisa menolongnya. Tapi saking paniknya, justru dukun itu menjatuhkan tumpukan kardus berisi barang-barang yang telah disusun rapi di gudang, hingga tumpukan kardus itu jatuh berantakan. Tentu ini menambah masalah lagi bagi Tangguh, Cahyo, dan Solihin.
"Guh, Yo, Hin, tolongin Guru, Guru dikejar sama preman-preman itu..!!" teriak si dukun Parti.
Kepala gudang dibuat kaget dengan ulah wanita berpakaian compang-camping itu. Langsung saja ia keluar dari ruangannya menuju gudang untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Kurang ajar, siapa yang berani mengacau di gudang ini. Tangguh, Cahyo, Solihin, kalian kenal orang yang bikin kacau gudang ini?!!" tanya kepala gudang semakin marah.
"I....iya, Pak," jawab Tangguh dengan sangat gugup dan menundukkan muka.
"Oh, kalau begitu saya semakin yakin untuk memecat kalian," tegas kepala gudang.
"Apa..., kalian dipecat. Kenapa kalian bisa dipecat. Maafin Guru, Guh, Yo, Hin," ucap dukun Parti.
Mereka hanya tertunduk lesu kemudian berjalan keluar dari ruangan gudang, meninggalkan gerbang kantor tempat mereka bekerja. Mereka menghirup napas panjang sejenak dan melepaskannya. Inilah hari-hari yang berat. Setelah diusir dari kosan, mereka pun harus menerima kenyataan pahit dipecat dari pekerjaan. Dan meningkatlah angka pengangguran di Indonesia.
Kadang, hidup ini tak bisa ditebak. Kadang, hidup ini tak selalu sejalan dengan apa yang kita mau. Kadang kita harus menerima kenyataan buruk yang menghiasi hidup kita. Tapi percayalah bahwa semua itu adalah bumbu kehidupan yang membuat hidup ini lebih nikmat.
***