Chereads / TANGGUH PERKASA / Chapter 36 - Untaian 36: Ketika Kesabaran Diuji

Chapter 36 - Untaian 36: Ketika Kesabaran Diuji

Berbulan–bulan Tangguh dan kawan-kawannya tinggal di Jakarta, namun hingga saat ini mereka belum menemukan di mana Badrun, Jamal, dan Tohir. Padahal ketiga penjahat itu adalah pengusaha besar yang seharusnya mudah dilacak. Walaupun begitu, Tangguh takkan menyerah. Ada segudang asa yang takkan habis terkikis oleh rintangan, seperti halnya batu karang yang tak terkikis ombak. Ia masih yakin bisa menemukan mereka dan membawanya ke Desa Pasirputih untuk meminta pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan. Ia juga masih yakin bisa bertemu kembali dengan ibunya nanti.

Seringkali ia bertanya pada setiap orang yang dilaluinya. Namun tak seorang pun tahu di mana ketiga penjahat itu saat ini. Hingga sore hari, ketika keletihan mulai datang menerpa, melemahkan otot-otot kaki yang menyangga tubuhnya, ia duduk di sebuah warung nasi di tepi jalan. Warung itu memang kecil dan harganya sangat terjangkau. Tapi saat itu, Tangguh yang merasa lapar tak memilki uang untuk makan di sana. Ia hanya duduk di depan makanan yang dipajang di lemari kaca. Matanya tak lepas menghayati makanan yang ada di hadapannya sambil memegangi perutnya yang terasa kosong melompong. Apalagi ketika ia melihat orang yang makan di warung nasi itu terlihat begitu lahapnya.

"Mau pesen apa, Mas?" tanya penjaga warung.

"Ehm... enggak kok, Bu. Saya cuma numpang duduk aja di sini. Tapi kalo nggak boleh sih nggak apa-apa, Bu," ucap Tangguh yang mulai berdiri tuk meninggalkan tempat itu.

"Oh, nggak apa-apa, memang Mas ini dari mana, apa kerja di sekitar sini?" tanya penjaga warung.

"Sejak sebulan lalu saya enggak kerja, Bu. Saya udah dipecat," jawab Tangguh menundukkan muka.

"Ouw.. maaf, Mas."

Di tengah pembicaraan itu terdengar bunyi keroncongan perut Tangguh yang amat merasa lapar. Tatapannya tertancap menghayati makanan yang ada di sana, lidahnya bergoyang di dalam mulutnya, hidungnya mengendus aroma makanan diiringi suara perut yang seolah memanggil-manggil makanan itu.

"Mas belum makan, yah?" tanya penjaga warung.

Tangguh hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil memegang perutnya dan terus melihat ke arah makanan yang dipajang di lemari kaca.

"Oh, ya sudah, makan di sini saja," kata penjaga warung sambil menyiapkan nasi dan lauk untuknya."

"Oh, enggak usah, Bu. Saya.... saya...."

"Udah Mas, saya tau Mas gak punya uang. Tenang aja, Mas nggak usah bayar."

"Tapi Bu, saya jadi enak, eh jadi nggak enak."

"Ah, nggak usah sungkan, hidup itu kan harus saling membantu."

Hari ini ia beruntung, bertemu dengan penjual nasi yang baik hati, tak perlu seperti Cahyo dan Solihin yang dikejar-kejar pedagang nasi goreng. Tangguh makan dengan lahap sambil menonton TV yang disetel di sudut atas dinding di warung nasi itu. Sebenarnya Tangguh lebih konsentrasi pada makanan yang ia makan dibandingkan nonton TV. Maklum saja, ia merasa sangat lapar. Tapi perhatiannya beralih ketika ia mendengar tentang berita salah satu perusahaan yang sedang membangun pengolahan minyak di desanya. Ia mendengar berita tentang PT. Raksasa Oil yang dipimpin Badrun, Jamal, dan Tohir. Dan di televisi itu ada Jamal yang berbicara mengenai program yang dilaksanakan perusahaan mereka. Tapi tak ada orang yang tau kalau perusahaan itu menggunakan cara yang licik untuk membebaskan lahan warga desa. Di akhir reportase, wartawan sempat menyebutkan alamat perusahaan minyak itu.

Tanpa berpikir panjang, Tangguh langsung menuju ke alamat perusahaan itu. Meninggalkan makanan yang belum habis disantap. Dengan emosi yang membara, ia berjalan dengan gagah perkasa ke tempat itu. Ia merasa kalau Badrun dan kedua kawannya harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan di desanya, atas apa yang mereka lakukan terhadap ibunya, atas apa yang mereka lakukan terhadap kedua sahabatnya.

***

Di depan pintu gerbang PT. Raksasa Oil, Tangguh menggedor-gedor pintu gerbang besi yang ada dihadapannya dengan luapan emosi yang tak bisa terbendung. Ia berteriak sekencang-kencangnya memanggil-manggil nama Jamal, Badrun, dan Tohir

"Hai Jamal, Badrun, Tohir keluar kalian....!!!!, dasar pengecut. Hai, cepat kalian keluaar.....!!!!!"

Tangguh terus menerus berteriak memanggil mereka keluar, tapi Badrun, Jamal, dan Tohir tak keluar sama sekali. Atau mungkin mereka tidak mendengar teriakan Tangguh. Atau Badrun, Jamal, dan Tohir memang sedang tak ada di situ.

"Heh Mas, jangan bikin ribut di sini. Lebih baik pergi dari sini!!" ujar satpam yang mendengar kegaduhan di depan pagar.

"Cepat katakan di mana Jamal, Badrun dan Tohir. Di mana bos kamu? Cepat suruh dia keluar!" Tangguh balik marah.

Tangguh takkan pergi dari tempat itu sebelum mereka bertiga keluar dan menghadapinya. Tapi nampaknya tak seorang pun dari ketiga orang yang dicari Tangguh keluar dari sana.

Akhirnya Tangguh kehilangan kesabaran. Ia menggoncangkan gerbang besi di hadapannya. Walau harus mendapat pertentangan dari satpam yang ada di sana, Tangguh tak peduli. Ia terus menggoncangkan pagar itu seorang diri. Akhirnya ia mampu membuka paksa gerbang kantor itu dan langsung berhadapan dengan satpam. Berkelahi sekuat tenaga, saling melepaskan pukulan dan akhirnya Tangguh mampu menjatuhkan satpam itu.

Ia lalu berlari masuk tuk mencari tiga orang penjahat dengan penuh emosi. Ada banyak orang yang menghadangnya, tapi dengan kekuatannya ia mampu menghalau setiap orang yang menghadang. Ia juga menghalau semua barang-barang yang menghalanginya. Berlari menaiki tangga tanpa henti sekuat tenaga, menerjang pintu demi pintu hingga sampai di ruangan direktur. Rupanya di ruangan itu sedang duduk Badrun sebagai direktur utama perusahaan minyak itu. Tangguh lantas langsung menghampirinya dan menarik kerah jasnya dengan kuat hingga Badrun bangkit dari duduknya.

"Kurang ajar kau Badrun, kau harus menghentikan proyek itu. Kembalikan desa kami seperti dulu, bebaskan ibukuuuuu.....!!!!!"

"Oops... tenang teman sekelasku. Aku tentu takkan membunuh ibumu kalau kau berhenti mencampuri urusanku," kata Badrun dengan tenangnya.

"Kurang ajar...!!!" ucap Tangguh melepaskan cengkramannya dari jas Badrun.

Tak lama kemudian datang dua orang polisi yang telah dipanggil oleh karyawan di kantor itu. Polisi pun langsung menangkap Tangguh.

"Apa-apaan Pak, seharusnya yang ditangkap adalah dia. Dia adalah penjahat, Pak," ucap Tangguh menunjuk Badrun dengan penuh kekesalan.

"Tangkap, Pak. Bawa orang ini ke penjara! Orang ini telah mengacau di kantor ini," perintah Badrun pada kedua polisi itu.

Tangguh dibawa ke kantor polisi untuk diproses lebih lanjut. Sebelum digiring polisi ia sempat diam-diam mengambil kartu nama Badrun yang ada di atas mejanya.

Sebenarnya ia sudah mampu menghalau orang-orang yang menghalangi niatnya, namun satu hal yang tidak mampu ia halau, emosi. Ia begitu emosi untuk datang dan menghabisi ketiga penjahat itu tanpa memikirkan akibatnya. Akibatnya ia harus berada di kantor polisi untuk diintrogasi.

Saat diintrogasi, Tangguh memberontak dengan mengatakan bahwa yang seharusnya dipenjara adalah Badrun, Jamal, dan Tohir. Namun ia tak cukup memiliki bukti untuk menjebloskan mereka ke penjara. Yang ada justru akhirnya ia dijebloskan ke penjara atas tuduhan membuat kekacauan.

"Hai, dasar polisi bodoh. Seharusnya tiga penjahat itu yang dipenjara. Bukan aku...!!!" teriak Tangguh dari balik jeruji besi.

Namun polisi sama sekali tak peduli dengan teriakan Tangguh. Tangguh tetap saja berada di balik jeruji besi. Namun dari belakangnya terdengar suara yang memanggil namanya.

"Tangguh, Tangguh....!"

Tangguh perlahan menoleh ke belakang dan tak disangka,

"Cahyo, Solihin, aku tak menyangka kita bertemu lagi. Aku lupa kalau kalian juga dipenjara di sini."

"Memangnya kamu kenapa dipenjara juga, Guh?"

"Ah, ceritanya panjang Yo, Hin. Ini semua gara–gara penjahat tengik itu. Memang sih aku juga yang terlalu emosi."

"Memangnya bagaimana ceritanya, Guh?"

"Jadi gini Hin, akhirnya aku tau di mana kantor mereka. Namun sayangnya aku terlalu emosi. Aku datangi tempat itu, lalu menjebol pagar dan melawan satpam di perusahaan itu. Aku lewati semua orang yang menghadangku. Dan akhirnya aku berhasil bertemu dengan Badrun. Ia adalah direktur perusahaan itu. Aku langsung saja menarik kerah jasnya dan memakinya. Namun sayangnya polisi keburu datang, akhirnya aku dibawa ke kantor polisi dan dipenjara seperti sekarang ini."

"Kurang ajar memang mereka. Selanjutnya gimana rencana kita untuk menjebloskan mereka ke penjara?" tanya Cahyo pada kedua temannya.

"Hmmm, aku nggak tau, Yo, kita tak punya cukup bukti untuk menjebloskan mereka ke penjara. Walaupun kita tau mereka itu bener-bener penjahat yang licik," ucap Tangguh.

"Iya, lagipula mereka punya uang. Dengan uang pasti mereka bisa membeli segalanya, termasuk hukum," sahut Solihin geram.

"Kamu benar, Yo, mereka pandai membuat konspirasi, tapi harmonisasi dan legitimasi di antara kita jangan sampai luntur. Kita harus tetap memiliki determinasi untuk menghadapi mereka," ujar Cahyo mengepalkan tangannya memantik semangat.

"Hahaha... kamu itu ngomong apa, Yo, bahasa kamu tuh ketinggian," ucap Tangguh tertawa. Suasana emosi seketika berubah menjadi gelak tawa.

Hari demi hari mereka lalui di dalam bui. Susah maupun senang mereka rasakan, tapi justru itu yang membuat persahabatan mereka semakin kental. Dan mereka sadar, kalau kesabaran mereka sedang diuji.

Canda tawa, Sendu sedih mereka lalui bersama. Kadang membahas rencana misi mereka. Tapi kurang satu orang lagi yang tidak berkumpul bersama mereka di sana, dukun Parti.

***