Tangguh kini bisa menghirup udara bebas. Ia telah bebas dari ruang tahanan yang membatasi geraknya. Ia berjalan menuju tempat tinggalnya sebelum dijebloskan ke bui, kembali ke bawah jalan layang. Ke sebuah tempat kumuh tanpa dinding-dinding yang mampu melindunginya dari panas dan hujan. Satu-satunya dinding adalah pilar jalan layang yang menopang jalan layang di atasnya.
"Guruuu..!!" teriak Tangguh memanggil gurunya.
"Tangguuuh, kamu sudah bebas?!!" gurunya menyambutnya dengan senang hati.
"Iya Guru, aku bebas....!!"
"Lalu, bagaimana Cahyo dan Solihin?" tanya gurunya.
"Hmmm, mereka masih belum bebas, mereka masih ditahan. Tapi ngomong–ngomong, kenapa muka Guru bonyok begitu?" tanya Tangguh menatap wajah gurunya.
"Oh, ini.. ini... itu.... ini gak apa-apa -_-"
"Gak apa-apa gimana, Guru?" tanya Tangguh penasaran.
"Cuma kejatohan pohon waktu guru latihan."
"Oh, guru ngerobohin pohon itu terus ketimpa?"
"I....iya, Guh," ucap gurunya mencari alasan, menutup kejadian yang sebenarnya bahwa ia dipukuli warga karena mencuri jemuran.
***
Bebas dari penjara bukan waktunya untuk bersenang-senang. Tangguh mulai memikirkan lagi cara untuk membebaskan Cahyo dan Solihin, lalu memenjarakan Badrun, Jamal, dan Tohir. Sembari bersandar di pilar fly over, ia duduk memutar otak. Kadang menyangga dagunya dengan tanggannya, kadang pula ia menggaruk-garuk kepala, kemudian berjalan mondar-mandir. Namun hingga sore berlalu dan mentari tenggelam di ufuk barat, ia tak juga menemukan cara apa yang efektif untuk mewujudkan rencana membebaskan kedua sahabatnya.
Keesokan harinya, di saat mentari kembali muncul untuk kesekian kalinya selama tinggal di kolong jalan layang, ia memutuskan untuk tak memikirkan lagi cara apa yang hendak ia tempuh demi membebaskan Cahyo dan Solihin. Bukannya tak peduli lagi, tetapi ia sadar, percuma hanya berpikir saja. Lebih baik melakukan sesuatu saat itu juga.
Ia kembali berkelana berpencar dengan dukun Parti. Melanjutkan niatnya tuk mencari pengacara yang ikhlas membantu membebaskan kedua sahabatnya. Setiap orang mereka tanya, menelusuri jalan–jalan di ibu kota hingga tak mempedulikan lapar perut yang dirasa. Namun apa yang didapat, penolakan demi penolakan yang ia terima. Rupanya memang sulit mencari pengacara yang rela tak dibayar demi sebuah keadilan. Bahkan untuk menyewa pengacara–pengacara itu butuh biaya yang sangat besar. Dan hingga sore hari, mereka kembali dengan tangan hampa.
Di gelapnya malam, ia berpikir kembali dan merenung bagaimana caranya membebaskan Cahyo dan Solihin. Sedangkan uang untuk menyewa pengacara saja mereka tak punya. Jangankan untuk menyewa pengacara, untuk makan sehari-hari saja sulit. Pikiran itu membuatnya tak bisa tidur malam itu. Tak henti-hentinya ia selalu memikirkan cara apa yang bisa ia lakukan. Namun pikirannya selalu buntu karena masalah biaya.
Usai sholat malam beralaskan kertas koran, saat bintang bertaburan di langit ia memanjatkan doa agar diberikan jalan keluar atas masalah yang ia rasakan. Kemudian ia berbaring, walau sulit baginya untuk terlelap di tengah masalah itu, setelah malam melewati ¾ bagiannya, ia baru bisa terlelap dalam tidur.
***
Ketika sedang berjalan menelusuri kota, tiba–tiba pandangan Tangguh terpaku pada sebuah papan nama yang berada di depan sebuah bangunan seperti rumah yang dijadikan kantor seorang ahli hukum. Papan nama itu bertuliskan:
Ahli Hukum
Dra. Parti Situmorang, SH
Menangani berbagai kasus hukum
Melihat papan nama itu, ia langsung mendatangi kantor hukum itu. Di dalam ruangan ternyata sedang duduk seorang pengacara wanita yang nampaknya sudah cukup berumur,
"Selamat siang, Bu," sapa Tangguh mengetuk pintu yang telah terbuka.
"Oh siang, silakan masuk," jawab pengacara itu di meja kerjanya.
"Gu....Gu...Guru sedang apa di sini. Pake baju jas lengkap segala. Tuh kan Guru mulai aneh lagi," ucap Tangguh yang kaget melihat pengacara itu ternyata gurunya yang sedang berpakaian rapi dengan rambut disisir ke belakang.
"Siapa guru? kau jangan bercanda! Aku tidak mengenal kau," ucap pengacara itu dengan logat bataknya.
"Ah, Guru yang bercanda nih. Ini Guru kan, dukun Parti, kan?" tanya Tangguh yang masih yakin kalau yang di hadapannya itu memang gurunya.
"Bah, apa pula maksud kau? Aku memang tak mengenal kau. Aku ini pengacara, bukan dukun. Kau mengerti itu? Jadi apa maksud kau datang kemari?" tegas pengacara itu dengan logat bataknya.
"Jadi ini bukan Guru?" tanya Tangguh yang masih tak percaya.
"Aku bukan guru kauuuu...!!!! Aku ini pengacara. Lalu apa maksud kau datang kemari?!!" tanya pengacara yang mirip dukun Parti itu dengan lantang.
"Ya sudah kalau bukan Guru. Aku pikir Guru," ucap Tangguh yang mulai membalikkan badannya untuk keluar dari ruangan itu. Namun baru dua langkah, langkahnya terhenti dan kembali berbalik badan.
"Eh sebentar, sebenarnya aku punya kasus nih guru eh... Bu pengacara. Aku punya dua teman yang sedang dipenjara, tapi temanku tidak bersalah. Hmmm, tapi aku nggak yakin kalau guru... eh Bu pengacara mampu nanganin masalah ini," ucap Tangguh menceritakan permasalahannya.
"Apa, jadi kau meragukan kapasitasku sebagai pengacara. Apa kau tau, dulu aku sering menangani kasus-kasus besar. Bahkan para koruptor yang sudah jelas bersalah pun bisa aku bantu untuk bebas, kau tau itu. Dan aku dapat bayaran besar sekali dari mereka. Kasus besar saja aku bisa tangani apalagi untuk kasus teman kau itu."
"Oh, jadi guru, eh... Bu pengacara hanya bekerja demi bayaran." Tangguh menundukkan wajahnya seraya berbalik arah tuk meninggalkan ruangan itu.
"Hai, mau ke mana kau, tunggu dulu, itu kan dulu. Sekarang aku tak mau lagi membela kasus-kasus yang merugikan orang banyak. Sekarang aku bekerja bukan cuma untuk uang. Aku ingin sekali menghapus kesalahanku. Aku ingin membela kasus-kasus orang yang tak bersalah saja," ujar pengacara paruh baya yang rambutnya dikucir rapi dibelakang itu.
"Jadi, Guru, eh maksudku Bu pengacara mau membela kedua temanku?" tanya Tangguh dengan penuh harap
"Ya, aku mau kali."
"Walau tanpa dibayar?"
"Hmmm.....," pengacara itu berpikir sejenak.
"Soalnya aku nggak punya uang, Bu pengacara," ucap Tangguh memelas.
"Hmmmm..... oke lah, tak apa-apa, akan kubela kedua teman kau yang tidak bersalah itu."
"Te...terimakasih Guruuuuu, ehhh Bu pengacara," ucap Tangguh amat girang.
***
Saat Tangguh masih terkulai dalam tidurnya, dukun Parti justru iseng mencoba kembali baju kemeja beserta jas milik Tangguh yang dibeli saat hendak masuk kerja untuk pertama kalinya.
"Hueeaaaaayyyyyy....." Tangguh mulai terbangun dan merentangkan kedua tangannya.
"Guh, kau sudah bangun?" tanya gurunya yang sedang mencoba baju kemeja lengkap beserta jas dan dasi milik Tangguh.
Tangguh melotot menatap guru dukun itu dan mengucek kedua matanya.
"Bu..... Bu pengacara!!!!"
"Kamu ini ngomong apa, Guh?" tanya gurunya keheranan.
"Bu, Bu pengacara pasti bisa bantu bebasin dua temen saya, kan?"
"Kamu ini ngomong apa, Guru nggak ngerti omongan kamu?" tanya gurunya yang semakin tak mengerti.
Setelah mengucek-ngucek mata untuk kedua kalinya, Tangguh baru sadar kalau yang ada di hadapannya bukanlah Bu pengacara seperti apa yang ia lihat di mimpinya. Tapi ia adalah gurunya sendiri, dukun Parti yang agak gendeng.
"Oh, Guru rupanya. Guru ngapain pake jas lagi, pake dasi segala?"
"Hehehehe, biar gaya, Guh."
"Ah dasar, Guru kan udah peot."
Taaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkk....
"Aduh, sakit Guru, maen jitak aja." Tangguh memegangi kepalanya. "Guru, apa masih ada yah pengacara yang mau ngebelain Cahyo sama Solihin tapi nggak dibayar?" tanya Tangguh dengan nada pesimis.
"Hmmm....," gurunya tak bisa menjawabnya.
"Guru, semalam aku mimpi aku bertemu dengan pengacara yang mau membela Cahyo sama Solihin walau nggak dibayar."
"Siapa pengacara itu?" tanya gurunya."
Tangguh menunjuk ke depan. Gurunya bergeser ke kanan, namun telunjuk Tangguh tetap terarah pada gurunya. Gurunya bergeser ke kiri, Telunjuk Tangguh pun mengikutinya dan tetap mengarah pada gurunya.
"Apa maksudmu?" tanya gurunya.
"Guru.... ya, Gurulah orang di mimpi itu. Bagaimana kalau Guru saja yang jadi pengacaranya?"
"Apaaaaa....... kamu udah gila, Guh?" gurunya pun kaget dan tak percaya.
"Nggak guru, aku masih waras."
"Kamu pasti bercanda, kan?"
"Nggak Guru, aku serius. Guru, kita udah coba cari ke mana-mana pengacara yang seperti itu. Tapi kita nggak juga menemukannya dan mungkin nggak akan pernah menemukannya. Coba Guru liat cermin ini. Guru sebenarnya tampak seperti pengacara dengan pakaian itu," ujar Tangguh menyodorkan cermin rongsokan.
"Tapi gimana bisa, Guh, Guru kan cuma gembel. Pengacara kan harus cerdas," ucap gurunya yang kali ini mengaku sebagai gembel.
"Guru, apa kita tega membiarkan Cahyo dan Solihin terus mendekam di penjara, sedangkan mereka nggak bersalah. Jangan pikirin Guru yang sekarang. Guru nggak usah pikirin kalo guru pernah jadi gembel, kalau muka Guru memang kaya gembel. Yang perlu Guru pikirkan adalah Guru yang baru. Guru yang berjiwa rapi dan cerdas. Aku percaya Guru, dan Guru pun harus percaya kalau Guru pasti bisa," ujar Tangguh meyakinkan gurunya.
"Baiklah, Guh, Guru akan coba."
"Oke, aku akan mencari bukti terlebih dahulu untuk membebaskan mereka dan menjebloskan Badrun, Jamal, dan Tohir ke penjara," ujar Tangguh.
***
Keesokan harinya mereka langsung bertindak cepat tanpa pikir panjang lagi. Si guru dukun itu sibuk melatih dirinya menjadi seorang pengacara dengan logat batak yang elegan. Sedangkan Tangguh mulai mencari bukti-bukti dan saksi kalau Cahyo dan Solihin tidak bersalah.
Dukun itu mulai sekarang lebih sering datang ke penjara untuk menemui Cahyo dan Solihin. Ia ingin mengetahui lebih mendalam mengenai kasus itu. Dalam hal ini, Cahyo dan Solihin adalah kliennya.
Sedangkan Tangguh malam itu pergi ke TKP untuk mencari saksi dan bukti yang dapat membuat kedua temannya terbebas dari penjara. Ia mendatangi klub malam tempat Cahyo dan Solihin ditangkap. Ia bertanya pada pekerja di sana.
"Mas, waktu ada rajia di bar ini apa mas tau ada dua orang yang ditangkep karena bawa narkoba?" tanya Tangguh pada salah seorang pelayan.
"Oh iya, memang ada dua orang yg ditangkap. Kedua orang itu membawa narkoba di dalam tas wanita yg mereka bawa."
"Apa Mas tau, tas itu punya siapa?"
"Waduh, kalo itu saya nggak tau, Mas," jawab pekerja klub malam itu.
"Oh, ya sudah, makasih, Mas."
Tangguh belum menemukan petunjuk apa pun di lokasi itu. Sementara persidangan yang akan memutuskan kedua temannya bersalah atau tidak tinggal dua minggu lagi.
Tangguh mulai merasa tak nyaman berlama-lama di tempat itu. Akhirnya Tangguh hendak keluar saja dari tempat itu. Tapi beberapa langkah di dekat pintu keluar, seseorang menahan lengannya.
"Eittt, tunggu dulu sayang, jangan pergi dulu, kamu mau ke mana?"
Ah sial, rupanya Tangguh harus berhadapan dengan wanita yang sedang mabuk. Tangguh hanya mengucap istigfar dalam hatinya.
"Saya mau pulang, Mba," jawabnya.
"Mau ke mana? temenin aku dulu dong, sebentaaar aja."
"Maaf Mba, saya buru–buru."
"Aaaah temenin aku dulu, bentaaaar aja. Kalo enggak aku teriak, nih," ancam wanita itu.
"Eitsss... oke-oke Mba, tapi sebentar aja yah," jawab Tangguh dengan terpaksa.
Mereka duduk sambil mendengarkan dentuman musik disko dihiasi lampu kelap-kelip. Tentu semakin lama Tangguh semakin tak tahan dengan suasana di sana. Tapi apa boleh buat, ia harus menemani wanita mabuk itu dan mengobrol sejenak.
"Mba, Mba sering yah kemari?" tanya Tangguh.
"Oh sering, Mas. Ini kan tempat favoritku," kata wanita mabuk itu.
"Apa mba juga ada di sini waktu ada rajia?"
"Iya Mas. Waktu itu kan aku dapet duit cukup besar Mas. Aku cuma disuruh nitipin tas doang."
"Nitipin tas, nitipin tas ke siapa, Mba?"
"Ke dua orang yang penampilannya agak kucel."
"Emang tas itu isinya apa, Mba?" Tangguh mulai penasaran.
"Yah, ada narkobanya mas, jadi dua orang itu ditangkep dehhh."
"Apa mungkin maksudnya adalah Cahyo dan Solihin?" tanya Tangguh dalam hatinya.
"Memangnya siapa yang nyuruh Mba melakukan itu?"
"Bos besar, dia orang kaya, namanya Pak Badrun."
"Nggak salah lagi, yang dimaksud pasti penjahat tengik itu, dan yang ditangkep pasti Cahyo, dan Solihin. Ternyata memang benar Badrun pelakunya," Tangguh geram dalam hatinya.
"Mba, boleh minta nomer Hp-nya!"
"Hahahahahhaah, mas ini ternyata diam-diam suka malu-malu mau. Ya, pasti boleh mas kalo mau minta nomer Hp. Nomer Hp-ku 08***********."
"Oke, aku akan menghubunginya nanti. Aku sudah menemukan satu saksi kunci permasalahan ini," ucap Tangguh dalam hatinya.
Di tengah perjalanan pulang, sebenarnya setiap kali Tangguh membayangkan gurunya yang bakal jadi pengacara, ia tak kuasa menahan tawa. Rasanya perutnya terkocok-kocok seperti mesin cuci. Tapi apa boleh buat, tak ada orang lain yang mau jadi pengacara, dan hari ini ia telah menemukan petunjuk baru untuk membebaskan kedua temannya. Ia yakin bisa membebaskan kedua temannya yang tak bersalah.
***