"Aduh... sakit Guru, sakitttt!!!!!" Tangguh meringis kesakitan.
"Kamu ini sok jagoan, Guh. Berani-beraninya ke sana sendiri. Kerasa kan akibatnya," ucap dukun Parti sembari mengobati luka Tanguh.
"Ya abis aku penasaran banget, Guru..."
"Soal Lica?"
"Hmmmm....," Tangguh hanya terdiam.
"Coba bilang sama Guru kalo kamu mau ke sana."
"Emang guru bakal bantuin?"
"Enggak, sih."
"????? --__--"
"Guru pikir kamu udah jadi orang kuat, Guh. Tapi ternyata kamu gampang sekali dipukulin sampe babak belur begini."
"Ya Guru, aku enggak tau kenapa. Aku seperti hanya pasrah terpaku menerima semua pukulan itu."
Di malam itu, ia memandangi bintang-bintang yang bertebaran di langit. Ia merasa lelah, tak tau lagi apa yang harus dilakukan. Semuanya seolah tak berpihak padanya. Bintang-bintang di langit seolah menatapnya tajam, Jalan layang di atasnya seolah bergoyang dan mau runtuh, suara kelakson mobil terdengar seperti longlongan srigala di tengah hutan yang mencekam.
Ia tak menyangka kalau hidup di ibu kota akan seperti ini. Ia tak mengerti apa lagi yang harus dilakukannya untuk menyelamatkan Lica, membebaskan kedua temannya dari penjara, dan bertemu dengan kedua orang tuanya yang entah berada di mana. Lamunannya perlahan sirna ketika lelap semakin terasa dan ia pun tidur di bawah gemerlap bintang.
***
Keesokan harinya, ketika matahari sudah mulai memanjat langit,
"Guh, mulai sekarang jangan kemana-mana sendirian!" ucap gurunya menasehati.
"Emang kenapa, Guru?" tanya Tangguh
"Kalo ketemu Badrun, Jamal, sama Tohir di jalan gimana? Kamu aja sekarang sudah bonyok begitu."
"Ya ampun, aku kan udah kuat, Guru. Kemaren itu karena konsentrasiku hilang aja. Buktinya dulu aku bisa merobohkan pohon yang sangat besar," ucap Tangguh dengan sombongnya.
"Iya juga ya, Guru percaya, sih," gurunya mengangguk.
"Seandainya Guru tau kalo pohon itu robohnya sama petir, hihihih," ucap Tangguh dalam hati.
"Guru cuma ngingetin aja, apalagi Guru baca koran sekarang lagi ada penculik. Penculik itu kabur dari penjara, terus nyulik anak orang kaya buat dijadiin tebusan."
"Baca koran, Guru beli koran?"
"Ini, koran yang biasa jadi selimut."
"Ya ampun Guru, itu koran taun kemaren -_-. Lagipula emang aku ini anak kecil, emang aku ini anak orang kaya pake diculik segala??"
"Oh iya.. ya, kamu kan gembel juga, Guh."
"Guruuuuuuuuuuu....!!" teriak Tangguh berniat menjitak kepala si dukun, walau ditariknya kembali kepalan tangannya itu setelah melihat tatapan mata si dukun yang begitu tajam.
...…
"Penculik itu kabur dari penjara, kabur dari penjara, penculikan.....," pikir Tangguh tentang ucapan dukun Parti. Seketika pikirannya mengingatkannya pada Cahyo dan Solihin yang terkurung di penjara, dan Lica yang seolah terkekang di jeratan Badrun.
"Kamu itu mikir apa, Guh?" tanya gurunya.
"Guru, sepertinya aku punya rencana baru."
"Emang apa rencana kamu?" tanya gurunya.
"Biar aku bisikin guru, xxxxx xxxxxxxxxxxxx xxx"
"Kamu ngomong apa, Guh, nggak kedengeran?"
"Ya ampun guru, aku bisikin sekali lagi yah,"
"Apaaaaaaaaaaaaa..... :O!!!!!!" gurunya kaget.
"Belum guru..., xxxxxxx xxxxxxx xxxxxx."
"Apaaa..., kamu serius, Guh, mau melakukan itu? Itu ide gila, Guh."
"Cuma itu cara yang bisa kita lakukan, Guru, nggak ada cara lain. Ini demi misi kita, demi desa Pasirputih."
"Tapi gimana caranya, Guh?" tanya dukun Parti
"Nah, itu dia Guru. Nanti kita pikirin sama-sama."
Nampaknya mereka punya rencana besar. Mereka mondar-mandir memutar otak, memikirkan bagaimana strategi untuk melaksanakan rencana itu.
"Jadi gimana, Guru, apa ada ide?" tanya Tangguh.
"Guru malah pusing, Guh, mondar–mandir kayak begini," jawab gurunya.
Tiktok.... tiktok..... tiktok.... tiktok....
"Aha....," ucap dukun Parti sembari mengacungkan jari telunjuknya.
"Udah ada ide, Guru?" tanya Tangguh.
"Belum, sih."
"Haduhh.... L"
"Aha, iya.... yes, akhirnya guru ada ide guh," ucap gurunya girang.
"Apa idenya, Guru?" tanya Tangguh.
"Sini, biar guru bisikin, xxxxxx xxxxx xxxxx xxxx."
"Aduh... mulut Guru bau," ucap Tangguh seraya menutup hidungnya.
"Tapi gimana, setuju kan sama ide Guru?"
"Haduh... nggak tau, deh. Tapi kita coba aja, Guru."
***
Keesokan harinya, sekitar pukul 10 pagi, mereka berangkat menuju rumah tahanan untuk mengunjungi Cahyo dan Solihin. Kemudian mereka pun sampai di rumah tahanan itu. Tapi sebenarnya apa rencana mereka?
Tak seperti sebelumnya, kali ini Cahyo dan Solihin terlihat merenung, bersandar di dinding dari balik jeruji besi. Separuh nyawa mereka seolah hilang. Tak tahu bagaimana jadinya masa depan mereka. Tak bisa dibayangkan jika orang tua mereka mengetahui anaknya dipenjara.
Terbayang di benak mereka, dinginnya ruang tahanan, dan terbatasnya ruang gerak mereka akan mereka rasakan beberapa tahun ke depan. Terbayang di benak Solihin, seandainya ia adalah seekor tikus yang bisa bebas keluar masuk menyelinap, walau harus mengais sampah. Terbayang pula di benak Cahyo, seandainya ia jadi tahanan yang bisa sesekali bebas jalan-jalan ke Bali dan nonton pertandingan tenis. Namun tentu itu tak bisa ia rasakan.
Ketika kepala mereka menyandar di dinding penjara dan melamun, tak lama kemudian petugas Lapas menghampiri mereka.
"Cahyo, Solihin, ada yang ingin menemuimu," ucap seorang petugas Lapas membukakan pintu kerangkeng.
"Siapa, Pak?" tanya Cahyo.
"Teman kalian. Tapi ingat ya, waktu kunjungan cuma sebentar."
Tangguh dan dukun Parti bertemu dengan Cahyo dan Solihin kala itu.
"Yo, Hin, Kamu baik-baik aja, kan?" sapa Tangguh.
"Ya Guh, kita baik-baik aja, kok," sahut Solihin dengan suara lemas.
"Kalian nampaknya nggak bersemangat seperti biasanya?" tanya Tangguh.
"Yah, kita udah pasti harus mendekam di sini untuk waktu yang lama, Guh," Solihin menundukkan muka.
"Yo, Hin, kita punya rencana supaya kalian bisa keluar dari sini," kata dukun Parti.
"Ssst, ngomongnya pelan-pelan, Guru!" ucap Tangguh mengingatkan gurunya.
"Oke, Yo, Hin. Sini, guru bisikin. Xxxxxx xxxxxxx xxxxxx xxxxxxx," bisik si guru dukun.
"Apaaaa....., ini gila guru dukun. Ide kalian tuh gila," ujar Cahyo.
"Iya Guh, Guru. Kita nggak mau ah melakukan itu."
"Sssttt, Yo, Hin. Aku mohon sama kalian kali ini aja. Kalian harus percaya kalau kalian itu kan nggak salah. Dan inget Yo, Hin, sama misi kita. Apa kalian mau ketiga penjahat itu terus bebas melakukan kerusakan?" kata Tangguh meyakinkan mereka.
Cahyo dan Solihin terdiam dan berpikir panjang.
"Waktu kunjungan tinggal satu menit lagi," ujar sipir penjara.
"Ya udah Yo, Hin, ini buat membantu kalian," Kata Tangguh sambil menyodorkan sesuatu secara sembunyi-sembunyi pada Cahyo dari bawah meja.
Cahyo pun menyembunyikan barang itu di bajunya. Tangguh dan dukun Parti meninggalkan mereka yang harus kembali meringkuk di dalam penjara. Mereka termenung menyandar di dinding bui, memikirkan saran Tangguh dan dukun Parti.
"Yo, apa harus kita melakukan itu?" Solihin ragu.
"Aku juga nggak yakin, Hin. Aku nggak tau, ini beresiko tinggi."
***
Malam pun tiba, suasana lorong-lorong penjara yang agak gelap semakin sepi dari jejak-jejak kaki. Tapi tentu tak ada jeritan atau tangisan, tak ada pula suster ngesot yang melewati lorong penjara seperti di film misteri. Inilah kesempatan Cahyo dan Solihin untuk beraksi.
"Yo, apa kamu yakin?" tanya Solihin sekali lagi.
"Hin, Tangguh sama guru dukun udah banyak bantu kita, kita harus yakin," Cahyo meyakinkannya lalu menepuk bahunya dan mengangguk.
"Tapi ini kan menyalahi hokum, Yo?"
"Hin, ini demi desa kita. Kamu awasi saja kalau-kalau ada yang lewat. Aku akan menggergaji jendela berjeruji besi ini," ujar Cahyo.
Perlahan-lahan batangan jeruji besi yang berfungsi sebagai ventilasi itu digergaji dengan sebatang gergaji besi yang diberikan Tangguh tadi siang. Nampaknya kondisi cukup aman, tak ada petugas yang lewat kala itu. Dari balik dinding tempat mereka dikurung, Tangguh dan dukun Parti menunggu mereka serta menyemangati mereka.
"Ayo yo, hin, kalian pasti bisa," kata Tangguh dengan perlahan.
"Ayo... Cahyo... Solihin... Cayoooo.... ganbate...!!!" teriak dukun parti dengan penuh semangat.
"Ssssst.... Guru, jangan berisik!" ucap Tangguh menutupi mulut gurunya.
"Gawat Yo, ada yang lewat," kata Solihin yang sedang mengawasi.
Cahyo dan Solihin bergegas pura-pura tidur dan berselimut.
Petugas penjara sempat melihat mereka. Namun untunglah petugas itu tak mencurigai apa pun. Ia kembali pergi karena melihat Cahyo dan Solihin sedang tidur.
"Aman Hin, kamu sekarang awasi lagi, aku yang terus menggergaji ventilasi berjeruji besi ini."
"Ba..baiklah yo."
"Tuh kan Guru, jangan berisik, dong!" kata Tangguh pada guru dukun.
Rupanya itulah ide gila Tangguh dan dukun Parti. Mereka terpaksa menjalankan ide ini walau ini bukanlah ide yang baik. Namun kondisi yang memaksa mereka. Mereka tahu ini salah, namun bagi mereka, desa mereka jauh lebih penting untuk diselamatkan. Lalu akankah Cahyo dan Solihin mampu menjalankan ide gila ini?
***