Kukuruyuuuuuuuuk.....
Di luar sana ayam berkokok menyambut datangnya sang fajar, mentari sudah mulai menampakan sinarnya diiringi bintang yang semakin memudar dari panorama langit. Angin tipis berembus membawa kesejukan.
Namun hal itu tak bisa dirasakan di penjara, tempat orang-orang terhukum meratapi takdirnya. Para tahanan hanya bisa meringkuk, bersandar pada dinding ruang tahanan, atau menjulurkan tangan mereka di antara jeruji-jeruji besi yang mengekang seraya meratapi penyesalan. Tapi hal itu kini tak lagi dirasakan Cahyo dan Solihin.
"Gawat Pak, dua orang tahanan kabur..!!!" ucap penjaga penjara pada atasannya.
"Apaaaa, kok bisa?" Kepala LAPAS kaget mendengar berita itu.
Petugas penjara pun datang ke lokasi dan melihat Cahyo dan Solihin sudah tak ada lagi di ruang tahanannya. Ternyata ventilasi berjeruji besi di ruang kurugan Cahyo dan Solihin telah digergaji dan mereka telah kabur melalui lubang itu.
Segenap petugas segera menyebar mencari keberadaan mereka di sekitar rumah tahanan itu.
***
Kebun di belakang ruang tahanan Cahyo dan Solihin disisir. Sementara Cahyo, Solihin, Tangguh dan dukun Parti terus berlari tuk mencari tempat persembunyian.
"Ayo, cepat Guru...!!"
"Aduh, Guru capek, Guh."
"Ya ampun Guru, jangan capek, kita harus cepet nemu tempat persembunyian," ucap Tangguh.
"Iya, ayo guru dukun," Cahyo ikut menyemangati.
Setelah sekian lama mereka berlari mencari persembunyian, di tengah-tengah semak yang tinggi, di tanah yang tak terurus, mereka menemukan bangunan tua yang tak berpenghuni yang telah lama ditinggalkan. Bangunan itu tak terurus, dinding-dindingnya kumuh dan terdapat coretan-coretan tak berarti. Di dalamnya sarang laba-laba berjuntai-juntai di setiap sudut ruangan. Tak ada lampu, membuat malam hari di bangunan tua itu gelap sekali. Hanya ada cup lampu yang bergantung ke plafon dengan rantai yang telah dibungkus sarang laba-laba. Plafonnya pun telah banyak berlubang. Sampah berserakan di mana-mana. Wajar jika bangunan itu tak ada yang menempati. Hanya tikus, laba-laba dan bekicot yang mau menempati bangunan itu. Lamunan Solihini yang menjadi tikus saat dikurung dipenjara seolah menjadi kenyataan ketika melihat tempat itu.
"Yang benar saja, masa kita harus tinggal di sini?" ucap dukun Parti mengeluh.
"Guru kan biasa jadi gelandangan. Pasti tinggal di sini gak masalah, dong," ucap Tangguh.
"Iya guru dukun, lagi pula pasti polisi bakal nyari kita ke mana-mana. Kita harus bersembunyi dulu di sini," Cahyo pun ikut berucap.
......
Selama beberapa hari mereka terus tinggal di situ. Menikmati dinginnya malam diiringi suara tikus yang mangais-ngais sampah. Kadang, ketika turun hujan, tetasan air menetes dari atap yang bocor.
"Guh, sampai kapan kita mau berada di sini?" tanya Cahyo.
"Iya Guh, terus rencana kita selanjutnya apa?"
"Sebenernya aku sudah punya rencana baru untuk menuntaskan misi kita, Yo, Hin."
"Ide apa itu, Guh?" tanya Cahyo.
"Sebenernya aku nggak pingin sih pake cara kaya gitu. Tapi kayaknya cuma cara itu yang bisa kita lakukan."
"Emang cara apa, Guh?" tanya Solihin penasaran.
"Hmmmm.... bisa nggak yah pake cara itu?"
"Iya, cara apa Guhhhhh..... kan belum dikasih tau caranya?" ucap Cahyo yang mulai kesal.
"Jadi caranya gini... hmmm tapi..."
"Jadi apa Guh, caranyaaaaa...???!!!!!" kata Cahyo, Solihin dan dukun Parti yang teriak karena tak sabar.
"Oh iya Guru, Yo, Hin, sabar, jangan teriak, nanti kita ketahuan. Baik aku bisikin Yo, caranya yah nanti kamu bisikin ke yang lain, xxxxx.... xxxxx.... xxxxxx."
Entah ide gila apa lagi yang direncanakan Tangguh. Yang pasti dari tempat persembunyian itu mereka terus mencari cara untuk memperjuangkan kebenaran.
Di sisi lain, sirine polisi mengiung-ngiung di seantero kota laksana nyamuk terbang yang mencari darah segar. Selebaran dibagikan dan ditempelkan di sana sini. Bukan selebaran Caleg dan partai politik tentunya. Selebaran itu menyatakan barang siapa yang menemukan keberadaan Cahyo dan Solihin akan mendapatkan 100 juta rupiah. Berita itu kini menyebar ke seantero kota. Orang-orang mulai tajam memandangi setiap sudut kota. Posisi mereka semakin lama semakin terancam. Polisi terus gencar melakukan pencarian dan dibantu orang-orang yang tergiur akan hadiah yang ditawarkan.
***
Ketika matahari belum naik muncul ke permukaan, terlihat polisi berpakaian lengkap dengan helem, tameng, rompi anti peluru, dan persenjataan lengkap menuju ke suatu tempat. Mereka menaiki panser dan truk-truk polisi. Polisi itu langsung menyerbu ke sebuah gudang tua yang lama tidak terpakai. Penduduk sekitar diamankan dari sekitar lokasi tersebut. Apakah ada teroris di tempat itu?
Rupanya yang sedang diserbu itu adalah gudang tempat Cahyo, Solihin, Tangguh dan dukun Parti bersembunyi. Polisi berpikir mereka adalah narapidana yang berbahaya karena berhasil kabur dari rumah tahanan, karena itulah polisi mengepung gudang itu seperti layaknya mengepung teroris. Celaka, habislah mereka kali ini, dikepung oleh polisi-polisi bersenjata lengkap seperti itu.
"Keluar kalian..!!!" teriak salah satu polisi.
Namun tak ada jawaban dari dalam gudang itu.
"Hai keluar, kalau tidak tempat ini akan kami ledakan," teriak polisi itu lagi mengancam berharap mereka takut. Namun tak ada jawaban juga.
"Oke, kami hitung sampai tiga, satu... dua... tiga."
Ternyata tak ada jawaban juga. Kemudian polisi dari berbagai sudut menyergap ke dalam gudang itu sambil menenteng senjata. Pintu pun ditendang dan mereka mencari keberadaan buronan itu ke setiap sudut ruangan. Namun setelah mencari-cari dan membongkar tumpukan kardus, mereka tak menemukan buronan itu. Lalu dimanakah Cahyo, Solihin, Tangguh, dan dukun Parti? Rupanya sejak subuh tadi mereka sudah merasa polisi akan mengincar tempat persembunyian mereka. Maka mereka segera kabur.
"Guru, ayo cepat, mereka sudah mencium keberadaan kita!" kata Tangguh sambil terus berlari.
"Ayo, kita harus lebih cepat lagi!" ucap Solihin menyemangati.
"Tapi ke mana kita harus mencari tempat persembunyian lagi?" tanya Solihin.
"Nggak tau Hin, yang penting kita lari secepat mungkin," kata Tangguh sembari mengusap keringat di dahinya.
"Hai tunggu kalian, jangan lari..!!" teriak polisi yang mengejar mereka dari kejauhan.
"Guh, gimana ini, kalo kita lari pasti polisi itu nembak kita, Guh," ujar Solihin ketakutan.
"Udah, pokoknya jangan sampe kita ketangkep," ucap Tangguh.
Desingggg... ddesinggg... desingggg
Terdengar suara tembakan peringatan dari polisi ke udara. Mereka sedikit gentar, namun tetap tak berhenti berlari. Di jalan, mereka menyegat sebuah mobil yang melintas dan memaksa pengendara mobil itu untuk turun dan meminjamkan mobilnya.
"Guh, kamu sudah gilaa," kata Cahyo.
"Sudahlah, kita sudah tanggung," ucap Tangguh.
Tangguh yang menyetir mobil itu dengan kecepatan tinggi agar menghindar dari kejaran polisi. Ini baru pertama kalinya Tangguh menyetir mobil. Ia hanya pernah melihat cara menyetir mobil saat ia masih sekolah dulu, saat ia menumpang mobil yang mengangkut sayur. Akibatnya beberapa kali ia kesulitan mengendalikan mobil itu, menyenggol ke kanan dan kiri.
Di jalan terdengar sirine-sirine polisi dan nampaknya polisi yang mengejar mereka semakin banyak. Entah kenapa, kali ini Tangguh seperti seorang penjahat yang tega melakukan apa pun. Hal itu terlihat dari cara dia mengendarai mobil dengan ugal-ugalan. Kali ini mereka semakin terjepit. Karena mobil polisi mengejarnya dari berbagai penjuru. Masyarakat sekitar pun memerhatikan mereka.
"Guh, habislah kita kali ini. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Solihin cemas.
Kali ini Tangguh nampak tegang. Keningnya bercucuran keringat, ia seolah bingung menjawab pertanyaan itu. Tangguh mulai kehabisan akal.
Tangguh terus berpikir sambil memacu mobil itu. Suara sirine dan tembakan polisi terus terdengar. Ia pun memutar setirnya menuju ke suatu arah. Yang lain tak tau mau ke mana Tangguh mengarahkan mobil itu sambil menghindari kejaran petugas, mereka hanya berpegangan sekuat mungkin.
Misteri itu terjawablah sudah ketika mobil itu sampai di depan rumah Badrun dan berhenti. Rupanya di depan rumah Badrun, ada istrinya yang tak lain adalah sahabat lama Tangguh, ia adalah Lica. Tapi Kini mobil yang mereka tumpangi telah dikepung polisi dari arah belakang.
"Kali ini habislah kita," sahut Cahyo sambil menutup wajahnya.
Solihin pun nampak merasakan hal yang sama. Sedangkan Dukun Parti hanya termenung memandang ke arah luar dari jendela mobil itu, seraya memandangi seorang polisi yang gagah sambil mengangkat senjata.
Di tengah kebingungan yang menerpa mereka, Tangguh keluar dari mobil, sementara para polisi mengacungkan senjata ke arahnya. Tangguh nampak tak gentar. Ia berlari menghampiri Lica yang tengah berdiri kebingungan, memandangi apa yang terjadi di depan rumahnya. Ia terkejut ketika Tangguh menghampirinya dan mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Kemudian langsung membekap mulutnya dan mengarahkan ujung pisau ke lehernya.
"Hai para polisi, Jangan ikuti kami lagi, kalau tidak wanita ini akan kubunuh....!!" teriak Tangguh.
"Guh, kamu gila!!! Itu kan Lica!!" teriak Cahyo.
Lica pun nampak kaget dengan ancaman itu. Ia tak mengerti mengapa Tangguh yang dikenal sangat baik bisa berbuat seperti itu.
Sebenarnya ia tak akan mungkin tega membunuh Lica. Wanita yang selalu menjadi fatamorgana di gurun pasir kehidupannya yang tandus. Itu terpaksa ia lakukan karena kondisinya sudah terjepit. Lalu ia membawa Lica masuk ke dalam mobil dan membawanya.
"Drun.... kalau kau ingin dia kembali, temui aku di SD tempat kita sekolah dulu! ajak pula Jamal dan Tohir. Tapi ingat, jika ada polisi, aku tak tau apa yang terjadi nanti," Tangguh mengancam Badrun.
Kali ini Badrun nampak kebingungan, terlihat dari raut wajahnya. Polisi pun tak ada yang mengejar mereka karena takut terjadi apa-apa pada wanita itu.
...….
"Guh, maksud kamu apa sih, Guh?!!" Tanya Lica dengan nada marah.
"Maaf Ca, aku terpaksa melakukan hal ini. Aku tau aku salah. Tapi ini satu-satunya jalan untuk mengembalikkan kebenaran."
"Kebenaran, kebenaran macam apa, Guh? Sekarang kamu sama temen-temen kamu jadi buronan polisi, kalo ketangkep pasti kalian dihukum."
"Aku tau Ca, tapi seenggaknya, saat ini kamu bisa bebas dari cengkraman Badrun, lelaki yang selama ini selalu memaksa kamu, selalu membatasi kamu."
Di sepanjang perjalanan, setelah marah pada Tangguh, kini Lica lebih banyak diam tak bersuara. Ia tahu apa yang dilakukan Tangguh dan kawan-kawannya menyalahi aturan hukum. Tapi di sisi lain, ia mengerti kalau Tangguh punya niat baik. Sepanjang perjalanan ia hanya menyandarkan kepalanya ke kaca jendela dengan tatapan kosong.
***
Dua puluh empat jam berlalu. Badrun mulai memikirkan ancaman Tangguh. Ia mulai merasa gusar karena istrinya dibawa pergi dan diancam hendak dibunuh, jika ia tidak menuruti permintaan Tangguh. Awalnya ia tidak percaya karena ia juga tahu apa yang dirasakan Tangguh pada istrinya. Tapi belakangan ia merasa kalau Tangguh sudah jauh lebih berani dari sebelumnya, dan ia bisa saja berbuat nekat.
***