Setelah Kedua sahabatnya menerima hukuman kurungan penjara untuk waktu yang cukup lama, Tangguh masih terdiam merenung. Ia merasa bersalah karena tak mampu menolong kedua sahabatnya. Begitu juga dukun Parti yang kala itu menjadi pengacara mereka. Mereka merasa kecewa dengan apa yang sudah diputuskan hakim.
Waktu demi waktu bergulir tiada henti, tak ada juga ide yang muncul dari benak mereka untuk berbuat sesuatu. Tangguh hanya berjalan sendiri menelusuri jalanan. Ia seolah tak tau mau ke mana dan tak mengerti harus berbuat apa. Berharap ada ide yang muncul untuk berbuat sesuatu, berharap semangatnya bisa meletup kembali laksana kembang api yang meledak di langit.
Tangguh terus berjalan sendiri menelusuri jalanan ibu kota diiringi suara mobil yang melintas. Tak ada ide apa pun yang mucul di benaknya. Semangatnya pun masih belum kembali seperti dulu. Tapi suatu ketika langkahnya terhenti sejenak melihat mobil sedan mewah melintas di hadapannya dan berhenti di depan sebuah pusat perbelanjaan. Sopir mobil itu turun dan membukakan pintu belakang untuk majikannya. Perlahan turun satu kaki diikuti sebelahnya lagi dengan begitu gemulai. Tangguh melihat ke arahnya dan terhenyak, entah kebetulan atau tidak, ternyata yang dilihatnya itu adalah Lica. Sosok fatamorgana yang selama ini mengisi ruang pikirannya.
"Licaaa... Ca.. Lica....!!!" teriak Tangguh memanggilnya dengan setengah berlari ke arahnya.
Melihat Tangguh yang memanggilnya dan mendekatinya, justru Lica memalingkan wajahnya dan buru-buru masuk lagi ke mobil. Tangguh terus memanggilnya dan mengetuk-ngetuk jendela mobil itu. Namun tetap tak dibukakan, justru mobil itu dengan cepat melaju meninggalkannya. Nampaknya Lica memang sengaja menghindari Tangguh. Entah apa yang ada di benaknya. Mungkin ia merasa bersalah karena sekarang bersama Badrun yang selalu menjahati Tangguh dan teman-temannya. Ataukah ia memang lebih bahagia bersama Badrun dengan harta yang melimpah? Yang pasti Tangguh tak mengerti dengan sikapnya itu.
Tangguh menjadi lebih banyak menyendiri dan merenung sepanjang hari. Ia semakin tak mengerti dengan semua yang terjadi. Tak mengerti dengan hidupnya sendiri. Ia merasa seperti sehelai daun kering di sebuah ranting pohon yang telah mengering di atas tanah yang tandus dan sewaktu-waktu bisa terhempas tertiup angin. Ia benar–benar merasa lemah dan tak mengerti.
***
Sebulan telah berlalu, Tangguh masih belum berbuat apa-apa. Ingin rasanya ia menghabisi Badrun, Jamal, dan Tohir yang telah memfitnah kedua sahabatnya hingga harus mendekam di bui. Di sisi lain, ia ingin menemui Lica dan memintanya tuk menjelaskan tentang dirinya yang bersama Badrun, penjahat yang telah menghancurkan Desa Pasirputih.
Sore itu, ia benar-benar mendatangi rumah Badrun lagi dengan membawa sebongkah emosi yang hampir meledak. Kali ini ia datang tanpa menggunakan penutup wajah. Ia datang dengan gagah berani menuju rumah Badrun, tak peduli apa pun yang akan menghalangi langkahnya nanti.
Setibanya di sana, di depan pagar tinggi ia langsung berteriak memanggil Badrun dengan penuh emosi.
"Hai Badrun, keluar kau....!!!!"
"Mau apa kau? Pak Badrun tidak ada di rumah!!!" jawab satpam membentaknya.
Tapi Tangguh tak mempercayainya. Ia terus berteriak mengharapkan Badrun keluar.
"Hai Badrun, keluar kau kalau berani....!!!" teriak Tangguh lagi.
Namun Badrun tak muncul juga. Mungkin ia memang tak ada di rumahnya. Tapi tangguh tetap terus melakukan hal itu. Tak peduli satpam yang menentangnya. Sampai suatu ketika di lantai dua munculah Lica dari balik bingkai jendela kamarnya, melihat apa yang terjadi di depan rumah. Ia melihat Tangguh berteriak–teriak. Ketika itu Tangguh pun melihat Lica yang memandangnya dari balik jendela.
"Lica.... Ca....!!" teriak Tangguh.
Lica masuk kembali dan menutup tirai jendela.
"Lica, aku ingin bicara padamu, Ca....!!" teriak Tangguh.
Hujan mulai turun di malam itu. Tangguh tak peduli sedikit pun, tekadnya tak akan luntur hanya karena tetesan air hujan. Tangguh masih penasaran dengan apa yang terjadi. Mengapa Lica bisa serumah dengan Badrun, penjahat yang amat licik.
"Pak, saya mau ketemu dengan Lica sebentar!" Tangguh memohon pada satpam di rumah itu.
"Buat apa kau bertemu dengan istri tuan Badrun. Lebih baik kau pergi saja sebelum tuan Badrun datang!" ucap satpam itu mengusirnya.
"Apaaaa, jadi Lica sekarang istri Badrun?!" Tangguh terkejut.
"Ya, lebih baik kau pulang saja!"
"Tidak, aku akan tetap menemuinya. Pasti ia punya alasan dengan semua ini," ujar Tangguh yang tak mau pergi walau hujan tiba-tiba turun begitu derasnya.
"Tidak bisa, pergi kau...!!!!" ucap satpam itu mengusirnya.
Tangguh membuka paksa pintu gerbang rumah itu. Kemudian terjadilah pertarungan antara satpam dan Tangguh di tengah derasnya hujan. Mereka saling mengeluarkan pukulan. Dengan berusaha keras, Tangguh menghindari semua pukulan yang dilayangkan satpam itu. Dan akhirnya Tangguh memukul satpam itu hingga sempoyongan. Setelah bertarung cukup sengit, Tangguh segera menerobos masuk ke rumah itu. Ia membuka paksa pintu rumah dan bergegas naik ke lantai atas untuk menemui Lica. Kemudian ia pun sudah berada di hadapan Lica.
"Ca, kenapa kamu bisa ada di sini? Aku yakin kamu nggak mungkin tega menghancurkan desa kita bersama tiga penjahat itu. kamu pasti punya alasan yang kuat kan, Ca?" tanya Tangguh dengan badan yang basah kuyup.
"Nggak Guh, ini memang sudah takdir hidupku. Kamu nggak usah pertanyakan itu," jawab Lica menahan tangis.
"Tapi kenapa kamu bisa bersama dengan orang jahat itu, Ca?" tanya Tangguh terus mendesaknya.
Tangguh terus mendesaknya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun Lica masih bungkam menutupi alasan itu. Tapi Tangguh tak peduli. Ia terus mendesak Lica untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
"Lebih baik kamu pergi aja, Guh!" ucap Lica dengan mata berkaca-kaca.
"Nggak, aku nggak akan pergi sebelum kamu menjelaskan kenapa kamu bisa hidup sama Badrun. Sama orang yang telah menghancurkan desa kita. Kenapa, Ca??" tanya Tangguh semakin ngotot.
"Udah lah Guh kamu pergiii..... pergiiiii.....!!!!" teriak Lica yang tak kuasa lagi membendung air matanya.
Terlihat beban hidup yang ia rasa dari matanya yang berair. Sejak kecil, Lica selalu bisa menyembunyikan kesedihannya. Bahkan ketika orang tuanya selalu bertengkar dan akhirnya bercerai saat ia masih SD, ia hanya menangis dalam hati, namun saat di sekolah selalu terpancar senyum dari bibirnya. Tapi kali ini ia tak kuasa menyembunyikan segala kesedihan yang dirasakannya. Air matanya tumpah tak terbendung walau bibirnya tak berucap soal masalah yang ia rasa.
"Ca, aku yakin kamu nggak bahagia di sini. Oke, aku akan pergi. Tapi setelah kamu cerita yang sebenarnya." Tangguh terus memaksa Lica mengatakan semuanya. Hingga Lica pun tak kuasa membendung semuanya. Ia menceritakan apa yang terjadi padanya.
"Okeee, Aku terpaksa, Guh. Aku terpaksa berada di sini. Oke Guh, emang betul aku terpaksa menjadi istri Badrun," ucap Lica terus meneteskan air mata.
"Tapi kenapa, Ca?" tanya Tangguh.
"Aku terpaksa, karena waktu itu ibuku sakit keras, dirawat di rumah sakit dan harus dioperasi. Aku nggak punya biaya Guh, akhirnya Badrun yang membiayai semua pengobatan ibuku. Tapi dengan syarat aku harus mau menikah dengannya."
"Kurang ajar....!!" ucap Tangguh dalam hatinya yang begitu emosi pada Badrun.
"Udah Guh, lebih baik kamu pulang aja!"
"Oke, kita sama-sama pergi dari sini, Ca."
"Nggak, aku gak bisa, Guh."
"Ca, mau sampai kapan kamu di sini bersama Badrun?"
"Aku nggak tau, Guh. Buatku yang terpenting adalah ibuku."
***
Tak lama kemudian terdengar suara klakson mobil, Badrun rupanya telah tiba. Ia pun turun dari mobil itu beserta para Bodyguard yang mengawalnya. Ketika ia turun, ia melihat ada sesuatu yang janggal di rumah mewahnya. Pintu gerbang telah terbuka dan satpam tergeletak dengan luka pukul di wajahnya. Ia bertanya pada satpam itu.
"Sebenarnya ada apa ini. Apa yang terjadi?"
Satpam yang tergeletak itu agak kesulitan untuk menjawab. Dengan suara yang dipaksakan dan terbata-bata ia pun menjawab, " O.... o.....orang itu ingin... ingin menemui Nyonya Lica."
"Apa... siapa dia... kurang ajarrrrrr!!!" Badrun pun naik pitam dan segera masuk ke rumahnya dengan penuh emosi.
Terkejutlah Badrun ketika melihat Tangguh berusaha membujuk Lica keluar dari rumahnya.
"Kurang ajar kau..... mau apa kau?!!" ujar Badrun dengan penuh emosi.
"Drun, sebenarnya kenapa kamu bisa sejahat ini?" jawab Tangguh dengan satu pertanyaan.
Tanpa berpikir panjang Badrun lantas menyuruh para bodyguard-nya untuk memukuli Tangguh.
"Pukul orang itu...!"
Tangguh dipukul oleh tiga bodyguard yang badannya besar-besar hingga babak belur.
"Udah, cukup Mas, biarin dia pergiiii....!" teriak Lica yang menangis dan menjerit.
Namun pukulan itu tetap saja dilayangkan pada Tangguh. Tangguh nampak tak berdaya melawan ketiga orang yang kekar itu. Ia hanya terdiam dan seolah tak peduli kalau dirinya dipukuli secara bertubi-tubi. Karena baginya, ia sudah terpukul terlebih dahulu ketika melihat Lica dipaksa harus menikah dengan Badrun. Jauh lebih sakit daripada dipukul siluman kerbau sekalipun.
Tangguh diseret keluar oleh para Bodyguard itu. Ia dilempar begitu saja keluar gerbang. Malam itu hujan yang turun begitu deras semakin membasahi tubuhnya yang sudah babak belur dan tak berdaya. Seiring dengan hujan yang begitu deras, air mata pun terus mengalir dari pipi Lica yang menangisi kejadian itu. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa dan hanya berharap Tangguh baik–baik saja.
***
Itu adalah hari yang buruk bagi Tangguh. Baginya, sakit yang ia terima akibat pukulan tidak begitu sakit dibandingkan sakit yang ia rasakan ketika harus menerima kenyataan pahit bahwa Lica memang merupakan istri Badrun, dan itu karena paksaan. Apalagi sebelumnya ia pun harus menerima kenyataan pahit kalau kedua sahabatnya dinyatakan bersalah dan dihukum mendekam di penjara hingga beberapa tahun ke depan.
Walaupun Tangguh juga tidak tau kalau Lica pun merasakan hal pahit yang teramat pahit dalam hidupnya. Sejak orang tuanya bercerai, setiap pulang sekolah ia selalu berjualan kue untuk membantu perekonomian. Ibunya, ibunyalah yang selalu berusaha menguatkannya, hingga ia bisa menyembunyikan kesedihannya saat di sekolah, walau hatinya menangis.
Dan setahun yang lalu ibunya sakit kanker. Ia membawa ibunya ke Jakarta untuk perawatan secara intensif di rumah sakit. Ia pun berusaha keras bekerja sekuat tenaga siang dan malam untuk biaya pengobatan ibunya. Apa saja ia lakukan mulai dari bekerja sebagai cleaning service, pelayan restoran, sampai jadi petugas pom bensin, namun tak pernah cukup, apa yang ia hasilkan tak pernah cukup untuk penngobatan ibunya. Apalagi jika harus operasi dan kemoterapi. Namun jika dibiarkan, mungkin ibunya takkan tertolong.
Saat menjadi petugas pom bensin ia bertemu dengan Badrun yang mengisi bensin untuk mobil mewahnya. Badrun pun menawarkan bantuan untuk membiayai pengobatan ibunya dengan syarat ia harus menikah dengan Badrun. Lica pun dengan terpaksa menyanggupi hal itu walau hatinya menangis.
Tangguh berusaha mengerti keputusan Lica jika pertimbangan itu karena ibunya. Karena Tangguh sendiri telah lama tak bertemu ibunya. Ibunya yang dahulu membimbingnya, dan menguatkannya.
Di tengah kenyataan pahit yang ia rasa saat ini, ia hanya bisa merenung dan berharap suatu hari nanti dalam hidupnya bisa bertemu kembali dengan ibunya.
Tapi apa pun yang terjadi pada hidupnya, Tangguh masih mempunyai asa, ia masih percaya jika suatu saat keadilan akan terjadi. Ia selalu percaya kalau semua ini ibarat badai yang pasti berlalu. Ia berusaha untuk yakin bahwa setiap kenyataan pahit dalam hidup ibarat obat yang pahit namun memiliki khasiat.
Di tengah malam, Ia bermunajat memanjatkan doa pada Allah supaya badai ini segera berlalu, semoga kenyataan pahit ini segera berlalu.
***