Hari demi hari berlalu seiring mentari yang datang dan pergi. Persidangan Cahyo dan Solihin tinggal seminggu lagi. Dukun Parti mondar-mandir dengan perasaan berdegup. Hari di mana ia harus berpura-pura sebagai pengacara kian dekat. Begitu juga dengan Tangguh. Meskipun Tangguh sendiri yang dengan terpaksa menyuruh gurunya menjadi pengacara bagi kedua sahabatnya, namun di dalam hatinya ada perasaan tak percaya bahwa gurunya mampu. Maklum saja, gurunya memang kadang-kadang berkelakuan aneh, bahkan sedikit gila. Tapi Tangguh terus berdoa agar semuanya berjalan lancar, agar kebenaran dan keadilan bisa terungkap.
Sore itu, dengan mengenakan kemeja dan jas hitam ala pengacara, dukun Parti kembali menemui kedua kliennya, Cahyo dan Solihin. Ia ingin mengumpulkan informasi lebih banyak lagi dengan mendengarkan kesaksian mereka.
"Guru dukun, apa guru dukun yakin bisa jadi pengacara?" tanya Cahyo yang menaikkan alisnya tanda meragukan guru dukun itu.
"Sssssstt..... jangan keras-keras. Kalau kau ingin bebas, sudah percaya saja," ujar guru dukun sambil menutup mulut Cahyo dengan tangannya.
"Iya Yo, kita percaya aja dulu. Lagi pula mungkin nggak ada cara lain. Tangguh sama guru dukun pasti berusaha buat bebasin kita," ucap Solihin.
"Hmmmmm... hmmmm..... hmmmmmm," kata Cahyo yang mulutnya masih ditutup.
"Kamu mau ngomong apa, Yo?" tanya Solihin.
"Hmmm ahhhhh. Bagaimana aku mau ngomong, dari tadi ditutupin terus. Bau... lagi tangannya."
"Ya maap, hehe," ucap guru dukun cengegesan.
***
Di malam itu Tangguh mencoba mencari bukti lain yang siapa tau ia temukan di rumah Badrun. Ia tahu alamat rumah Badrun dari kartu nama yang ia ambil diam-diam dari meja kerja Badrun saat mengacau di kantornya waktu itu.
Tangguh tiba di depan rumah mewah Badrun yang begitu megah dengan pilar besarnya dan jendela-jendela kaca yang besar dikelilingi pagar besi yang cukup tinggi.
Ia menutup wajahnya dengan sarung, mencoba masuk diam-diam ke rumah itu. Satpam di rumah itu sudah tidur. Tangguh perlahan naik melewati pagar, berjalan mendekati satpam yang tertidur pulas dan dengan cepat Tangguh menyergap mulutnya dengan sarung tangan yang telah diberi obat bius alami. Jahat sih, tapi ini ia lakukan demi misinya untuk membebaskan kedua sahabatnya.
Setelah satpam itu tak sadarkan diri, Tangguh langsung masuk ke rumah Badrun. Ia berjalan mengendap-ngendap, kemudian mulai mencoba membuka pintu secara perlahan. Namun sayang, pintunya terkunci. Ia pun mencoba mengendap-ngendap lewat pintu belakang, tapi pintu belakang pun terkunci. Lalu ia melihat ada jendela di lantai atas yang sedikit terbuka, mungkin ia bisa naik ke balkon dan masuk lewat jendela itu.
Tangguh melihat ke sekitar apa ada yang bisa membuatnya naik ke balkon lantai dua. Ia melihat sebuah tangga lipat di halaman dan mengambilnya. Ia naik menggunakan tangga itu kemudian mencoba masuk lewat jendela yang terbuka itu secara perlahan-lahan. Tapi ia tak sengaja menyenggol vas bunga yang diletakkan dekat kusen jendela hingga terjatuh dan pecah menimbulkan suara gaduh.
"Siapa itu?!!" kata seorang wanita yang berada di dalam rumah itu.
Wanita itu sepertinya berada di dapur dan ia mencurigai ada seseorang yang masuk ke rumahnya akibat suara vas bunga yang terjatuh. Tangguh mengembalikan vas bunga yang telah pecah itu ke tempatnya. Namun saat ia hendak bersembunyi, tak disangka seorang wanita berpakaian tidur, berambut hitam terurai sudah ada di hadapannya. Mereka saling berhadapan di antara kusen jendela. Tangguh yang berdiri di balkon begitu terkejut.
"Si..siapa kamu, ma..mau apa kamu di rumah ini?" tanya wanita itu yang agak sedikit takut melihat orang yang mukanya ditutup sarung seperti maling.
Tangguh hanya terdiam, terpaku, tertegun, terhenyak. Bibirnya seolah membeku tanpa bisa bicara sepatah kata pun. Ia menatap wanita itu sesaat. Ia seperti melihat air di tengah padang pasir yang tandus. Mungkinkah ini hanya fatamorgana? Nampaknya ia amat mengenal raut wajah wanita itu. Itu rupanya wanita yang selama ini hanya menjadi fatamorgana baginya. Ia amat terkejut, tak percaya kalau ia bisa bertemu dengannya lagi. Namun mengapa Lica bisa berada di dalam rumah Badrun, ia tak mengerti.
Ia harus cepat lari dari rumah itu. Melompat dari balkon dan menjauh lari secepatnya.
Tangguh berjalan menundukkan kepala tanpa mendapat bukti apa pun untuk membebaskan kedua sahabatnya. Bahkan ia sempat ketahuan. Lalu ia buka sarung yang menutupi wajahnya.
Di perjalanan ia terus merenung, tapi bukan memikirkan kalau ia tak mendapatkan bukti apa pun. Yang ia pikirkan adalah mengapa Lica, orang yang dulu sangat baik, yang selalu membelanya, bisa ada di rumah Badrun yang telah merusak desa mereka. Pikiran itu yang membuatnya sungguh tak bisa mengerti. Berjuta kata tanya terus menyeruak di dalam benaknya malam itu. Apa yang membuatnya hingga bisa berada di rumah Badrun? Mungkinkah Lica telah menikah dengan Badrun? Ia sama sekali tak mengerti.
***