Setelah dipecat dari pekerjaan dan diusir dari kos-kosan, mereka kini terpaksa harus menjadi gelandangan. Hari-hari mereka lewati di jalanan. Tidur beralaskan kardus, berselimutkan koran, dan beratapkan fly over. Kadang mengamen untuk mempertahankan hidup. Kadang pula tak makan karena tak punya uang. Menahan perut yang keroncongan dan merintih di tengah malam.
Senang maupun susah sudah biasa mereka lalui. Apalagi hidup di ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Panas terik, hujan, sampai preman yang senantiasa mengganggu sudah mereka rasakan.
***
Setiap pagi mereka berkeliling kota untuk kembali mencari pekerjaan. Namun setiap hari pula mereka mendapatkan penolakan–penolakan. Bahkan kadang mereka mendapat cacian dan makian. Tak ada perusahaan yang mau menerima mereka bekerja mengingat mereka tak membawa satu ijazah pun. Apalagi saat ini mereka tinggal di jalanan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari–hari, mereka harus mengamen seperti yang dulu pernah mereka lakukan sebelum jadi pegawai gudang.
Begitulah selalu setiap hari yang mereka lalui. Untuk mempertahankan hidup, mereka pun harus menjual barang-barang yang mereka miliki mulai dari radio sampai pakaian mereka.
"Guh, uang kita sudah habis, apa perlu kita menjual baju-baju ini?" tanya Cahyo menunjukkan baju kemeja kantoran beserta jas dan dasi.
Baju itu adalah kenang-kenangan yang sampai detik ini mereka pertahankan. Baju itu mereka beli sebelum mulai bekerja di hari pertama. Dengan susah payah mengumpulkan uang sampai harus mengamen semalaman. Dan untuk mencari toko yang masih buka pun sulit di malam yang telah begitu larut. Sampai akhirnya mereka membuka paksa toko yang telah tutup. Namun apa yang terjadi, mereka harus malu karena memakai pakaian yang terlalu rapi saat di hari pertama bekerja. Tapi walaupun begitu, pakaian itu adalah kenangan berharga bagi mereka.
"Aku nggak tau, Yo, pakaian ini terlalu berharga buat kita," jawab Tangguh setelah berpikir panjang.
Hari itu, mereka menahan lapar karena tidak punya uang. Untuk sekedar membeli makanan dengan cara mengamen saja pun tak cukup. Suara mereka yang kurang bagus rupanya membuat orang-orang tidak tergugah untuk memberikan kepingan demi kepingan receh. Setelah seharian mengamen hanya terkumpul sedikit uang. Entah mengapa, ini berbeda saat mereka mengamen dahulu. Mengapa uang begitu sulit untuk datang pada mereka. Setidaknya pertanyaan itulah yang muncul di dalam pikiran mereka hari itu.
Di malam yang dingin disertai angin berdesir dan suara gemuruh petir yang menyambar. Mereka belum bisa tidur karena menahan lapar yang luar biasa. Apalagi rintik-rintik hujan mulai turun dan semakin lama semakin membesar. Rasanya suasana malam itu berkolaborasi untuk membuat mereka semakin menderita dengan rasa lapar dan dingin. Sempat terbesit dari pikiran mereka tuk mengambil secuil makanan dari warung, namun pikiran itu segera disingkirkan dari benak mereka jauh-jauh. Buat mereka, lebih baik menahan lapar walaupun harus menderita daripada harus makan dari hasil yang tidak halal.
***
Di saat hujan telah berhenti dan malam bertaburan bintang, tepatnya jam 2 malam, Cahyo masih belum bisa tidur. Ia tak kuasa menahan lapar karena telah dua hari ini tidak makan. Ruang kosong di perutnya menimbulkan suara keroncongan. Ia duduk sejenak bersandar di pilar fly over sambil memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan makanan. Tak lama kemudian, Solihin pun bangun dari tidurnya yang juga tidak nyenyak. Ia melihat Cahyo sedang duduk termenung.
"Yo, kamu lagi ngapain? Kamu nggak tidur?"
"Aku nggak bisa tidur, Hin. Perutku rasanya kosooong banget. Aku nggak tau sampai kapan kita bisa bertahan kayak gini."
"Sama, aku juga nggak nyenyak tidur kalo lapar begini," kata Solihin memegangi perutnya.
"Ya udah, Hin, kita cari makan aja!" ajak Cahyo.
"Tapi kita cari makan gimana, uang aja kita gak punya?" tanya Solihin bingung.
"Udah, kamu ikut aja, kita pasti dapet makanan!"
Mereka berjalan menelusuri gelapnya malam dan diembus dinginnya angin malam. Solihin yang dibuat kebingungan karena tidak tahu bagaimana rencana Cahyo untuk mendapatkan makanan hanya ikut saja karena desakan rasa lapar yang terus menusuk perutnya.
Tak ada suara tentengan pedagang makanan, tak ada toko yang buka. Bahkan seandainya mereka punya uang pun sebenarnya mereka nggak begitu yakin akan mendapatkan makanan di malam yang sesunyi itu. Terbayang di benak Solihin, sepertinya Cahyo akan mengajaknya menggedor restoran seperti saat membeli baju. Namun tak lama kemudian muncul perlahan dari kejauhan dengan suara penggorengan yang dipukul-pukul. Mereka langsung menangkap kode sinyal itu. Ya, kadang ketika lapar, sinyal terhadap makanan begitu kuat.
"Nasi goreeeeeeeeeeng!!!!" teriak Cahyo girang.
"Ya, itu tukang nasi goreng!!!!" Solihin ikut girang.
Keceriaan mereka menemukan tukang nasi goreng seolah hampir sama ketika Colombus menemukan benua Amerika, atau ketika Archimedes menemukan hukum Archimedes. Mereka bernafsu sekali untuk makan di malam itu karena telah dua hari mereka menahan lapar. Rasa lapar ditambah kegirangan menemukan tukang nasi goreng di malam yang sepi membuat mereka lupa segalanya. Termasuk soal uang. Mereka segera menghampiri tukang nasi goreng bak penjaga pantai yang berlari menyelamatkan pengunjung yang tenggelam.
"Dua porsi, Bang, yang aku pedesnya sedikit aja, kalo yang kamu, Hin?"
"Hmmm..... yang aku pedesnya banyakin aja deh, Bang. Aku kan suka pedes," ujar Solihin yang tak sabar menyantap nasi goreng.
Seng.... seng.... seng, tukang nasi goreng mulai beraksi mempersiapkan pesanan mereka berdua. Menggoreng nasi, memberi bumbu, kecap, dan sambal, dengan gayanya melempar-lempar botol kecap, sendok, tomat, seperti gaya chief yang hebat. Cahyo dan Solihin melongo memperhatikannya, hingga akhirnya nasi goreng siap dihidangkan.
"Ini pesanannya, sudah siap," kata tukang nasgor itu seraya menyodorkan dua porsi nasi goreng.
Mereka makan nasi goreng begitu lahapnya seperti ular sanca yang makan beberapa bulan sekali, duduk di kursi plastik yang telah disediakan si tukang nasi goreng.
"Hmm... enak," ucap Cahyo menggerakkan lidah.
"Hahhhhh.... pedesshhhhh, Yo," ucap Solihin bercucuran berkeringat.
Tak lama kemudian,
"Akhirnya habis juga," ucap Cahyo menaruh piringnya di gerobak.
"Iya... huhah..... huhahh..... lumayan pedes juga," ujar Solihin yang kepedesan. Wajahnya memerah dan kepalanya bercucuran keringat.
"Jadi berapa, Bang?" tanya Cahyo.
"Semuanya jadi 15 ribu," jawab si tukang nasi goreng.
Mereka merogoh saku masing-masing. Namun tak menemukan apa pun di sana, mereka baru sadar kalau tak punya uang setelah selesai menghabiskan nasi goreng yang mereka pesan.
Mereka pun mendadak kebingungan. Wajah mereka pucat pasi diiringi keringat yang mengucur cukup deras. Apalagi Solihin yang begitu kepedesan.
Tukang nasi goreng itu pun kembali bertanya pada mereka," Jadi 15 ribu mas, mana uangnya?"
Mereka hanya terdiam saling bertatapan menyikapi pertanyaan itu. Keringat semakin deras bercucuran dari kening, tapi mereka masih bisa mencari-cari ide untuk mengatasi masalah itu. Mereka terdiam sejenak dan tangan Cahyo langsung menarik tangan Solihin, lalu berlari sekencang mungkin laksana peluru yang ditembakkan.
"Lariiiii.....!!!!"
"Kita mau lari ke mana, Yo?"
"Pokoknya lari.....!"
"Haiii.... tunggu, jangan lariiiii, bayaaaaaar...!!" teriak si tukang nasi goreng sambil mengejar mereka dan membawa osengan wajan.
Mereka berdua terus dikejar tukang nasi goreng tanpa henti. Mereka tak tau harus lari ke mana, yang penting adalah menghidari kejaran tukang nasi goreng. "Yo, kita ini mau lari ke mana lagi?" tanya Solihin sambil berlari.
"Aku juga nggak tau, yang penting kita harus lari secepat mungkin dan jangan sampai ketangkep."
Mereka melihat di depan ada sebuah bangunan yang terlihat masih ramai di tengah malam ini.
"Hin, kita lari ke sana aja!" ajak Cahyo menunjuk ke tempat itu.
Mereka tak tahu tempat apa itu. Tapi mungkin di sana si tukang nasi goreng tak bisa menemukan mereka. Ya, setidaknya itulah yang mereka pikirkan.
Mereka pun masuk ke ruangan itu, menyelinap di antara kerumunan orang yang juga hendak masuk. Tempat itu begitu asing bagi mereka. Di dalam ruangan lampunya berkelap-kelip membuat mereka pusing. Orang-orang ada yang duduk, ada yang sedang berjoget menikmati musik yang menusuk telinga dan ada pula orang-orang yang berjalan sempoyongan.
"Yo, tempat apa ini?"
"Aku juga nggak tau, Hin. Mereka semua nampak aneh."
"Aku makin pusing, Yo, kayanya semua orang di sini nampak aneh."
Mereka yang masih kebingungan dengan suasana dan orang-orang di ruangan itu kemudian didatangi oleh sesosok wanita yang membawa tas.
"Hai, ganteng. Mau bergabung dengan kita?" tanya perempuan itu menggoda.
Mereka hanya terdiam menyikapi pertanyaan itu. Bibir mereka tak mampu bergerak dan hanya bisa menjawab terbata-bata.
"Si.. si...siapa ka..kamu?" tanya Cahyo.
"Aku Sarah, kalian siapa?"
"A..a...aku Cahyo."
"A...a...aku Solihin."
"Hmm... nama yang bagus. Kalian kerja, atau kuliah, atau masih sekolah?"
Menghadapi pertanyaan itu mereka tak berkutik.
"Ya sudah, kalau kalian tidak menjawab sih nggak apa-apa," kata wanita itu. "Oh iya, aku harus ke toilet dulu. Apa aku bisa menitip tasku pada kalian?" tanya perempuan itu sambil menyodorkan tasnya.
"Bi..bi... bisa. Tentu saja bisa," jawab Cahyo.
Tak lama kemudian, terdengar suara sirine yang pelan namun semakin lama semakin terdengar mendekat. Suara sirine itu menuju ke tempat itu. Orang-orang di tempat itu mulai panik. Ada yang berlarian ke sana kemari. Namun Cahyo dan Solihin tak mengerti apa yang sedang terjadi. Mereka tak mengerti tempat apa itu, ada apa dengan orang-orang di sana, dan suara sirine apa itu, serta mengapa orang-orang banyak yang berlarian.
Tak lama kemudian para petugas yang berseragam polisi masuk dan menyerbu tempat itu. Mereka datang begitu sporadis kemudian langsung menyebar ke berbagai penjuru ruangan. Mereka menyergap siapa saja yang mereka curigai dan memeriksanya, menggeledah di saku, dan di tas yang dibawa oleh masing-masing orang.
Tiba-tiba datang salah satu petugas kepolisian pada Cahyo dan Solihin. Mereka berdua pun spontan menjadi pucat pasi walaupun mereka merasa tak punya salah apa-apa. Kecuali makan nasi goreng nggak bayar.
"Hei kalian, biar saya periksa saku baju kalian!!" teriak petugas.
Polisi itu menggeledah saku pakaian mereka, juga saku celana mereka. Namun tak menemukan barang yang mencurigakan.
"Coba, saya periksa tas itu," ujar polisi itu sambil menarik tas yang dipegang Cahyo.
"I...i....ini....," ucap Cahyo terbata–bata.
"Apa ini?!!" tanya polisi itu dengan suara keras sambil menunjukkan barang berupa obat terlarang yang ditemukan di dalam tas itu.
"I...i...itu...."
"Ah... sudah, pokoknya kalian ikut kami ke kantor polisi!!" ucap Polisi yang langsung menarik mereka berdua.
"Ta....ta..tapi, Pak."
"Ayo, cepat ikut!" polisi itu menarik Cahyo dan Solihin ke mobil patrolinya.
Dengan diiringi suara sirine, mereka digelandang ke kantor polisi karena dicurigai membawa pil ekstasi yang ditemukan di dalam tas yang dipegang Cahyo. Mereka duduk menyamping di mobil polisi yang terbuka, tangannya dicengkram kuat-kuat oleh para petugas.
Malang benar nasib mereka, mereka harus digelandang ke kantor polisi karena barang yang sama sekali tak mereka tahu. Entah apa yang terjadi pada mereka selanjutnya.
***