Chereads / TANGGUH PERKASA / Chapter 33 - Untaian 33: Peperangan pun Dimulai

Chapter 33 - Untaian 33: Peperangan pun Dimulai

Sudah hampir seminggu Cahyo dan Solihin mendekam di dalam bui. Sepi yang tiada bertepi mereka rasakan. Hanya dinding penjara dan jeruji besi tempat mereka bersandar meratapi nasib. Tapi buat mereka, penderitaan yang lebih berat bukanlah karena mereka dipenjara, tapi dibenci oleh sahabat mereka. Tangguh, sahabat mereka yang selama ini selalu bersama baik suka maupun duka.

Kini mereka harus melupakan sejenak misi untuk membawa ketiga penjahat yang menghancurkan desa mereka. Yang mereka cemaskan adalah nasib Tangguh. Mungkin Tangguh tak tahu kalau ketiga penjahat itu telah mengetahui misi mereka datang ke Jakarta. Dan Badrun juga telah mengancam akan menghancurkan Tangguh. Mereka tak tahu bagaimana caranya memberitahukan Tangguh akan hal ini jika Tangguh sendiri tak juga berkunjung ke penjara, jika Tangguh sendiri masih membenci mereka.

Tapi apakah Tangguh benar–benar membenci kedua sahabatnya itu?

Ternyata tidak, Tangguh masih percaya kalau Cahyo dan Solihin adalah sahabat yang baik. Mereka tak mungkin sampai terlibat dalam kasus narkoba.

Tiap hari Tangguh berjalan untuk mencari pengacara yang ikhlas tanpa dibayar demi sebuah keadilan. Karena Tangguh percaya kalau kedua sahabatnya hanya terjebak dalam suatu kondisi dan tidak bersalah. Namun semakin letih ia berjalan tak mudah menemukan pengacara yang seperti itu. Berkali-kali ia mengetuk pintu kantor pengacara, berkali-kali ia memohon pada setiap pengacara, namun selalu ditolak.

***

Di pagi yang cerah, Tangguh dan dukun Parti berbagi tempat bersama anak-anak jalanan itu. Terlihat dari raut wajah anak-anak jalanan itu kesulitan hidupnya. Tapi walaupun begitu, Tangguh terkesima karena anak–anak jalanan itu begitu respect terhadap dirinya.

"Kakak, Kakak kenapa kok cembelut aja. Kaka lagi ada masalah, yah?" tanya salah seorang anak jalanan dengan polosnya melihat Tangguh termenung menyandar di pilar jalan layang.

"Oh, iya, Dek. Kakak lagi ada masalah. Temen kakak lagi dipenjara, padahal kaka yakin mereka nggak bersalah," jawab Tangguh.

"Oh, kakak jangan sedih, kalo temen kakak nggak salah pasti dibebasin kok," kata anak lugu itu.

"Oh iya Dek, makasih, ya," ucap Tangguh mengusap kepala anak itu.

"Ama-ama, Kak."

Setelah melihat respect dari anak kecil, anak jalanan yang nggak tau di mana orang tuanya dan nggak tau gimana masa depannya, semangat Tangguh semakin menyala, seterang matahari yang bersinar kala itu. Ia semangat untuk memperjuangkan kedua sahabatnya dan memperjuangkan desanya. Ia menyadari kalau sikapnya tempo hari kepada Cahyo dan Solihin adalah salah. Yang dibutuhkan oleh mereka adalah dukungan dan motivasi.

***

Siang itu, Tangguh berencana ke rumah tahanan untuk menemui kedua sahabatnya yang mendekam di sana. Kali ini ia pergi bersama dukun Parti. Ia ingin minta maaf atas sikapnya tempo hari sekaligus memberikan dukungan pada Cahyo dan Solihin.

"Guru, ayo cepat kita berangkat mengunjungi Cahyo dan Solihin!!" ajak Tangguh pada gurunya.

"Oh iya, tunggu sebentar, Guh. Guru lagi ngerapiin rambut dulu."

"Haduh, buat apa lagi, sampe kapan pun tuh rambut nggak akan rapi-rapi," kata Tangguh dengan suara pelan.

"Apa kamu bilang, Guh?!"

"Hmm, enggak guru. Ayo cepat kita berangkat!"

Mereka mulai berangkat menuju rumah tahanan di mana Cahyo dan Solihin di tahan. Terpaksa mereka harus berjalan kaki sambil sesekali menjulurkan telunjuk pada pengendara yang melintas, berharap ada pengendara yang mau memberikan tumpangan karena mereka tak memiliki uang untuk ongkos. Tetapi entah telah berapa ribu langkah, belum ada juga pengendara yang bersedia memberikan tumpangan. Mungkin para pengendara itu melihat mereka yang pakaiannya agak lusuh seperti gembel. Bahkan di area 3 ini 1 pun tak ada mobil yang mau memberikan tumpangan pada mereka.

Di perjalanan, tiba-tiba saja ada mobil sedan mewah berwarna hitam yang melaju dengan begitu kencang. Tangguh dan dukun Parti sebenarnya sudah berjalan di pinggir jalan, namun tetap saja, mobil itu menyerempet Tangguh. Tangguh pun tersungkur berguling-guling di pinggir jalan dan mengalami luka. Warga sekitar segera menghampiri, namun tak sempat tuk mengejar mobil yang melaju kencang itu.

"Guh.. Guh.... kamu nggak apa–apa, kan? Kayanya kita harus ke rumah sakit."

"Tak apa-apa guru, a..aku hanya luka kecil," lirih Tangguh terbaring di pinggir jalan dan pelipisnya mengeluarkan darah.

"Tak apa-apa bagaimana, kondisi kamu parah begini," ucap gurunya khawatir.

"Guru, kalo kita ke rumah sakit kita kan nggak punya uang. Lebih baik Guru teruskan saja ke penjara, sampaikan pada mereka aku minta maaf. Ayo Guru tinggalkan saja aku!" ujar Tangguh yang terkulai lemah di pinggir jalan.

"Ta...tapi."

"Sudahlah Guru, tak apa-apa. Pasti ada orang lain yang menolongku nantinya."

"Biar saya yang membawanya ke rumah sakit," kata seorang pria yang ada di lokasi kecelakaan itu.

"Ya sudah, Guru pergi dulu, Guh, jaga dirimu baik-baik."

Gurunya pun pergi meneruskan perjalanannya menuju penjara tempat Cahyo dan Solihin dikurung.

***

"Hei kalian berdua, ada yang mengunjungi kalian lagi, tuh," kata petugas penjara.

"Siapa? apa yang memakai jas kemarin?" tanya Cahyo yang tak mau lagi dikunjungi oleh Badrun.

"Bukan, tapi sepertinya nenek-nenek gembel," jawab petugas penjara.

"Nenek-nenek gembel?" tanya Cahyo pada dirinya sendiri lalu menoleh pada Solihin.

***

"Cahyo, Solihin," nenek gembel itu menyapa mereka.

"Guru dukun.... "

"Guru dukun.....," sahut mereka berdua.

Mereka begitu senang yang mengunjungi mereka ternyata bukan salah satu dari ketiga penjahat itu.

Saat mereka bertemu dengan guru dukun. Mata mereka berkelana ke sekitar ruangan, berharap Tangguh juga ikut.

"Tangguh di mana guru dukun?"

"Ia, Tangguh di mana?" tanya mereka berdua.

"Ehhmm....," Guru dukun hanya terdiam seraya menundukkan wajahnya.

"Apa mungkin Tangguh memang membenci kita sampai-sampai dia nggak mau ke sini lagi?" tanya Cahyo.

"Iya Guru, jawab, apa memang begitu?" tanya Solihin.

"Itu nggak bener, Tangguh percaya kalo kalian nggak bersalah. Bahkan kemaren-kemaren dia keliling ke sana kemari cari pengacara yang rela nggak dibayar buat ngebebasin kalian. Tapi Tangguh nggak nemu pengacara itu. Sekarang pun sebenarnya Tangguh yang ngajak ke sini dan kita pun pergi sama-sama ke sini. Tapi....."

"Tapi Tangguhnya mana, Guru?" tanya Cahyo bingung.

"Iya, apa terjadi sesuatu?" Solihin mulai cemas.

"Hmm..... Tangguh ditabrak mobil."

"Ditabrak mobil, gimana ceritanya, Guru?!!" tanya Cahyo yang begitu terkejut.

"Ya, waktu kita lagi jalan tiba-tiba saja ada mobil sedan mewah warna hitam menyerempet Tangguh yang berjalan di pinggir jalan. Nggak tau sengaja atau nggak tapi mobil itu langsung kabur."

"Apaaaaa....., jadi sekarang Tangguh di mana, Guru dukun??!!" tanya Cahyo yang begitu khawatir.

"Ia dibawa ke rumah sakit. Ia luka di kepalanya."

"Jangan-jangan......…."

"Jangan-jangan apa, Hin?"

"Jangan-jangan ini ada kaitannya dengan ancaman Badrun tempo hari."

"Hmm, mungkin aja, Hin. Tapi kalo benar ketiga penjahat itu adalah pelakunya, kita nggak bisa diem aja, Hin. Kita harus melakukan perlawanan."

"Iya, tapi gimana mau ngelawan mereka, kalo kita aja dikurung di sini," ucap Solihin.

Nampaknya perang sudah dimulai dan posisi mereka yang sulit saat ini. Niat mereka membawa ketiga penjahat itu kembali ke desa dan menagih tanggung jawab atas apa yang mereka lakukan ternyata tidaklah mudah. Mereka harus berhadapan dengan penjahat kelas kakap, apalagi penjahat itu punya uang yang melimpah, tentu itu yang membuat para mereka semakin kuat. Tapi setidaknya, kini Cahyo dan Solihin bisa sedikit bernapas lega, karena Tangguh tidaklah membenci mereka. Dan ia rela berbuat apa pun untuk menolong mereka. Walaupun saat ini ia sedang terluka. Hanya doa dari balik jeruji besi yang mampu mereka lakukan untuk kesembuhan Tangguh.

***