Ketika sang fajar mulai tiba, Tangguh terbangun dari tidurnya. Ia baru menyadari tak ada Cahyo dan Solihin di sana. Sejumlah kata tanya muncul beriringan dalam benaknya.
"Guru… Guru... bangun, Guru....!!!"
"Heaaay, ada apa sih kamu ngebangunin guru," ucap gurunya menguap.
"Guru, Cahyo sama Solihin ke mana??" tanya Tangguh bingung.
"Ya.... mereka kan udah gede, kok kamu khawatir sekali sama mereka," ucap gurunya yang masih terbaring.
"Perasaanku nggak enak, Guru."
"Tenang aja paling mereka cuma jalan–jalan."
***
Usai sholat subuh, Tangguh dan gurunya masih menunggu Cahyo dan Solihin datang. Namun hingga matahari semakin naik, mereka belum datang juga.
"Guru, kita cari aja mereka, yuk!" ajak Tangguh.
"Ya udah, ayo. Tapi kita mau cari ke mana. Jakarta kan luas?"
"Aduuuh, guru kan dukun. Guru harusnya lebih tau dong," sahut Tangguh.
"Gimana kalo kita tanya lagi sama mbah google?" usul sang guru.
"-_-, haduh udah deh guru gak usah aneh lagi. Paling guru mau nyari video klip Afgan kan. Lebih baik kita cari sekarang ke sekeliling kota!
***
Berjalan menelusuri kota Jakarta di teriknya matahari ditemani bisingnya suara kendaraan tak menyurutkan langkah mereka untuk berupaya sekuat tenaga menemukan Cahyo dan Solihin. Walau entah ke mana mereka harus mencari, namun jalanan tetap ditelusuri dan pandangan tetap berkelana.
Apa daya hingga mentari tergelincir dan petang menjelang, Tangguh belum menemukan dua sahabat seperjuangannya. Tangguh dan gurunya pun kembali ke tempat semula, berharap Cahyo dan Solihin telah kembali ke tempat persinggahan mereka, tapi di sana pun ternyata Cahyo dan Solihin belum kembali. Mereka seolah lenyap ditelan bumi.
"Guru, apa kita harus lapor polisi?"
"Guh, kita ini kan gembel. Mana mungkin polisi mau proses laporan kita. Mana mungkin polisi percaya sama kita."
"Terus kita harus gimana dong?"
"...…?????????"
Malam itu Tangguh tak bisa tidur. Ditemani Suara mesin mobil yang sesekali melintas menyelingi keheningan malam. Ia merasa gelisah tak tahu di mana dua sahabatnya berada. Perasaannya betul-betul berkecamuk. Hingga malam telah larut, ia tetap tak bisa tidur. Bahkan hingga subuh menjelang, ia masih terjaga dalam alam sadarnya. Ia tak tidur sama sekali di malam itu. Ada kecemasan yang bertengger dalam batinnya akan kedua sahabatnya.
***
Pagi yang cerah, matahari yang hangat, dan langit yang biru. Namun pikiran Tangguh sedang kelabu. Ia masih tak henti–hentinya memikirkan dua sahabat yang entah ke mana. Apalagi ini Jakarta, kota yang tingkat kejahatannya cukup tinggi.
"Koran koran.... koran koran!!"
Yang terdengar adalah suara tukang koran menawarkan dagangannya diiringi suara kendaraan bermotor dan sesekali bunyi klakson mobil. Hari itu tentu tak terdengar suara tawa Cahyo dan Solihin yang biasanya akrab terdengar di telinga Tangguh.
"Korannya koran, korannya koran."
Suara tukang koran makin terdengar di minggu pagi yang tidak begitu padat. Tapi Tangguh tak menggubris si tukang koran itu karena buat apa, toh kalaupun ia ingin beli koran ia tak punya uang.
"Korannya koran. Dua orang pemuda ditangkap polisi." Tukang koran itu masih menawarkan dagangannya kepada orang–orang yang berada di dalam kendaraan saat lampu merah menyala.
"Korannya koran, korannya koran. Dua orang pemuda gembel ketangkep polisi gara-gara kasus narkoba, korannya koran"
Mendengar hal itu, telinga Tangguh baru bereaksi. Ia memasang telinganya lebar-lebar dan matanya tajam menyoroti si tukang koran. Ia penasaran dengan berita yang ada di koran itu. Rasa penasaran itu menuntun langkah kakinya untuk mendekati si tukang koran.
"Mau beli Koran, Bang, cuma 2000 saja bang?"
"Oh, e..enggak, enggak. Saya... saya cuma. Eee... boleh liat berita dikoran itu. Katanya ada pemuda yang ditangkep polisi gara-gara narkoba?"
"Oh ini, Bang. Tapi bentar yah minjemnya, soalnya mau dijual. Kalo bisa beli sih bang."
"Oh bentar, cuma baca sebentar doang."
Pelan-pelan ia baca berita itu dengan serius mulai dari awal hingga di tengah-tengah paragraf ke lima, matanya lebih tajam. Dahinya mengerut ketika ia melihat tulisan di berita itu ada nama Cahyo dan Solihin. Ternyata dua sahabat Tangguh yang tertangkap polisi karena kasus narkoba. Tangguh nyaris tak percaya. Ia begitu kaget sekali dengan berita itu. Lantas ia pun bergegas menuju tempat Cahyo dan Solihin ditahan.
Ia tak tahu di mana lokasi penjara tempat Cahyo dan Solihin dikurung. Ia pun berjalan dan bertanya pada setiap orang di jalan.
"Bang, Kalo lembaga pemasyarakatan di daerah sini di mana ya bang?" tanya Tangguh.
"Ehmm, di daerah sana. Tapi ada apa ya, kok nanya soal penjara?"
"Ehmmm, apa abang tau kasus razia di diskotik semalam. Katanya ada dua pemuda yang ditangkap gara-gara bawa narkoba?"
"Oh itu, ia kemaren malem dua pemuda itu beli nasi goreng saya tapi kabur nggak bayar. Ehhh... terus dia malemnya ketangkep polisi. Yah, syukurin lah. Kalo gak salah tadi pagi juga saya baca di koran namanya Cahyo sama So..Solihin gitu. Emang mas kenal sama mereka?"
"Eh... eh... enggak cuma pingin tau aja," ujar Tangguh yang langsung meneruskan perjalanannya.
***
Sesampainya di sana, ia hendak langsung bertemu dengan dua sahabatnya.
"Tunggu sebentar. Biar saya panggilkan mereka berdua." kata penjaga LAPAS itu.
...…
"Ta..Tanggguh sahabatku."
"Tangguh, kau datang untuk menemui kami."
Kata mereka berdua yang sudah menunggu Tangguh. Mereka pun langsung menyambut Tangguh. Tapi ternyata Tangguh tak bereaksi apa-apa. Ia hanya terdiam dengan wajah masam laksana patung yang tak hidup. Sikapnya begitu dingin pada mereka.
"Guh... Guh, kamu kenapa?" tanya Solihin.
"Ia guh, kamu nggak seneng yah ketemu kita?" ucap Cahyo yang heran dengan sikap Tangguh.
"Aku kecewa sama kalian. Kenapa kalian bisa jadi seperti ini?" ujar Tangguh yang merasa kecewa.
"I..ini cuma salah paham, Guh. Kita nggak mungkin bawa barang haram itu."
"Iya, Guh, kita difitnah."
"Aku sudah baca berita di koran dan aku sudah dengar kesaksian tukang nasi goreng," ucap Tangguh.
"Kalo kita emang kabur gara-gara nggak bayar nasi goreng itu emang bener, Guh. Itu juga karena kita gak tahan dengan rasa lapar, kita nggak mau mati kelaparan. Tapi kita sama sekali nggak pernah sekalipun menyentuh narkoba, Guh. Asal kamu tau itu," Cahyo membela diri.
Tangguh kembali terdiam seribu bahasa. Tak lama kemudian datanglah petugas penjara.
"Maaf, waktu kunjungan telah habis. Silakan Anda meninggalkan tempat ini."
Tangguh pergi secara perlahan-lahan tanpa berucap lagi.
"Guh... Guh, oke kamu boleh nggak percaya sama kita. Tapi jangan anggap kita sebagai sahabatmu lagi Guh, ingat itu!!!" teriak Cahyo yang juga kecewa karena Tangguh tak percaya pada mereka.
Tangguh terdiam seraya berjalan meninggalkan tempat itu. Cahyo dan Solihin pun kembali ke ruang tahanan dengan perasaan ibarat bongkahan es di kutub utara yang runtuh dan melebur ke lautan.
...…
Sebenarnya apa yang ada di pikiran Tangguh? Apakah ia sudah membenci kedua sahabatnya? Apakah ia marah besar pada dua sahabatnya?
Ternyata tidak, di sepanjang jalan, Tangguh terus memikirkan nasib kedua sahabatnya yang ada di penjara. Ia memikirkan kondisi mereka yang harus hidup di tempat orang-orang jahat. Ia memang merasa kecewa dengan Cahyo dan Solihin yang harus kabur gara-gara nggak bayar nasi goreng, apalagi mereka harus masuk ke dalam diskotik. Tapi dalam lubuk hatinya, ia masih meyakini kalau kedua sahabatnya itu adalah orang baik-baik. Tapi apa daya, ia tak tau bagaimana caranya membebaskan kedua sahabatnya. Jangankan untuk bayar pengacara, untuk makan sehari-hari saja sulit.
***
Hari itu, di pagi hari tanpa sinar matahari yang menyapa mereka, Cahyo dan Solihin mendapat kunjungan lagi dari seseorang.
"Hai, kalian berdua, ada yang mau bertemu kalian," ujar petugas LAPAS.
"Apa, jadi Tangguh kembali lagi ke sini," kata Cahyo berharap itu Tangguh.
"Aku bilang juga apa, Yo, Tangguh itu pasti balik lagi. Dia kan emang sahabat kita," ujar Solihin.
Cahyo dan Solihin merasa senang karena Tangguh mengunjungi mereka lagi hari ini. Mereka langsung bergegas ke ruang kunjungan.
"Tangguh, sudah kuduga, kamu pasti...." ucapan Solihin terhenti setelah melihat ternyata yang datang bukan Tangguh. Seorang yang mengenakan jas hitam sedang duduk sambil menikmati cerutunya. Orang itu menatap mereka dan tersenyum sinis. Mereka begitu kaget setelah melihat siapa yang datang hari itu.
"Hahaha.... hahaha, gimana rasanya dipenjara?!!"
"Kau, Badrun... kurang ajar kau. Mau apa kau ke sini?!!" tanya Cahyo dengan nada emosi.
"Mau apa kau ke sini? Dari mana kau tau kita ada di sini?!!" Solihin pun ikut tersulut emosinya.
"Hahaha.... hahaha, kalian datang ke kota ini sama saja seperti kancil yang datang ke sarang singa. Dasar bodoh," Badrun menertawakan kondisi mereka di dalam bui sambil sesekali mengisap cerutunya.
"Kurang ajar, pergi kau dari sini. Sebelum kesabaranku habis!!" Cahyo makin naik pitam dan berdiri dari duduknya.
"Owwww... oke, oke. Tapi ingat, kalau kalian bebas dari penjara ini. Kalian harus kembali ke kampung kalian. Dan tak usah lagi mencampuri urusan kami. Mengerti kau... bodoh. Hahahahaha," bisik Badrun yang kemudian tertawa.
"Brengsseeeeeeeeek..."
"Oh iya, teman kalian Tangguh pun nasibnya harus lebih menderita daripada kalian," ucap Badrun sembari berjalan keluar dari ruangan kunjungan.
***
Cahyo dan Solihin hampir tak habis pikir bagaimana caranya Badrun bisa tau kalau mereka ada di Jakarta. Bahkan ia tau kalau mereka sedang di penjara saat ini. Atau jangan-jangan Badrun ada di balik semua ini, itulah yang dipikirkan mereka berdua. Tapi yang pasti, nampaknya perang sudah dimulai. Namun bagaimana cara mereka memberitahukan Tangguh? itu yang mereka masih belum tahu. Karena saat ini, nampaknya Tangguh sedang berselisih paham dengan mereka.
***