Chereads / TANGGUH PERKASA / Chapter 26 - Untaian 26: Fatamorgana

Chapter 26 - Untaian 26: Fatamorgana

Gurun pasir yang tandus membiaskan cahaya langit yang seolah terlihat seperti air, ditambah dengan imajinasi akan adanya air di teriknya matahari yang begitu menyengat, saat tenggorokan begitu terasa kering. Namun mungkin semua itu hanyalah bayangan, sebuah bayangan yang takkan bisa digapai. Sebuah bayangan yang seolah-olah ada namun tak ada. Itulah fatamorgana. Sebuah nama yang diambil dari saudari Raja Arthur, Faye le Morgana, yang dianggap sebagai seorang peri yang bisa berubah-rubah rupa.

***

Pertandingan sepak bola sedang membahana dan malam yang biasanya sunyi berubah menjadi gaduh. Teriakan-teriakan dari setiap rumah dan kios–kios di jalan sampai di pangkalan ojek menghiasi malam saat piala dunia berlangsung. Tak terkecuali di kosan Tangguh, Cahyo, dan Solihin.

...….goooooooooooaaaaaaaaaaaaaaal...…..

"Haduuuuuuuuuuuh.... brisik banget sih, jadi nggak bisa sleeping, nih," Cahyo mengeluh dan menutup kupingnya dengan bantal.

Cahyo keluar dari kamarnya, menuruni tangga tuk melihat ada apakah gerangan di bawah ribut–ribut.

Ternyata Tangguh, Solihin, dan beberapa penghuni kosan di lantai bawah sedang menyaksikan pertandingan sepak bola piala dunia.

"Oh, pertandingan bola. Mana lawan mana?" tanya Cahyo.

"Tim favoritmu tuh Inggris lagi lawan Jerman," jawab Solihin.

"Hah, kok nggak bilang kalo Inggris mau maen?!" ucap Cahyo mengucek matanya yang masih ngantuk.

"Ah kamunya aja kebluk tidurnya, pules banget."

"Eh, ngomong–ngomong laper juga ya, nggak ada makanan ya? Enaknya sih nonton bola sambil ngemil," ucap Cahyo yang baru bangun kelaparan.

"Ya udah deh, aku cari makanan dulu, biar nonton bolanya lebih rame," ucap Tangguh yang kemudian berjalan keluar kosan.

Tangguh pergi ke luar di sepinya malam untuk mencari makanan ringan. Ia berjalan menuju minimarket terdekat. Hanya beberapa mobil yang melintas di depan minimarket itu. Beruntung minimarket itu buka 24 jam.

***

"Mana nih, kok Tangguh belum datang juga?" tanya Cahyo yang sudah kelaparan.

"Elu nungguin Tangguh atau makanannya, Yo?" tanya Angga yang merupakan anak kosan situ juga.

"Heheehe....," Cahyo cuma ketawa.

Beberapa saat kemudian, Tangguh datang. Pintu dibuka Tangguh yang membawa makanan sekresek besar. Ada yang aneh ketika Tangguh kembali ke kosan. Wajahnya murung, seolah sedang memikirkan sesuatu. Dan yang lebih aneh, nampak ada sedikit luka di bawah bibirnya.

"Asyiiiiiiiiiiik makanan datang...!!!" ujar Cahyo dengan girang, namun kemudian senyap.

"Guh, kamu kenapa?" tanya Solihin yang melihat Tangguh tampak murung.

Tangguh tak menjawab pertanyaan itu, ia bahkan tak mengeluarkan sepatah kata pun, menyimpan makanan itu di meja dan langsung naik ke lantai atas menuju kamarnya, lalu menutup pintu kamarnya. Hal itu membuat Cahyo, Solihin, dan teman–teman sekosannya merasa heran. Tadinya Tangguh yang bersemangat nonton bola, justru malah menjadi murung setelah membeli makanan. Cahyo dan Solihin pun terlihat tak begitu menikmati tontonan piala dunia tersebut. Bahkan saat ada gol, mereka tetap diam tak berekspresi memikirkan sahabatnya yang tiba-tiba murung.

"Kamu sih, Yo, yang pingin makanan," Solihin menyalahkan Cahyo.

"Yee... kan Tangguh yang mau beli sendiri," jawab Cahyo.

***

Keesokan harinya, mereka bertiga bekerja seperti biasa. Namun Tangguh ternyata sudah berangkat duluan, tak seperti biasanya di mana mereka selalu berangkat bersama-sama. Di kantor pun mereka bekerja seperti biasa, mengangkat barang–barang yang keluar masuk. Namun ada yang berbeda pada diri Tangguh. Pria itu terlihat tak menghiraukan rekan kerja yang lainnya.

Di jam istriahat, ia pun terlihat duduk menyandar di dinding dekat pintu gudang, wajahnya murung di saat jam istirahat tiba, saat rekan kerja lainnya makan siang. Cahyo dan Solihin pun menghampiri Tangguh.

"Guh, sebenernya kamu kenapa, sih?" tanya Cahyo.

"Ah, aku nggak apa-apa," jawab Tangguh dengan wajah yang sayu.

"Guh, kamu jangan bohong, kita udah lama kenal kamu, kamu nggak biasanya kayak gini, kalo emang kamu nggak apa-apa, kenapa kamu murung begini, terus di bawah bibir kamu kenapa, Guh?" tanya Solihin agak cemas pada kawannya itu.

"Ah, nggak apa–apa, itu cuma perasaan kalian aja, terus luka kecil di bawah bibir ini cuma kebentur aja, kok," jawab Tangguh beralasan.

"Guh, kamu pasti bohong. Kenapa sih kamu kayak gini. Apa kita punya salah sama kamu?" tanya Cahyo tak percaya.

Tangguh tetap mengaku tak ada apa-apa pada dirinya, namun mereka berdua terus mendesaknya, karena mereka yakin Tangguh yang mereka kenal tak seperti ini. Akhirnya ia pun mengakui kalau ada sesuatu yang ia pikirkan dalam benaknya.

"Jadi sebenernya apa masalah kamu, Guh?" tanya cahyo.

"Iya Guh, kita kan temen kamu, siapa tau kita bisa bantu," sahut Solihin.

"Emmm..., oke, nanti aku ceritain. Tapi sekarang udah waktunya kerja lagi, ntar aku ceritain di kosan."

"Oh iya ya, udah waktunya kerja lagi. Siaaaal... belum sempat makan siang!!" ucap Cahyo memegangi perutnya yang lapar.

"Ah, kamu Yo, dari tadi malem yang dipikirin makan mulu, nggak mikirin temen sendiri apa."

"Hihihi... maaf, habis laper, sih."

***

Setelah pulang kerja, Cahyo dan Solihin melihat Tangguh hanya merenung sendiri di balkon, menatap bintang-bintang yang bertebaran di angkasa dengan tatapan yang kosong. Sepertinya memang ada sesuatu yang dipikirkannya sejak kemarin. Tak nampak seutas senyum, sebongkah canda dan secuil tawa sedikit pun. Perlahan mereka pun mendekatinya.

"Guh, kamu kenapa sih, sepertinya lagi ada yang dipikirin banget, kayanya di setiap sel otak kamu lagi banyak problematika, ya?" tanya Cahyo khawatir.

"Iya Guh, kamu cerita dong sama kita, siapa tau kita bisa bantu," kata Solihin yang juga peduli.

"Emm.... sebetulnya bukan masalah besar, sih. Jadi gini ceritanya, tadi malam saat aku cari makanan ke minimarket buat kita nonton bola, tiba–tiba ada dua orang yang memakai jaket hitam, dan kacamata hitam berpura–pura mau beli sesuatu. Tapi ketika mendekati meja kasir, dua orang itu mengeluarkan pisau dan menodongkannya pada kasir dan seseorang yang berada di depan meja kasir Yo, Hin. Dua penjahat itu maksa kasir ngeluarin semua uang yang ada di lacinya. Seorang pengunjung minimarket itu juga ditodong dan disuruh menyerahkan uang dan perhiasannya. Aku sembunyi sambil mengawasi, mencari kesempatan tuk melumpuhkan aksi penjahat itu. Dan ketika ada kesempatan, aku meraih pisau itu. Aku dan penjahat itu berebutan pisau sekuat tenaga. Aku sempat kena pukul. Tapi akhirnya dua penjahat itu kabur setelah aku pukul."

"Wah Guh, kamu hebat dong, trus apa yang kamu pikirin, kalo gitu kan kamu udah bisa ngebuktiin kalo kamu emang Tangguh Perkasa?"

"Bukan itu masalahnya, Yo. Kamu tau, wanita yang aku tolongin itu. Dia cuma menengok dan langsung pergi," ucap Tangguh.

"Aduh Guh, jadi kamu tuh mengharapkan ucapan terima kasih dari wanita yang kamu tolong itu?"

"Bukan begitu, Hin. Kamu tau siapa dia, dia itu adalah temen sekolah kita dulu. Temen yang selalu ngebelain aku waktu aku sering dijahili sama si Badrun, Jamal, dan Tohir. Lica, aku yakin dia mengenaliku, tapi nggak tau kenapa dia pura–pura nggak kenal. Penampilannya udah beda, sekarang dia kaya orang kaya. Dia juga pulang naik mobil mewah. Dan aku nggak tau kenapa dia bisa kayak gitu sikapnya."

"Ah... Tangguh, kok masalah gitu aja sampe kamu pikirin seharian. Udahlah, laen kali kamu mungkin bisa ketemu sama dia lagi," sahut Cahyo.

"Kamu bener Yo, atau mungkin emang bukan dia, kali. Mungkin semua itu cuma fatamorgana kali, ya," ucap Tangguh yang kemudian menghela nafas.

"Atau mungkin ada getaran resonansi di hati kamu yang membuat jantungmu berdebar ketika bertemu dia, sehingga menimbulkan problematika yang kamu pikirin dalam setiap sel otak kamu ya, Guh?" tanya Cahyo yang omongannya sok tinggi.

"Ahhh... kamu itu ngomong apa sih, Yooo...??" ucap Tangguh tersenyum malu menundukkan muka diiringi gelak tawa dari Cahyo dan Solihin.

***