Hari itu, Tangguh, Cahyo, dan Solihin membicarakan niat untuk pindah ke kosan atau kontrakan, karena tak ingin merepotkan pak Sobar lebih lama lagi.
Sabtu malam mereka mencoba membicarakannya kepada Pak Sobar. Dengan langkah gemetar karena perasaan tidak enak, mereka mendekati Pak Sobar yang sedang membaca buku di ruang tamu.
"Pak Sobar, pak....," sahut Cahyo di ruang tamu.
"Iya, Nak Cahyo."
".......," Cahyo hanya terdiam tak berkata-kata.
"Ada apa sebenernya, Nak Cahyo?"
"Eh, kamu aja deh Hin, yang ngomong," ucap Cahyo pada Solihin yang ada disebelahnya.
"Loh, kok aku?" tanya Solihin menolak.
"Sebenernya ada apa, kalian ngomong saja," kata Pak Sobar seraya tersenyum.
"Ehmm, Tangguh aja deh yang ngomong," ucap Cahyo mengalihkan pada Tangguh.
"Uh, kalian ini. Ya udah, gini Pak..... ehm... kita kayanya ingin pindah saja dari sini."
"Loh kenapa? apa saya ini punya salah sama kalian, atau kalian nggak kerasan tinggal di sini?" ucap Pak Sobar sambil menutup buku yang dibacanya
"Oh, enggak Pak, bukan itu. Kami udah kekerasan, kok. Eh.. nggak, maksud kami, kami sebenarnya sangat betah, tapi kami nggak enak numpang terus di rumah Bapak. Lagi pula kami juga kan sudah kerja, kami ingin belajar hidup mandiri, Pak," jawab Tangguh.
"Oh begitu. Tapi saya ini sama sekali nggak ngerasa direpotkan kok sama adek–adek semua. Justru saya ini seneng adek–adek bisa tinggal di sini. Tapi kalo itu sudah keputusan kalian, ya itu terserah kalian."
"Iya Pak, maafin kita yah, kalo kita ada salah. Besok kita mulai nyari kosan, Pak," ucap Cahyo ikut bicara.
"Iya, sama–sama saya juga minta maaf kalau ada salah sama adek–adek semua. Semoga kalian dapet tempat yang nyaman. Kalian juga jangan lupa yah, sering–sering maen kesini."
"Iya Pak, kapan-kapan kita ke sini."
***
Hari ini, Tangguh, Cahyo, dan Solihin mulai mencari tempat tinggal baru. Prioritas pertama tentu saja dekat tempat kerja mereka. Namun karena daerahnya cukup ramai, sulit bagi mereka menemukan kosan dengan harga terjangkau. Walau mereka telah mencari hingga ke pelosok gang, ternyata belum ketemu juga.
Mereka pun bergerak lebih jauh hingga akhirnya menemukan kosan dengan harga yang mereka harapkan dan tempat yang cukup nyaman. Jaraknya sekitar 2 kilometer dari tempat mereka bekerja. Mereka menempati lantai atas yang terdiri dari 3 kamar. Di lantai itu juga ada balkon tempat mereka bersantai sambil menikmati pemandangan atap rumah warga sekitar.
Setelah mendapatkan kosan yang diinginkan, mereka pun kembali ke rumah Pak Sobar untuk berpamitan dan mengemasi barang–barang.
Sembari mengemasi pakaian, mereka menatap ke seluruh sudut ruangan, karena di tempat inilah mereka bernaung sementara dari hujan dan panas. Di tempat inilah mereka mendapatkan kemurahan hati yang luar biasa dari Pak Sobar. Mungkin sudah langka orang seperti itu di dunia ini. Berat rasanya bagi mereka untuk meninggalkan tempat ini. Tapi mereka merasa harus hidup lebih mandiri.
"Pak, kami pamit dulu, maaf kalau kami ada salah selama ini," ucap Tangguh bersalaman dan mencium tangan pak Sobar sambil menenteng tas ransel.
"Iya Pak, saya juga minta maaf," Cahyo dan Solihin pun seperti itu.
"Iya sama–sama, Bapak juga minta maaf kalo ada salah," ucap Pak Sobar.
"Ya sudah Pak, Kami pergi dulu. Terima kasih telah memberikan tempat tinggal sementara, Pak."
Mereka pun pergi dari rumah Pak Sobar menuju kosan baru. Mereka kini akan hidup lebih mandiri. Misi mereka datang ke Ibu kota untuk menemui ketiga penjahat itu pun tentu tak akan mereka lupakan. Kebaikan Pak Sobar pun tak akan pernah mereka lupakan.
***
Di hari itu, mereka mulai menempati kosan baru. Barang–barang yang masih belum rapi menghiasi kamar mereka saat ini. Hal pertama untuk melatih kemandirian adalah membereskan kamar.
"Guh, sapunya pinjem dong!!!."
"Uh... tar dulu, belum beres, nih."
"Aduh ini barang siapa, kok ada di kamarku?!"
"Sudah... jangan berisik. Kita harus cepat bereskan ini semua. Besok kita udah mau masuk kerja lagi!!"
"Iya, benar, kita pasti nggak mau kan begadang lagi sebelum kerja cuma gara–gara beresin kamar."
"Ya iyalah masa tiga pegawai baru kesiangan lagi."
"Apalagi kalo make baju paling rapi dan masih ada harganya."
"Ahhhhhhhh.... udah jangan diingat lagi!!!!!"
Suara-suara itulah yang terdengar dari lantai atas kosan itu. Kesibukan yang harus segera diselesaikan sebelum memulai kerja lagi di hari berikutnya.
Ketika sedang membereskan barang–barang sambil saling bercanda dan berbincang dari masing–masing kamar, tiba–tiba suara Tangguh dari kamarnya melenyap seiring dengan melenyapanya suara barang–barang yang dirapikannya saat itu.
Rupanya ketika membereskan barang–barang ia teringat kembali masa-masa ketika ia masih di SD. Ia teringat dengan teman-teman sekelasnya kala itu, termasuk Jamal, Badrun, dan Tohir. Dulu ketiga temannya itu memang nakal. Tapi ia tak menyangka kalau hingga saat ini mereka semakin bertambah nakal. Bahkan kenakalan mereka sangat melampaui batas.
Seketika ingatannya tertuju pada Lica, seorang teman yang selalu membelanya saat dijahili terus oleh Badrun, Jamal, dan Tohir. Ia merasa malu dan merasa lemah sekali ketika mengingat hal itu. Apalagi saat ia menangis ketika Badrun, Jamal, dan Tohir menggantungnya dengan posisi terbalik di atas tiang bendera. Pada saat itu Lica-lah yang berani menghardik ketiga anak jahil itu dan melaporkannya ke ibu guru. Senyum tipis terurai dari bibir Tangguh ketika mengingat gadis kecil itu. Entah di mana ia sekarang.
Ia pun kembali membereskan barang–barang yang lain, ia kembali terhenyak dan terpaku ketika ia mengingat saat-saat bersama kedua orang tuanya waktu ia masih kecil. Saat ini ia merasa hampa ketika mengingat ayah dan ibunya. Telah lama Tangguh tidak bertemu dengan mereka. Tangguh meneteskan air mata yang tak kuasa ia bendung.
Cahyo dan Solihin merasa heran dengan suara senyap dari kamar Tangguh. Mereka pun perlahan menghampiri dan masuk ke kamar Tangguh.
"Hayo, lagi ngapain??!!" ujar Cahyo menepuk pundak Tangguh.
"Ah enggak kok cuma istirahat sejenak aja," jawab Tangguh mengusap air mata di pipinya.
"Kamu abis nangis, Guh??" tanya Solihin.
"Ah nggak, Hin." Tangguh memalingkan wajahnya.
"Udahlah, Guh, kamu cerita saja pada kami, apa yang kamu pikirkan," ucap Cahyo.
"Aku cuma ingat orang tuaku saja, Yo," jawab Tangguh.
"Guh, Kita yakin kok, suatu saat kamu bisa ketemu lagi sama kedua orang tuamu," Solihin menguatkan Tangguh.
"Ya, makasih, kalian emang sahabatku, aku juga harap begitu." Tangguh merangkul kedua sahabatnya.
Tangguh mengingat kembali wajah ayah dan ibunya. Ia pun berkata dalam hati,
Ibu, Ayah, aku di sini sendiri,
Mungkin ini yang kalian harapkan dariku,
Menjadi seorang yang mandiri,
Yang bertanggung jawab sepenuhnya atas hidupku,
Terkadang aku merasa seperti sehelai daun di ranting pohon yang kering,
Yang mudah terhempas angin,
Tapi aku selalu ingat apa yang pernah Ayah dan Ibu katakan,
"Nak, Jadilah seperti batu karang yang selalu tegar,
Sebesar apa pun ombak datang."
***