"Jadi benar," tanya Delima yang tanpa sadar sedang menggenggam tangan kiri pemuda tersebut dengan kedua tangannya. "Selama ini kamu buta warna?"
Keisha mengangguk lagi. "Tapi tidak semenjak aku bangun tidur tadi. Semua…" ia melirik pada Delisa, lalu pada Delia. "Terlihat begitu cerah, seolah-olah setiap benda yang ada di dunia ini memancarkan warna terang benderang."
"Syukurlah," Delisa tersenyum sangat manis. "Seperti kata ibu saya," tunjuknya pada Delia dengan sangat sopan. "Bahwa pertemuanmu dengan Delima adalah takdirmu, Keisha. Dan itu juga yang menggerakkanku untuk memberikan sedikit bantuan kepadamu."
"Maaf sebelumnya," ujar Keisha. "Saya punya dugaan…" lalu pandangannya tertuju ke atas meja.
Lebih tepatnya, pada teko keramik yang berisi teh madu mahkota dewa itu. Juga pada keempat cangkir keramik yang ada bersamanya.
"Apakah teh madu mahkota dewa itu yang menjadi penyembuh? Karena, saya ingat dengan jelas bahwa saya tidak memakan dan meminum apa pun saat datang ke rumah ini kemarin, kecuali, ya… teh madu mahkota dewa ini."
Delisa tersenyum, begitupula Delia dan Delima.
"Dugaanmu tidak salah sama sekali."
"Aah…" Keisha mengangguk dalam senyuman. Ternyata benar, pikirnya. "Saya memang tidak pernah sebelumnya minum teh madu mahkota dewa. Jadi, ya… saya tidak tahu jika buah mahkota dewa dicampur madu akan memberikan efek yang luar biasa seperti yang saya rasakan."
"Tidak," Delia tertawa halus. "Kau jangan berlebihan anak muda."
"Maksud Nenek?"
"Memang," ujar Delia, "teh madu mahkota dewa itu adalah media yang digunakan Delisa untuk—katakanlah, menyembuhkan kekuranganmu itu. Tapi yang terjadi sebenarnya, lebih kompleks dari sekadar memberikan secangir teh."
Kening pemuda itu mengernyit, lalu beralih memandang kepada Delisa. Tapi orang yang dipandang hanya tersenyum dan mengangguk-angguk kecil saja. Ucapan Delia itu semakin membuat Keisha kebingungan.
Bukan lantaran ia tidak bisa memahami keganjilan dari keluarga Delima, namun lebih jauh daripada itu, Keisha merasa ada sesuatu yang tidak sama antara keluarga Delima dengan dirinya sendiri.
Tapi sulit bagi Keisha untuk mencari tahu di mana letak perbedaan itu, tidak sama sekali.
Delia lalu berpaling pada sang cucu.
"Kau sudah menceritakan kepada pemuda ini tentang keluarga kita, Delima?"
Delima menggeleng. "Belum, Nek. Delima sama sekali belum memberi tahu kepada Keisha. Apa Nenek menginginkan Delima memberitahukan hal ini kepada Keisha?"
Delia menghela napas dalam-dalam. Ia memikirkan satu dua hal tentang ucapan sang cucunya barusan itu. Lalu, ia menggeleng.
"Dengar Keisha," ujar Delia, kemudian. "Aku melarang cucuku untuk memberi tahu padamu kebenaran tentang keluarga kecil kami ini. Dan aku melarangmu untuk bertanya. Kau bisa berjanji soal ini?"
"Nek—"
Delima ingin berkata sesuatu, namun gerakan tangan sang nenek menghentikan keinginan Delima tersebut.
Keisha semakin bingung sembari memandang wajah Delima yang juga memandang kepadanya. Senyum gadis itu masih sama, tidak ada sesuatu yang tersembunyi di sana. Lalu soal apa? Keisha mencoba menebak-nebak di dalam hati.
Lalu pandangannya beralih pada ibu Delima. Sama, Delia tersenyum manis sembari menganggukkan kepala. Seolah meminta Keisha untuk menyanggupi apa yang dipinta oleh Delia.
"Mak—maksud Nenek?" tanya Keisha.
Delia mengendikkan bahunya. "Kau bisa berjanji?"
"Tapi…" kembali tatapan Keisha tertuju pada Delima. "Bukankah Nenek mengharapkan saya dan Delima berpacaran? Maaf…" Keisha menunduk dengan wajah memerah. "Ucapan Nenek yang sebelum ini terdengar seperti itu di telinga saya."
Delima tersenyum manis sembari mengelus bahu kiri Keisha.
Delisa memandang kepada ibunya, Delia pun memandang Delisa. Keduanya sama tersenyum dan mengangguk kecil seolah menyepakati sesuatu tanpa ada kata yang perlu terucap.
"Lalu?" tanya Delia ketika pandangannya kembali kepada Keisha.
"Ya… saya sendiri tidak mungkin bisa membohongi perasaan saya kepada Delima, bahwa saya sesungguhnya menyukai Delima."
Keisha melirik lagi pada Delima. Dan gadis itu menunduk tersipu malu dengan pipi yang semakin merona.
"Lalu, apa susahnya kau berjanji?" kata Delia, lagi. "Di hadapanku, di hadapan kami semua?"
"Bukan soal bersedia atau tidak, Nek. Hanya saja, umumnya, jika satu orang ingin mengenal orang lain terutama pasangannya, tentulah biasanya ia akan bertanya seperti apa keluarganya."
"Benarkah?"
"Yaa… mungkin bagi mereka yang hanya menilai wanita sebagai barang yang bisa dipermainkan sesuka hati, tentu bisa saja mereka bersikap masa bodoh."
"Hemm… masuk akal juga ucapanmu."
"Dan saya tidak menilai Delima seperti itu, Nek."
"Kau bersungguh-sungguh?"
"Saya berani bersumpah atas nama apa saja sekarang ini," ujar Keisha demi meyakinkan sang nenek. "Di hadapan Nenek, Tante, dan Delima sendiri."
"Tidak," ujar Delisa menengahi percakapan ibunya dan pemuda itu. "Itu tidak perlu. Sumpah itu bukanlah sebuah takdir. Dan sesuatu yang bukan takdir, akan sangat mudah berubah-ubah."
"Tapi, Tan…"
Keisha melirik Delima yang sengaja menarik pelan bahunya. Lalu gadis itu tersenyum sangat manis sembari menggeleng kecil. Isyarat pada Keisha untuk tidak membantah ibunya, juga neneknya itu.
Pada akhirnya, Keisha hanya bisa menghela napas dalam-dalam.
"Baiklah," ujar pemuda tersebut. "Saya tidak akan bertanya. Saya berjanji pada Nenek, Tante," dan saat ia memandang Delima, ia meraih tangan gadis itu, meremasnya dengan lembut. "Pada Delima."
"Bagus," Delia tersenyum senang. "Suatu saat, bila masanya sudah tepat nanti—dan percayalah, itu tidak akan lama. Kau akan mengetahui semuanya, Keisha. Kau pasti akan mengetahuinya."
"Saya harap juga begitu, Nek."
"Kau sepertinya pemuda yang baik, sama seperti ayah kandung Delima."
"Benarkah?" lagi-lagi pemuda itu melirik ke dalam bola mata Delima.
"Ya," sahut Delisa. "Kurang lebih."
"Terima kasih."
Meskipun begitu, Keisha malah bertanya-tanya lagi di dalam hatinya. Jika benar ayah kandung Delima adalah seorang pria yang baik—tidak seperti dugaannya sebelum ini—lalu, pria baik mana yang tega membiarkan anak kandungnya sedari bayi hingga dewasa tumbuh tanpa mengenal siapa ayahnya itu sendiri?
Semakin aneh saja.
"Sepertinya Delima memang tidak salah memilih kamu sebagai kekasihnya. Hanya saja, aku masih merasa ada yang kurang pada dirimu."
Keisha mengernyitkan kening menatap Delia. Apa maksud ucapan si 'nenek cantik' itu? Apakah itu berarti aku masih memiliki kekurangan?
Well, menurut ibu Delima tidak ada manusia yang sempurna, dan aku setuju itu. Jelas, aku masih memiliki kekurangan yang lain.
Atau itu justru berarti aku tidak bisa memiliki Delima?
Ada apa sebenarnya ini?
"Kau tahu alasan mengapa kami menggunakan media teh madu mahkota dewa ini untuk menyembuhkan kekuranganmu?"
Tentu saja Keisha tidak tahu alasan di balik semua itu. Jadi, ia hanya menggeleng, lalu melirik lagi gadis di samping kirinya itu. Lagi-lagi gadis itu hanya tersenyum manis saja.
"Karena kami tidak seperti dirimu, anak muda."
"Hah?" Keisha benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi, atau bertanya soal apa. "Mak—maksudnya?"
"Ya," Delia tersenyum dengan kepala sedikit miring dan bahu yang terangkat. "Aku, Delisa, dan Delima hanya bisa mengkonsumsi minuman ini."
TO BE CONTINUED ...