15.
"Oh ini… di cekik sama Arland, Mam. Itu pelakunya, ada di samping Mami. Sakit sih, sampai Asa gak bisa nafas." Ujar Arasha.
Arland ternyata salah besar. Dia tidak seharusnya merasa tenang saat bersama Arasha. Dia tidak seharusnya mempercayai Arasha. Karena, istri cantiknya itu benar-benar tidak bisa dipercaya.
Lihat saja bagaimana bocornya mulut Arasha, membeberkan tentang apa yang terjadi di antara mereka. Tentang betapa kasarnya Arland mencekik Arasha.
Rosea yang mendengar penjelasan Arasha tentunya terkejut bukan main. Dia syok. Tidak menyangka putra tampan yang selalu dia bangga-banggakan, ternyata berbuat kekerasan terhadap istrinya sendiri.
"Arland, kamu mencekik Asa?!" Desis Rosea.
Arland memutar bola matanya malas, merasa jengah dengan apa yang mereka bahas saat ini. Mau mengelak pun pada akhirnya percuma. Ada bukti nyata yang terlihat jelas di mata siapapun yang melihatnya.
"Hm. Arland mencekik Asa. Kenapa?" Jawab Arland, setengah menggeram. Manik matanya tidak lagi terfokus pada sang ibu. Melainkan pada Arasha yang juga menatapnya.
Mata keduanya bertemu satu sana lain. Terkunci rapat tanpa bisa teralihkan. Dengan perasaan yang tentunya sangat berbeda. Arland yang penuh amarah dan Arasha yang penuh kepuasan. Ya. Merasa puas karena melihat Arland tak mampu berkutik di depan ibunya sendiri.
Arasha tidak peduli apakah dia akan di sebut sebagai tukang mengadu. Yang Arasha pedulikan hanya tentang melihat kekalahan Arland.
Dan kekalahan itu tampaknya sudah ada di depan mata. Bisa dilihat dari bagaimana murka nya Rosea pea putranya sendiri.
"Kau gila, Arland?! You're out of your mind, Arland! You're crazy?! You hit your own wife, you Bastard?!" Teriak Rosea. Dia membentak Arland sangat kencang, murka terhadap putranya yang bertindak di luar batas.
Arland juga sama marahnya. Yang berbeda, Arland marah pada Arasha. Bukan pada ibunya.
"Kenapa? Dia istri Arland. Istri sah arland di mata Tuhan. Terserah Arland akan melakukan apa pada Asa. Salah dia sendiri memilih Arland. Seharusnya, sejak awal Asa memilih Dylan. Dengan begitu, Asa tidak akan merasakan rumah tangga seperti neraka. Dia akan seperti di surga. Berbahagia karena dicintai dan disayangi oleh Dylan. Bukannya direndahkan dan diinjak-injak oleh Arland." Sinis Arland.
Arland mengeluarkan ultimatumnya yang tidak akan bisa dibantah oleh siapapun. Baik oleh Arasha maupun oleh ibunya sendiri.
Dan ini merupakan kekalahan telak bagi Arasha. Membuatnya berdecih dengan penuh kebencian.
Tepat setelah Arland mengeluarkan ultimatumnya, Rosea tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa membalas dengan sebuah tamparan. "Mami tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi brengsek, Arland!"
"Arland tahu. Arland tahu Mami selalu mendidik Arland untuk menghormati perempuan, untuk tidak kasar pada perempuan. Tetapi, sayangnya Asa pengecualian untuk itu. Arland tidak bisa menganggap Asa sebagai seorang perempuan. Sejak dahulu sampai sekarang, Asa tetaplah musuh untuk Arland. Terlebih setelah dia meninggalkan Dylan seenak jidat. Mempermainkan hati Dylan. Cih! Sok kecantikan." Arland mencibir Arasha dengan kejamnya, tanpa rasa kasihan sedikitpun dalam benaknya. Pria itu benar-benar keterlaluan.
"Kamu benar-benar gila, Arland. Kau sudah tidak waras. Tunggu saja penyesalanmu, Arland! Saat itu terjadi, Mami akan memastikan Arasha tidak akan kembali pada kamu." Rosea meraih kunci mobil yang tadinya dia letakkan di atas meja. Dia mengambilnya kasar, berlari meninggalkan sepasang suami istri tersebut.
Tepat setelah pintu utama terdengar dibanting, Arland mendekati Arasha. Tanpa sepatah katapun, dia menarik rambut Arasha, menjambaknya kuat.
"Akh!" Arasha memekik kesakitan sewaktu rambutnya dijambak begitu kuat oleh Arland. Gadis itu memberontak, mencoba melepaskan diri.
"Land, lepasin! Kamu gila ya?!" Teriak Arasha di tengah dirinya yang terus diseret oleh Arland menuju lantai atas.
"Hm. Gue gila! Gue udah gila! Ini 'kan yang lo mau?! Ini 'kan yang lo harapkan?! Siksaan gue?! Ini 'kan yang lo suka, hah?!" Arland membanting Arasha di atas ranjang. Gadis itu meringkuk, memegangi kepalanya sendiri yang sudah berdenyut nyeri.
Arland merasa puas melihat bagaimana wajah Arasha yang terlihat kesakitan. Dia merangkak, mendekati istrinya dengan perlahan dan sangat intens.
"Gue udah kasih lo kesempatan buat hidup tenang. Gue udah kasih lo kesempatan biar terlepas dari siksaan gue. Cukup berbohong… tapi, kayaknya susah banget ya?! Iya lah! Bibir jalang kayak lo mana mungkin bisa nurut sama gue." Wajah Arland sudah berada persis di hadapan Arasha. Tangannya langsung menangkup rahang gadis itu, mencekramnya sangat kuat.
Tidak, kali ini Arland tidak mencekik istrinya. Dia mencekram pipi Arasha hingga memanas dan tentunya terasa perih.
"Lo sendiri yang minta gue siksa, Asa… lo sendiri yang ciptain neraka kehidupan lo! Jadi, jangan salahin gue kalau misalkan gue kejam sama lo." Arland membanting wajah istrinya hingga Arasha terbaring di atas ranjang dengan kasar.
Dia bernafas terengah-entah, berusaha menormalkan kadar oksigen dalam dirinya setelah sempat berkurang drastis.
"Apa yang gue lakuin bisa lebih parah dari yang selama ini lo terima! Lihat aja kedepannya. Sekali lagi lo bocorin semuanya, siap—"
"Aku akan bocorin semuanya. Aku akan jujur kepada semua orang yang bertanya tentang kita. Aku tidak suka sebuah kemunafikan, Arland! Aku muak. Dan aku tahu kamu tidak bisa lebih kasar lagi kepadaku! Aku tahu itu! Aku mengenal kamu sejak dulu! Sejak kecil. Dan aku tahu kamu tertarik padaku!" Teriak Arasha, memberanikan diri memotong ucapan suaminya.
Arland menarik sudut bibirnya, menyeringai tajam. "Oh, mau ngomongin soal perasaan?! Bukannya gue udah pernah bilang ke lo kalau perasaan gue udah mati sepenuhnya sama lo. Perasaan gue mati tepat setelah gue tahu kalau lo ninggalin Dylan! Lo bikin Dylan frustasi, nyaris gagal sama kuliahnya sendiri! Lo hilang tanpa kabar, lo… seenaknya sama perasaan orang lain. Lo gak punya hati, Asa! Dan lo berharap gue mencintai cewek kayak lo?! Cewek brengsek yang seenaknya ninggalin cowok tanpa kejelasan?! Itu gak akan terjadi lagi. Lo tahu hal apa yang paling gue sesali di dunia?!" Arland menjeda kalimatnya, mencekram rambut Arasha dan menariknya kuat hingga Arasha mendongak menghadapnya.
Dirasa Arasha kewalahan, barulah Arland melanjutkan kalimatnya sendiri. "Hal yang paling gue sesali di dunia adalah kenal sama lo. Hal yang paling gue sesali di dunia adalah jatuh cinta sama lo. Dan hal yang paling gue sesali di dunia adalah… sempat percaya sama lo. Sempat ngira kalau lo cewek baik-baik yang tulus sama Dylan."
Arland kembali membanting kepala Arasha, kemudian keluar dari kamar tersebut dan menutup pintunya dengan kasar. Bahkan, Arland juga tak lupa mengunci pintu tersebut, mengurung Arasha dalam kamar entah sampai kapan. Ya, Arland segila dan sebenci itu pada Arasha, istrinya sendiri.