Chereads / Destroyed By A Billionaire / Chapter 19 - 19. Kapan Mau Mencetak Arland Junior?

Chapter 19 - 19. Kapan Mau Mencetak Arland Junior?

19.

"Terus, alasan lo milih gue apa?"

Seharusnya, Arland tahu bahwa dirinya tidak akan mendapatkan jawaban dari pertanyaannya tersebut. Jika saja Arasha semudah itu untuk menjawabnya, sejak awal pernikahan mereka, Arland mungkin sudah mengetahuinya. Atau bahkan, pernikahan mereka tidak akan terjadi karena Arland akan langsung menepis keras alasan Arasha. Apapun alasannya.

Jika terus seperti ini, lama kelamaan Arland akan semakin tertantang untuk mendapat jawaban atas pertanyaannya sendiri. Dia tertantang untuk membuat Arasha berkata jujur tentang alasa mengapa Arasha memilihnya alih-alih memilih Dylan.

Dan Arland tahu bahwa perjuangannya dalam mendapat apa yang dia inginkan tidak akan semudah itu. Arasha begitu keras kepala dan sialnya teramat tangguh. Tidak akan mungkin Arasha semudah itu untuk tiba-tiba memberitahunya.

Dan pemikiran sialan ini membuat Arland sedikit frustasi. Saking frustasi nya, dia sampai malas untuk megerjakan setumpukpekerjaan yang kini ada di depan matanya. Sudah begitu, tumpukan pekerjaan di depannya ini akan terus bertambah seiring berjalannya waktu.

"Huh!" helaan nafas berat keluar dari mulutnya. Tangan kanannya sudah bertengger di kepala, tak lupa memejamkan mata.

Tok!

Tok!

Di tengah rasa frustasinya, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu ruangannya. Tanpa menarik kepalanya atau sekedar membuka mata, Arland berteriak. "Masuk!" teriaknya.

Seseorang yang tadi mengetuk pintu ruangannya segera masuk, berdiri persis di depan Arland. "Pak? Ada kepentingan apa Bapak memanggil saya?"

Suara yang terdengar tidak asing di telinganya berhasil membuat Arland membuka mata. Dan benar saja, di depan sana sudah berdiri seorang perempuan cantik berambut gelap. Oktaviona, sekretaris baru Arland.

"Kamu sudah bertemu dengan Asa?" Tanya Arland. Dia membenahi duduknya sendiri, membuka kedua kakinya dan menepuk pahanya.

Okta yang peka terhadap situasi segera mendekat, duduk di atas paha Arland dengan posisi menyamping. Kedua tangannya dia kalungkan pada leher Arland, bersikap manja.

"Sudah, Pak. Saya sudah bertemu dengan Asa." Okta adalah gadis yang sangat penurut dan manis. Dia bukan tipe gadis pembangkang. Dan hal itu sangat disenangi oleh Arland yang memiliki sikap dominan.

Ini juga alasan mengapa Arland akhirnya memutuskan untuk menjadikan Okta sekretarisnya, menggantikan Ulfa yang dia pecat dengan sebuah alasan. Karena, Okta begitu penurut.

Bagaikan seorang budak manis yang tidak memiliki pilihan selain mengikuti permintaan tuannya.

"Apa dia berkata sesuatu tentang ku?" Tanya Arland.

Okta berpikir sejenak, menjawab. "Hm, dia hanya berkata pada saya untuk berhati-hati dengan Anda. Katanya, Anda berbahaya." Jawab Okta.

Arland mendengus. Berbahaya? Yang benar saja. Arland hanya berbahaya untuk Arasha, tidak untuk yang lainnya.

"Dan kamu percaya?"

"Tidak, Pak Arland. Selama Anda menjadi pelanggan saya di club malam… Anda tidak pernah menyakiti saya." Ujar Okta dengan senyuman manisnya.

Sedetik setelah itu, Arland bisa mendengar suara langkah kaki yang mendekat di sertai suara senandung merdu oleh seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah istrinya sendiri.

Arland menyeringai tajam, memiliki sebuah rencana. "Okta, cium aku!" Seru Arland.

Okta yang pada dasarnya penurut tidak merasa keberatan sama sekali. Dia meraup bibir Arland, menciumnya ganas yang dibalas juga oleh Arland.

Dan bertepatan dengan ciuman tersebut, Arasha masuk ke dalam ruangan. Dia terkejut. Namun, hanya sepersekian detik. Setelahnya, dia berdeham pelan sebagai kode pada sang suami untuk menghentikan tindakan bejatnya.

"Ekhem. Bisa saya minta waktunya beberapa menit, Pak Arland?" Sahut Arasha.

Arland melepaskan ciumannya, merengkuh hangat pinggang Okta. "Katakan saja." Jawabnya sambil mulai mencium leher Okta, merangsang gadis itu.

Arasha sedikit risih. Namun, mau bagaimana lagi? Ini sesuatu yang cukup penting dan harus dia katakan sekarang.

"Mami Rosea minta kita datang ke acara makan malam."

"Hm? Kapan?"

"Nanti malam." Jawab Arasha.

"Oke. Tinggalin gue dan Okta sekarang… kecuali, kalau lo mau gabung sama kita." Seraya sibuk meremas dada Okta, Arland mengerlingkan matanya nakal, menggoda Arasha yang justru merasa sangat jijik.

Sampai-sampai, Arasha merinding dibuatnya. "Hih… gila ya?" Gumam dia sebelum akhirnya pergi meninggalkan Arland dan Okta yang mulai melanjutkan kegiatan mereka.

***

***

Sayup-sayup angin malam mulai berhembus, mengibaskan rambut pirang milik gadis kelahiran Melbourne yang kini baru saja turun dari mobil. Di sampingnya, terdapat seorang pria tampan berperawakan tinggi dan teramat kekar.

Keduanya berjalan berdampingan, memasuki mansion mewah milik keluarga Cashel. Keluarga yang sangat ternama dengan kekayaan yang tak terhitung. Terlebih, setelah keluarga kini bergabung dengan keluarga Zeas. Kekayaan mereka jadi tak lagi bisa terhindarkan.

Dan seluruh kekayaan dari dua keluarga tersebut jatuh di tangan Arland Maurozeas Cashel. CEO yang saat ini masih memegang bagian cabang Indonesia mengingat pusat dari bisnis keluarga mereka berada di Jerman.

"Apapun yang terjadi di dalam, lo gak boleh ngasih— Heh lo mau kemana?!" Arland mendengus sewaktu Arasha tiba-tiba berjalan mendahuluinya, mengabaikan ucapannya.

Tampaknya, istrinya ini mulai jengah dengan dia.

"Heh! Dengerin gue dulu, sialan!" Merasa geram, Arland mencekal kuat tangan Arasha sampai memerah. Arasha tidak mengeluh meski sejujurnya terasa cukup sakit.

Dia justru mengulum senyum simpul, bertanya. "Dengerin apa?! Kamu cuman mau ngomong kalau aku gak boleh ngadu. Gitu 'kan?"

"Hm."

"Tanpa kamu kasih tahu juga aku tahu."

"Lah? Kenapa segampang ini?" Arland bergumam, sedikit tidak menyangka.

"Jadi, lo bakal nurut dan gak ngasih tahu mereka tentang apa yang terjadi?" Lanjut Arland, bertanya.

Tanpa keraguan sedikitpun, Arasha menjawabnya. "Of course."

"Lah? Tumben—"

"—Of course aku bakal ngadu, Arland. Kamu tahu sendiri aku gak mau di atur. Jadi, bye bye. Selamat dimarahi sama Mami!"

Tanpa beban sedikitpun, Arasha melambaikan tangannya, berjalan meninggalkan Arland yang sudah menggeram kesal. "Bitches." Umpatnya tanpa sadar.

Dia mengekor di belakang Arasha, menyusul gadis itu menuju ruang makan.

Sesampainya di ruang makan, sang ayah dan ibunya langsung menyambut mereka.

"Hai Son! Bagaimana? Kapan mencetak Arland junior, hm?" Sambut Alaric.

Arland duduk di samping Arasha, berusaha mengubah wajahnya menjadi semanis mungkin.

Tidak, Arland tidak membenci kedua orang tuanya. Wajahnya masam murni karena Arasha. Bukan karena kedua orang tuanya.

"Belum. Arasha mandul kali." Jawab Arland sedikit ketus.

Alaric dan Rosea yang mendengar hal itu langsung memicingkan mata, menatap putranya dengan penuh amarah. "Arland, jaga ucapan kamu!" Sentak Rosea, memperingati.

"What's wrong with you, Son?! Kamu sepertinya membenci Asa." Giliran Alaric yang merespon.

"Daddy tahu sendiri sejak sekolah dasar Arland sudah membenci Asa. Terus, kenapa harus dinikahkan sama dia?! Lagian, umur Arland juga masih terlalu muda. Baru dua puluh tiga tahun. Daddy sama Mami berlebihan tau gak sih. Pakai acara perjodohan segala." Balas Arland, mengungkapkan kekesalan dalam hatinya.