22.
Pertengkaran yang sempat terjadi kini telah usai, menyisakan Arland dengan banyak luka pada tubuhnya, terutama pada bagian wajahnya. Dan entah mengapa, banyaknya luka pada tubuh Arland membuat Arasha merasa sedikit prihatin.
"Tidur di sini, Arland. Biar Mami obatin luka—'
"Dia punya istri, My Rose. Biar istrinya yang mengobati dia." Potong Alaric.
My Rose adalah panggilan sayang dari Alaric untuk Rosea. Panggilan yang Alric berikan sejak kecil. Sungguh manis sekali kisah cinta keduanya meski sempat diterpa badai kerumitan selama lebih dari lima belas tahun lamanya.
Larangan Alaric akhirnya membuat Rosea mengurungkan niatnya untuk mengobati Arland. Dia hanya menepuk pundak Arland, kemudian menghampiri Arasha. "Obatin Arland buat Mami ya?"
Arasha tentunya tidak bisa menolak. Dia berhutang besar pada Rosea. Banyaknya kebaikan Rosea padanya membuat Arasha begitu menyayangi ibu mertuanya itu. Bahkan, sejak sebelum hubungan mereka menjadi menantu dan mertua.
"Iya, Mam. Mami tenang saja." Kata Arasha dengan senyum mengembangnya.
Rasanya, lucu saat Arasha harus mengobati seseorang yang selama ini sering menyakitinya. Mengobati penyebab dari luka yang Arasha miliki. Obat dan luka, dua kata yang saling berhubungan, namun terkadang tidak selaras.
Sepeninggalan Rosea dan Alaric, tersisa Arasha dengan Arland berdua di ruangan yang sangat besar ini. Netra gelap milik Arasha melihat suaminya yang saat ini tengah meringis kesakitan di atas sofa. Duduk dengan kepala tertunduk dan jari yang tengah menyeka darah pada bibirnya.
"Arland?" baru saja memanggil, Arland sudah langsung beranjak dan akan pergi dari sana. Untungnya, Arasha dengan cekatan mencekal pergelangan tangan Arland sehingga membuat pria itu langsung terdiam dan menoleh pelan sehingga kedua iris mata itu bertemu.
Hening.
Tidak ada satupun yang bersuara selama beberapa saat. Berdiri dengan kedua tangan yang menyatu, dan mata yang bertemu. Atmosfer yang semula sangat keruh sudah mulai kembali bersih bagai udara di hutan.
"Arland…" keheningan mulai pecah setelah Arasha memanggil nama Arland.
Dan entah bagaimana bisa, Arland luluh. Tubuhnya tak lagi setegang awal. Perlahan mulai tenang dan… nyaman?
"Apa?!" ketus, satu kata yang selalu ada dipikiran Arasha setiap kali mendengar suara Arland.
"Aku obatin. Jangan nolak… ini permintaan Mami Rosea." Bujuk Arasha.
Arland berpikir selama beberapa saat sebelum akhirnya, dia menghela nafas panjang dan menurut. Mengikuti kemauan Arasha, untuk kali pertama.
"Hm. Tapi, cuman ngobatin. Awas aja kalau lo sampai macem-macem. Jangan modus mau sentuh-sentuh badan gue. Gue tau badan gue—Aw!" Arland meringis perih saat Arasha tiba-tiba menekan memar pada pipinya akibat tamparan dari sang ayah. Pria itu mendelik kesal, berdecak. "Sakit, bego!"
"lebih sakit di cekik sama kamu, goblok." Balas Arasha tanpa sadar. Dia bahkan tidak sadar dirinya mengumpat. Apa yang dirinya ucapkan tiba-tiba keluar begitu saja.
"Hehhh udah berani lo ngumpatin gue hah?!" hati yang damai perlahan mulai terusik dan berubah menjadi kesal kembali. Namun, ini hanya berlangsung sesaat karena Arasha tiba-tiba menariknya menaiki tangga, membawanya ke kamar Arland dan menyuruh sang suami untuk duduk.
Arland duduk, memandangi Arasha yang dengan sigap meraih kotak P3K di laci nakas. Arasha seperti tahu banyak hal tentang rumah ini.
Sewaktu Arasha sudah berdiri di depannya, Arland buka suara. "Lo kayaknya masih inget rumah gue." Kata Arland.
Arasha yang semula sedang meneteskan alkohol ke kapas langsung terdiam. Bahkan, alkoholnya sampai menetes begitu banyak dan nyaris tumpah andai saja Arland tidak mengambil alihnya. "Niat lo ngobatin gue apa mandiin gue pake alcohol?"
"Eh? Sorry… gak sengaja." Arasha mengulum senyumnya, duduk di samping Arland dan mulai mengobatinya.
"Daddy sering marah sampai kayak gini?" tanya Arasha, berusaha mencairkan suasana.
Sejujurnya, Alaric cukup jarang marah sebesar ini. Sang ayah bahkan terbilang jarang kasar kepada Arland. Separah apapun kelakuan Arland, pada akhirnya Alaric hanya bisa menghukumnya atau menegurnya. Tidak sampai melakukan hal sesakit ini. Terakhir kali Arland mendapat perlakuan kasar dari Alaric adalah saat Arland akan mencoba narkoba karena sempat frustasi. Itupun Alaric tidak sampai separah ini memukulnya. Hanya sebatas menampar dan memukuli wajahnya.
"Enggak. Gara-gara lo akhirnya Daddy kayak gini." Jawab Arland.
Arasha meringis pelan, merasa bersalah. "Sorry…"
"Gue gak mau maafin lo. Oh iya, lusa gue gak pulang. Gue mau married sama Ulfa. Lo beneran gak mau dateng?"
Mata Arasha langsung berubah menjadi malas. Netranya yang gelap terlihat dingin dan kesal. "Ogah ah. Gila banget nyuruh aku dateng ke acara nikahan kamu sana Ulfa. Masih untung aku gak ngadu ke Mami atau Daddy Alaric."
"Jadi, lo ngancem gue?! Aduin aja kalau gitu, gue gak masalah."
"What?!" Tunggu, di bagian mana Arasha mengancam Arland? Dia hanya berkata pada Arland bahwa beruntung dirinya tidak mengadu. Dia tidak sedang mengancam. "Bagian mana aku ngancem kamu, Arland?! Otak kamu dimana sih?"
"Ck! Apapun yang lo bilang, gue anggepnya lo ngancem gue." Desis Arland, mengabaikan faktanya.
Arasha mendengus, mengangkat sudut bibirnya sendiri. "Ck! Seenak jidat banget elah."
"Jadi, lo mau dateng gak di acara nikahan gue sama Ulfa?!" Arland bertanya kembali.
"Enggak, Arland. Maksa banget elah." Arasha mendengus, menyelesaikan apa yang dia lakukan. Yaitu, membalut luka pria itu.
Dia berbaring di atas ranjang, menatap langit-langit kamar Arland.
"Sebenarnya gue sama Ulfa udah pemberkatan. Tinggal resepsi doang. Lo beneran gak mau dateng?" Entah apa yang membuat Arland begitu memaksa Arasha untuk datang. Memang dasar Arland, otaknya sudah sedikit geser.
"Ya terus urusannya sama aku apa?!"
Arland kini ikut berbaring di samping Arasha. Tentunya dengan jarak yang cukup jauh. "Kalau lo gak dateng, artinya lo kalah sama dia, Sa. Lo merasa tersaingi."
Kening Arasha berkerut sempurna. Dia memutar tubuhnya menyamping, menatap Arland jengkel. "Tersaingi kamu bilang? Sejak kapan dia jadi saingan aku? Arasha, lulusan universitas terkenal, seorang HRD muda, dan juga… perempuan mahal yang gak asal ngangkang di depan pria, saingan sama Ulfa? Cih! Jauh, Arland. Semua orang juga tahu kalau aku yang menang. Justru nih ya, misalkan aku dateng… aku malahan kasihan sama kamu karena orang-orang bakalan julidin kamu karena seleranya berubah jadi rendahan. Ngerti?!"
Arland tertawa meremehkan. "Sayangnya, lo pasti bakal dateng. Karena, gue bakal ngundang semua karyawan gue. Gue bakal umumin pernikahan ini ke karyawan-karyawan kelas atas gue. Dan itu termasuk lo."
"What the Fuck!"