"Gak mungkin 'kan kamu selamanya sembunyikan Riel dari Arland?" tanpa disadari, bibir tipisnya yang manis terus mengulang ucapan ibunya.
Kepala yang bersandar pada ranjang, kaki yang bertengger pada dinding membuat otak Arasha sepertinya hampir membeku. Tak ada yang bisa dicerna oleh otaknya sendiri. Bahkan, tentang nasib putranya sekalipun.
"Mamah bener sih… Gak mungkin gue sembunyiin Riel dari Arland terus. Lama-kelamaan pasti Arland tau. Tapi, gue juga gak mungkin ngasih tau Arland kalau gue punya anak. Bisa tambah rumit masalahnya." Gumamnya.
Arasha menghela nafas panjang. Matanya melirik ke samping kanannya, tepat dimana putranya sedang tertidur dengan kedua kaki yang terbuka lebar dan tangannya terangkat.
Wajah putranya terlihat sangat nyenyak. Tenang, dan damai. Hal yang membuat Arasha bisa bertahan sekuat ini meski diterjang banyak badai yang menghadang.
Azriel adalah kekuatannya, alasan hidupnya selama ini. Tanpa Azriel, mungkin Arasha sudah menyerah. Menggantung diri, dan… entahlah.
Dddrrtt….
Ponsel berwarna ungu miliknya berdering kencang. Sebagai seorang ibu, Arasha buru-buru beranjak. Dia meraih ponselnya dengan sedikit gegabah sampai hampir menimpa Azriel andai saja Arasha tidak dengan cekatan menangkapnya.
"Oh, shit! Sialan… nidurin bocah satu jam sendiri, masa banguninnya mau segampang itu?!" umpatnya diakhiri sebuah gerutuan.
Setelah berhasil menangkap ponselnya, Arasha langsung menjawabnya. "Kenapa, Ray?" Raya adalah pelaku yang telah menghubunginya di tengah malam seperti ini.
Arasha bisa mendengar suara yang sangat berisik dari balik telepon. Bisa dipastikan, Raya sedang di jalanan mengingat suara berisik tersebut adalah suara kendaraan yang berlalu-lalang.
"Sa? Arland di rumah?" tanya Raya dari balik telepon.
"Lucu banget lo. Gue dari kemarin di rumah Mamah. Arland palingan lagi sama Ulfa, bini keduanya. Kenapa nanyain ke gue?!" bales Arasha.
Di seberang sana, Raya menggaruk tengkuknya. Pasalnya, dia berada di depan rumah Arasha dan Arland. Dia kira, Arasha ada di rumah. Tetapi, yang dia temui justru orang lain.
"Gue lagi di rumah lo. Niatnya mau ngajak ke club. Tapi, yang gue lihat justru bukan lo." kata Raya.
Arasha mengubah posisinya menjadi duduk, bertanya. "Terus siapa? Arland?"
"Emang lo pikir bakal siapa lagi?! Lo kok gak bilang sih kalau Arland di rumah?! Tau gitu gue gak usah kesini dan sok mau ngasih lo surprise!" sahut Raya, merasa kesal.
Pembahasan yang semakin serius membuat Arasha terus menjauh dari Azriel. "Lah? Gue juga gak tahu kalau Arland di rumah. Dia bilangnya nginep di Ulfa dan… katanya juga mau bulan madu."
"Mungkin udah kelar bulan madunya?" gumam Raya.
Arasha berdecak kesal. "Bulan madu cuman sehari? Gila aja ya lo?! gak mungkin lah…"
"Ya terus… ini Arland kenapa ada di rumah lo?" tanya dia.
"Ya mana gue tau. Lagian, ngapain juga lo langsung dateng gitu aja? Kabarin dulu makannya…" Arasha kini duduk di depan meja rias. Dengan telepon yang terangkat dan menempel di telinganya.
"Gue mau kasih lo surprise, Sa. Mau nemenin lo. Eh, yang muncul malah Arland." Balas Raya.
Kening Arasha masih berkerut, sedikit kebingungan. Kenapa Arland ada di rumahnya? Dan jika memang iya, kenapa juga Arland tidak menghubunginya?
"Ray, yang lo liat nyata 'kan? Arland? Kalau misalkan Arland ada di sana, dia harusnya telpon gue." Arasha bergumam pelan. Dia mengenakan lip balm di bibirnya, mengikat rambut dia.
"Ya mana gue tau. Dia 'kan suami lo, bukan suami gue." Kesal Raya.
Arasha meraih kunci mobilnya. "Udah ah, gue matiin dulu telponnya. Gue mau balik dulu. Kalau sampai Arland di rumah tapi gue gak ada… bisa mampus gue." Dia memutus panggilannya, mengantongi ponselnya.
Setelah dirasa siap, Arasha segera mendekati putra tampannya. Dia mengecup kening putranya, mengusap kedua pipi Azriel yang menggemaskan. "Mommy pulang dulu ya? Ada urusan. Besok, Mommy ke sini lagi. Baik-baik sama Grandma sampai Grandpa pulang."
Berat rasanya setiap kali meninggalkan putranya seperti ini. Terlebih, tidak tahu kapan dia akan kembali menemui putranya. Semua itu tergantung pada Arland.
Sebelum benar-benar meninggalkan Azriel, Arasha mengucapkan sepatah kata terakhirnya. "Nanti, kalau misalkan Mommy udah nemu Daddy untuk kamu, kamu bisa sama Mommy terus. Setiap hari. Doain Mommy ya?" bisiknya pelan sebelum benar-benar pergi dari kamar tersebut, meninggalkan putranya.
***
***
Ceklek!
Mendengar pintu depan yang dibuka oleh seseorang, Arland yang tadinya sedang bersantai di ruang keluarga langsung berjingkat kaget. Dia berlari kecil, berniat untuk bersembunyi. Sayangnya, Arland sudah tertangkap basah, bahkan saat dia belum sempat bersembunyi.
"Ngapain?" suara Arasha terdengar. Membuat Arland yang tadinya sedang menungging, langsung menoleh canggung.
"Hah? Lo yang ngapain di sini?!" Arland tidak ingin terlihat konyol. Dia langsung sok berwibawa, duduk dengan tegak.
"Pulang. Emang salah kalau aku di sini?" ucapnya.
Benar juga, pertanyaan Arland terlalu konyol. Arasha tidak bersalah. Memang seharusnya Arasha ada disini.
"Ck! Sehari lo gak pulang. Sekarang, ngapain di sini?! Baru inget rumah?! Kemarin-kemarin kemana aja?" desisnya.
Arasha tertegun. "Kemarin aku udah izin sama kamu kalau aku tidur di rumah Mamah. Dan kamu udah ngasih izin. Harusnya tuh aku yang tanya sama kamu… kenapa kamu di sini? Gak jadi bulan madu? Kenapa? Punya Ulfa gak nikmat? Udah mulai bosan?"
Sial! Senjata makan tuan. Seharusnya Arland tidak bertanya seperti itu jika tahu endingnya, pertanyaan dia akan dibalikkan oleh sang istri.
"Ulfa lagi datang bulan. Dan juga… gue bulan madunya besok. Bukan hari ini. Jadi, gak salah 'kan kalau gue di sini? Lagian, ini masih rumah gue." Balas Arland.
Arasha menarik sudut bibir sebelah kirinya. "Oh gitu… aku kira karena bosen sama lubang Ulfa. Secara punya dia kemarin sempat di coba sama salah satu tamu undangan kamu."