"Lo gak akan ngerti sampai lo punya anak, Raya!" emosi yang Arasha tahan seharian penuh ini akhirnya keluar juga. Bagai air laut yang dihantam hujan badai dan luruh ke daratan.
Di hadapannya, Raya merasa sangat simpati mendengar cerita sahabatnya. Tetapi, benar kata Arasha. Karena dia belum menikah dan memiliki seorang anak, alhasil dia masih sedikit menggampangkan cerita sahabatnya. Cerita yang sebenarnya menyakitkan dan cukup menyinggung hati seorang ibu.
"Jangan terlalu lo pikirin… Riel juga belum tau 'kan?" katanya.
Arasha jadi semakin geram. Dia menangkup pipi Raya, menggeram marah. "Sekarang emang Riel belum tau apa arti anak haram. Tapi nanti? Pas Riel udah gede dikit dan dia udah ngerti, bayangin gimana perasaan dia. Gimana hancurnya dia!" kesal Arasha.
Seolah belum puas, dia kembali melanjutkan. "Ih, udahlah. Lo gak bakal ngerti gimana marahnya gue tentang masalah ini. Lo sendiri aja masih jomblo dan belum ada pikiran buat nikah."
Untungnya, Raya adalah sahabat yang baik dan tulus. Karena jika tidak, mungkin Arasha dengan segala problematikanya ini sudah Raya tinggalkan. Bayangkan saja! Baru pulang kerja, Arasha menghubungi Raya sambil nangis Bombay dan mengatakan bahwa ada hal penting yang harus Arasha sampaikan.
Tidak peduli selelah apa pundaknya, sebau apa tubuhnya karena belum sempat mandi sore, Raya langsung menghampiri Arasha di tempat yang sahabatnya itu inginkan. Awalnya, Raya pikir Arasha kena kekerasan lagi oleh Arland. Raya panik tentunya. Dia bahkan sampai datang sambil membawa kotak obat.
Tetapi, saat sampai di tempat yang Arasha bilang, rupanya sahabatnya itu hanya bercerita. Memang, ceritanya terdengar sangat menyakitkan. Tapi 'kan bisa dilakukan di rumah saja! Atau paling tidak melalui telepon. Tidak harus bertemu seperti ini.
Sekali lagi, Arasha beruntung karena Raya adalah tipe sahabat yang tulus dan mau direpotkan.
"Capek-capek gue dateng buat dengerin cerita lo, nenangin lo, sampai nemenin lo momong Riel. Eh, sekarang malah lo ngatain gue jomblo. Gue tabok ya kepala lo." Raya mendengus kesal. "Lagian ya, gue jomblo juga karena cowok yang gue suka sekarang jadi suami lo, kali!" lanjut Raya.
Saat sekolah menengah atas, Raya memang sempat menyukai Arland. Arasha tau itu.
Dengan mata yang tampak jengah, Arasha membalasnya. "Kalau lo nikah sama dia, emangnya lo udah siap jadi korban kekerasan rumah tangga sama perselingkuhan?"
Raya jadi merinding sendiri. Melihat wajah sahabatnya penuh memar saja hati dia sudah sakit. Apalagi merasakannya langsung. "Gak siap sih."
"Ya udah, makannya lo harus bersyukur karena dijauhkan dari cowok kaya Arland." Arasha mendesah pasrah.
Melihat Arasha tampak lesu, Raya hanya bisa pasrah. "Oke, terus sekarang lo maunya gimana? Ngelabrak tetangga lo yang ngatain Riel anak haram?!"
Arasha menggeleng kuat. "Gak sampai ngelabrak juga."
"Terus? Lapor polisi? Ngerampok rumahnya? Ngambrukin rumahnya? Gitu mau lo?" sadis sekali ucapan Raya ini. Arasha sampai menggeleng ngeri.
"Ya gak gitu juga, Ray." Arasha menenggak minumnya rakus.
"Terus gimana? Lo mikir dulu deh maunya gimana. Nanti bilang sama gue. Terus habis itu kita jalani bareng. Mau bunuh orang kek, ngerampok kek, gue ikutan deh. Capek juga gue jadi sahabat l—akh!"
Brak!
Baru bicara tentang rasa lelah, kepala yang berdenyut nyeri ini dihantam kuat oleh bola karet.
"Riel!" Raya bersungut amarah. Dia menoleh ke arah Riel yang cengengesan sambil bermain mandi bola.
Ya, mereka bukan di club malam. Bukan juga di café atau bar. Mereka ada di tempat mandi bola. Curhat di antara kumpulan anak kecil yang tingkahnya begitu random. Ada yang menangis, pipis di celana, sampai marah-marah dan mengadu ke ibunya.
Kepala Raya seperti akan pecah saja.
"Riel, minta maaf sama Tante Raya!" seru Arasha.
Raya menggeleng pelan. Dia tidak mau Riel ada di dekatnya. Dia tidak mau berdebat dengan bocah balita itu. Berdebat dengan ibunya saja sudah mampu membuat Arasha pusing, apalagi dengan anaknya. Double kill yang ada.
"Gak usah, Sa. Mending gue pulang duluan aja deh. Sakit kepala gue soalnya. Lo tau?! Gak ada lo, kantor kacau. Anak-anak kantor pada tanya ke gue lo cuti kenapa? Gue jawab lo lagi sakit mental, eh mereka gak percaya." katanya berkeluh kesah.
Raya sudah berdiri, berjalan menuju pintu keluar arena permainan mandi bola ini diikuti oleh Arasha.
"Ya udah, lo hati-hati di jalan. Makasih udah mau nemenin gue hari ini." Arasha memeluk Raya cukup erat sebagai rasa terima kasihnya.
Raya hanya bisa mengusap punggung Arasha yang tampak sangat rapuh. "Lo yang kuat. Jalan hidup lo gak gampang soal—"
"Asa?!" suara yang tak asing untuk mereka membuat keduanya menoleh bersamaan. Seketika itu juga, raut wajah keduanya berubah kaget.
"D-dylan?!"
"Mommy?!"