Sekujur tubuh Dylan lemas mendengarnya. Ribuan alasan Dylan pikirkan dalam otaknya. Alasan kepergian Arasha. Tetapi, tak sekalipun dia pernah terpikir tentang hal ini. Tentang adiknya sendiri yang ternyata berbuat kesalahan hingga sang kekasih meninggalkannya.
Bulu kuduk Dylan sampai merinding. Matanya memerah, menahan marah dan sesak. Lidahnya kelu seolah terpotong. Dan tenggorokannya begitu tercekat.
Saking lemas dan kacau nya pikiran Dylan, dia sampai tidak bisa berkata-kata. Untuk delapan puluh detik setelahnya, Dylan hanya diam mematung memandangi perempuan yang masih dia cintai.
"Dylan?" Arasha yang melihat Dylan terdiam tidak tau harus berbuat apa. Tangannya bergetar, kukunya dia gigit karena gugup.
Masih tak ada suara atau sekedar respon dari pria itu. Dylan masih setia membisu seolah dia baru saja mengucapkan sumpah agar tidak buka mulut di depan Arasha.
Diamnya Dylan membuat Arasha bergetar takut. Dia takut Dylan nantinya akan berbuat ceroboh, menyerang Arland atau semacamnya. Dia memilih pergi untuk menyelamatkan persaudaraan mereka. Persahabatan mereka. Dia tau Arland sangat berarti bagi Dylan, begitupun sebaliknya. Jadi, Arasha tidak ingin mereka tercerai-berai hanya karenanya.
Dia pergi bukan karena dia egois. Dia pergi karena dia berkorban. Demi seseorang yang menorehkan luka untuknya dan demi seseorang yang dia cintai. Demi temannya sejak kecil dan demi kekasihnya.
"Aku ngerti kalau misalkan kamu marah sama aku. Tapi, cuman pergi satu-satunya jalan yang bisa aku pikirin saat itu. Karena semuanya terlalu rumit." Katanya.
Dylan menghela nafas panjang. Dia mencoba mengerti apa alasan Arasha meninggalkannya. Tetapi, yang namanya cinta dan ditinggalkan, tetap saja rasanya menyakitkan. "Aku… marah Sa." Kata Dylan pelan.
Arasha mengerti. Dia tidak banyak bicara. "Aku maklum kalau kamu marah sama aku karena aku pergi tanpa kabar dan menghilang gitu aja." Balasnya.
Dylan menggeleng. Bukan itu alasannya marah. Bukan karena Arasha pergi. Dan juga, bukan pada Arasha dia marah. "Aku marah ke Arland, Sa. Bukan ke kamu."
"Jangan!" Arasha berteriak tanpa sadar. Sampai-sampai, semua orang di sekitarnya ikut menoleh dan langsung bisik-bisik tetangga.
"Jangan marah ke Arland. Nanti kamu sana Arland malah berantem. Nanti hubungan kalian bisa hancur. Aku gak mau itu terjadi. Kamu sayang banget sama Arland, begitupun sebaliknya." Arasha memelankan suaranya setelah sempat membuat kehebohan.
Mendengar Arasha membela Arland, Dylan jadi cemburu. Bagaimanapun juga, Dylan masih mencintai Arasha. Meski dia tau bahwa Arasha adalah istri sah Arland.
"Kamu cinta sama dia?" Tanya Dylan.
Arasha menghela nafas panjang, menggeleng kuat. "Aku udah bilang hati aku kosong, Lan. Fokus aku cuman satu. Yaitu, membesarkan Riel." Sanggah Arasha.
"Dia harus tau kelakuannya, Sa." Ucap Dylan.
Arasha tetap pada keputusannya. "Kamu tau apa yang terjadi sama Arland. Kamu tau kenapa dia sampai melupakan malam itu. Kamu tau semuanya. Kamu lebih tau daripada aku. Dan harusnya kamu juga tau kalau misalkan kamu ngasih tau Arland tentang ini, tentang apa yang dia lupain tanpa sengaja, itu artinya kamu akan buka luka lama dia. Kamu bakal nyakitin Arland." Arasha yang terlalu panik tanpa sadar menggenggam tangan Dylan. Dia memohon pada Dylan agar tetap diam.
Di sentuh oleh Arasha adalah sesuatu yang membuat jantung Dylan tidak sehat. Dia bergetar tidak karuan, ingin langsung mendekap istri dari adiknya ini. Untungnya, Dylan langsung mengingat Arland. Dia melepas tangan Arasha secara perlahan.
Arasha menyadarinya. Tetapi, dia berusaha untuk bersikap biasa. Meski ada sedikit sakit dalam hatinya.
"Tapi ini gak adil buat kamu, Sa. Kamu ingat kejadian itu, kamu hamil di usia muda, kamu… pasti berat semua ini buat kamu, Sa. Sedangkan dia?! Dia lupa sama semua itu. Seolah Tuhan sayang sama dia dan gak mau dia merasa bersalah!" Kesal Dylan.
Ya, Arland melupakan semuanya. Hari dimana adik kesayangannya, Lea meninggal dunia, Arland yang terlalu syok mengalami amnesia lakunar. Dimana dia melupakan memori secara acak. Dan memori yang Arland lupakan adalah memori menyakitkan baginya. Termasuk apa yang terjadi padanya dan Arasha.
Arasha juua sempat merasa ini semua tidak adil untuknya. Tetapi, mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. "Walaupun aku sendiri kadang merasa gak adil, tetap aja Arland gak boleh ingat apapun tentang kecelakaan yang menewaskan adiknya. Jangan sampai kamu buat dia merasa bersalah." Ucap Arasha.
Dylan menghela nafas panjang, bersandar pada kursi. "Ini gila. Di satu sisi aku tidak mungkin bilang kalau motor yang membuat Daddy Alaric hilang kendali sampai nabrak dan menewaskan Lea adalah Arland, sedangkan di sisi lain… Arland gila itu harus ingat kalau dia nidurin kamu."