Dan disinilah Arasha berada. Di Bali, Indonesia. Tempat yang begitu indah dan terkenal dengan wisatawan asingnya. Dan dia sepertinya salah satunya. Sebagai seorang blasteran dengan rambutnya yang pirang, Arasha sejak tadi selalu diajak bicara menggunakan bahasa Inggris. Banyak orang mengira dia orang luar. Padahal, dia bahkan bisa bahasa Jawa sedikit.
Arasha tentu tidak hanya berdua dengan Arland seorang. Dia juga ditemani oleh Okta sekretaris Arland, seorang teknisi mesin pesawat, dan beberapa karyawan dengan bidang yang dibutuhkan lainnya. Tidak terkecuali dengan Mbak Dyah yang mana kebetulan ada tugas lain di sini. Dia datang ke Bali bukan untuk mendampingi Arland. Tetapi, ada urusan pekerjaan yang lainnya.
Di satu sisi, Arasha beruntung karena ada Mbak Dyah yang bisa menemani di saat Raya tentunya tidak ikut. Tetapi, di sisi lain… ah, sudahlah. Semua akan semakin rumit karena dia harus diam-diam atau istilahnya Backstreet. Belum lagi sejak di pesawat Mbak Dyah tak henti-hentinya mengoceh tentang sebuah pernikahan. Dia bertanya siapa yang menjadi suami Arasha.
Dan Arasha tetap tidak menjawabnya. Dia menjawab jujur tentang dirinya yang sudah menikah. Tetapi, dia tidak menjawab siapa yang menjadi suaminya.
Mau menjawab bagaimana kalau suaminya saja terkenal seperti setan di tempat kerja? Apalagi semua orang tau betul bahwa Arasha dan Arland bermusuhan. Musuh bebuyutan!
"Arasha Orlean, bisa fokus tidak?" Nah 'kan? Baru saja dibilang musuh bebuyutan, Arland sudah mencari gara-gara saja.
Pria itu menatap Arasha dengan mata memicing tajam.
Fokus? Fokus apa?! Arasha saja tak ada pekerjaan di sini! Dia bahkan tak seharusnya untuk ikut. Beberapa karyawan sampai ikut kebingungan saat tau Arasha ikut. Karena mereka tau betul Arasha tidak terlalu dibutuhkan di sini.
"Fokus apa ya Pak kalau boleh tau? Soalnya saya sendiri masih gak tau tugas saya apa." Katanya, sedikit membangkang. Katakanlah dia sedang mencari gara-gara. Mencari ribut dengan bosnya yang tampak sedang frustasi.
Dan benar saja. Hanya dalam waktu enam belas detik, Arasha langsung kena semprot oleh Arland. "Makannya pas briefing itu jangan gak fokus! Otak dipake! Punya 'kan?! Saya sejak awal sudah ngasih tau kamu apa yang harus kamu lakuin di sini. Apa saja tugas kamu. Jadi, gak ada alasan kamu belum tau tugas kamu apa! Udahlah, pergi kamu dari sini. Balik ke hotel, bikim darah tinggi aja!" Semprot Arland sambil mengusir Arasha.
Yang di usir justru kesenangan. "Pak Arland ngusir saya ceritanya? Ya sudah kalau begitu. Dengan segala hormat, saya menurut. Saya pergi dulu Pak!" Arasha melambaikan tangannya, menjauh dari sana.
Semua orang memandangnya aneh. Mereka bertanya-tanya dan merasa Arasha telah bersikap kurang ajar. Padahal, Arland lah yang sebenarnya kurang ajar.
***
***
Baru lima menit Arasha berbaring di atas ranjang hotel, sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Pesan dari seseorang yang sangat spesial sampai Arasha mengistimewakan nada deringnya.
Baru mendengar nada dering yang berbeda itu saja wajah Arasha langsung kusut. Dengan sangat terpaksa dan berat, dia meraih ponselnya dan mulai membaca pesan tersebut.
ArsiaLand : Gue pengen karedok.
Arasha menarik nafas panjang, menghembuskannya tak kalah panjang juga. Mungkim saking panjangnya bisa sepanjang kasih ibu kepada beta.
"Suami siapa sih dia?! Ke Bali nyari karedok. Goblok, pura-pura goblok, atau gimana sih?!" Arasha mendengus kesal. Saking kesalnya, dia bahkan enggan untuk menjawab pesan dari Arland. Yang mana berakibat cukup fatal.
Arland mengirimkan puluhan pesan pada Arasha.
ArsiaLand : p!
ArsiaLand : jawab!
ArsiaLand : karedok!
Dan seterusnya.
Arasha sampai stres hanya karena pesan sialan itu. Sudah begitu pesannya banyak sekali seperti hendak meneror dirinya.
Dengan terpaksa dan jari yang memberat, Arasha menjawabnya.
Asa : IYA BAWEL! GUE CARIIN KAREDOK SEKARANG!
Hanya satu pesan. Tetapi, dijawab tiga pesan oleh Arland.
ArsiaLand : ok.
ArsiaLand : waktu lo tiga puluh menit. Karena ini gue udah dalam perjalanan ke hotel.
ArsiaLand : kalau di kamar gue gak ada karedok pas gue sampai, lo harus siap-siap jadi nyonya Arland di depan semua karyawan.
Arasha bergidik ngeri membaca pesan yang terakhir. "Nyonya Arland? Hih… geli."ujarnya merinding.
Sadar tak memiliki waktu banyak, Arasha segera meraih mantelnya dan keluar dari kamar.
Sayangnya, cobaan Arasha sepertinya tak berhenti di karedok. Karena sekarang, ada Mbak Dyah yang tiba-tiba menghadang. "Sa, mau kemana?"
"Hah! Asa mau… beli karedok." Jawab Arasha jujur.
"Karedok? Di Bali? Emang ada?"
"Ada Mbak. Tadi Asa sempat cari-cari di google." Jawabnya lagi.
Mbak Dyah mendekat, menatap Arasha penuh curiga. Manik mata Mbak Dyah tak hanya pada wajah Arasha. Tetapi juga mengarah pada perut Arasha.
"Lagi ngisi ya?" Mbak Dyah menggoda Arasha. Mengira bahwa Arasha sedang hamil.
Mendengar itu, Arasha kebingungan. "Ngisi? Ngisi apa Mbak?"
Mbak Dyah berdecak, memperagakan perutnya sendiri. "Bunting Sa… iya 'kan? Lagi bunting terus ngidam karedok? Jujur aja udah…"
Arasha ternganga tak percaya. "Hah?!"