"My brother from another parents!" Dua minggu belum berlalu. Ini baru tiga hari setelah Dylan bertemu dengan Arasha. Dan Arland yang katanya sedang bulan madu di Amalfi Coast, tiba-tiba datang ke apartemen Dylan. Dia duduk dengan kurang ajarnya di atas sofa.
Pandangan Dylan pada Arland berubah semenjak hari itu. Semenjak dia tau semua yang Arasha alami. Tetapi, Dylan tidak bisa menyalahkan Arland. Karena Arland kehilangan ingatannya. Arland juga tersiksa di satu sisi. Jadi, yang bisa Dylan lakukan hanyalah berusaha untuk biasa saja.
"Beberapa hari gak nongol kemana aja lo?" Dylan datang dengan sebuah mainan action figure iron man keluaran terbaru.
Dan Arland melihatnya. Arland sebagai pecinta iron man tentu matanya menghijau melihat itu. Apalagi saat dia tau kalau yang Dylan pegang adalah edisi terbatas.
"Lan, itu buat gue ya? Ya ampun Abang tercinta gue… makas—" baru Arland ingin merebutnya, Dylan langsung berbalik badan menghindari adik beda orang tua ini.
"—Enak aja! Bukan buat lo!" Ketus Dylan.
Arland berdecih kesal. "Lo 'kan gak suka iron man. Lo sukanya kapten Amerika tuh. Sini ah, mending iron man nya buat gue aja. Lo tau gue pecinta iron man garis keras." Katanya sedikit memaksa.
Berbicara tentang iron man, Dylan jadi ingat dengan Azriel. Dimana bocah empat tahun itu langsung menurut saat disogok hal ini. "Bapak sama anak gak ada bedanya." Gumam Dylan tanpa sadar.
Telinga Arland yang masih sehat dan terpasang tentu mendengarnya. "Maksud lo?"
"Hm? Gue ngomong apa emangnya?"
"Bapak sama anak gak ada bedanya. Gitu." Arland meniru Dylan.
Untungnya, Dylan buka tipe orang yang gampang panik. Sifatnya yang selama ini begitu tenang bagai danau tanpa ombak membuatnya tidak perlu kesulitan membuat alasan.
"Yang kumaksud adalah Daddy Alaric. Bukankah dia juga menyukai iron man?"
Arland menggeleng. Karena dia tau ayahnya tak suka iron man. "Enggak. Daddy gak suka Iron Man. Dia sukanya mukulin gue."
"Ye… itu sih lo aja yang terlalu perasa." Dylan menimpuk wajah adik beda orang tuanya ini menggunakan bantal sofa.
Bukannya marah, Arland justru tertawa terbahak-bahak. "Eh, by the way… jangan bilang siapapun kalau gue di sini."
"Kenapa?" Dylan duduk di samping Arland, sibuk dengan ponselnya.
"Gue ngomong ke Mami sama Daddy mau bulan madu sama Asa. Padahal 'kan gue cuman mau jalan-jalan dan having sex sama Ulfa." Ujarnya santai.
Dylan melirik adiknya, mendengus. "Lo udah punya Asa, masih kurang?"
"Kurang lah. Dia gak ngasih gue nafkah batin. Lagian juga… gue gak nafsu. Harusnya tuh dia sama lo. Ambil sana Lan." Ucap Arland dengan entengnya.
Dylan tentu tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang serius. Dia menepuk pundak Arland, menasehati nya. "Gue udah ikhlas lahir batin sama semua ini. Gue emang belum bisa lupain Asa. Tapi, gue udah ikhlasin dia buat lo. Jadi, jaga dia baik-baik."
Dylan memang tidak tau menahu tentang Arland yang pernah melakukan tindak kekerasan pada Arasha. Jika sampai Dylan tahu, bisa mati Arland diajak bertengkar.
"Lo emang udah ikhlas, Lan. Tapi gue enggak bisa. Gue gak akan ikhlas sampai gue tau apa alasan Asa ninggalin lo gitu aja tanpa kejelasan sedikitpun. Gue nebak nya dia selingkuh. Dan gue baru akan puas sampai bisa nemuin selingkuhannya dan minimal bikin selingkuhannya tersiksa. Brengsek emang." Arland yang keras kepala tentu tidak akan melepaskan Arasha begitu saja. Apalagi menerimanya.
Helaan nafas berat terdengar dari Dylan. Dari si pemilik manik coklatnya itu. "Kalau misalkan gue udah tau alasan Asa ninggalin gue, lo bakal gimana?"
Tanpa berpikir panjang, Arland menjawabnya. "Tergantung apa alasannya. Kalau alasan dia ternyata gak masuk akal dan brengsek gak karuan, ya gue bakal balas dendam dan buat dia tersiksa lah. Tapi kalau alasan dia masih bisa masuk logika gue… mungkin gue bisa ceraikan dia dan suruh dia nikahin lo."
"Emangnya lo tau alasan Asa ninggalin lo kenapa?" Arland bertanya balik.