"Arasha Orlean mana?!" Teriakan Arland menggema ke hampir setengah lantai tempat Arasha bekerja.
Para karyawan yang ada di sana sampai menciut ketakutan karena teriakan Arland.
Seketika, mereka berdoa secara kompak. Mengharapkan kedatangan Arasha sebelum meja neraka diacak-acak oleh bos gilanya.
"Arasha Orlean?! Mana sih tu bocah?!" Merasa masih tak melihat Arasha, Arland kembali berteriak.
Mbak Dyah yang kebetulan ada di sana mencoba menghubungi Arasha. Sayangnya, Arasha tak menjawab. "Dimana sih tu bocah!" Ucapnya panik.
Kesal dan tak sabaran, mata Arland memicing. "Gak ada yang mau jawab dimana Arasha Orlean?! Gak ada satupun dari kalian yang mau jawab dimana dia?!" Bentaknya.
Hening. Tak ada satupun yang berani menjawab. Semuanya tak memiliki keberanian untuk mengucapkan barang sepatah katapun.
Hanya suara ketukan heels seseorang yang mereka harapkan milik Arasha, yang terdengar.
Ketukan heels tersebut lama kelamaan semakin kencang. Hingga akhirnya, si pemiliknya mulai menampakkan diri. Pada detik itu juga Mbak Dyah berdiri dan menghampirinya.
"Pak Arland tanya dengan Raya saja. Dia sahabat Arasha. Pasti Raya tau. Ya 'kan Raya?" Mata Mbak Dyah menyiratkan sebuah permintaan tolong yang sangat jelas. Sedangkan Raya yang tiba-tiba di lempar ke kandang Arland hanya terdiam mematung dengan wajah bodoh.
"Kenapa jadi gue ya?" Gumam dia.
"Dimana Asa, Ray?!" Sentak Arland, bertanya pada Raya.
Raya menghembuskan nafas, takut namun berusaha untuk berani. Lagipula Arland pernah berteman dengannya. Dulu Arland baik dan manis. Tidak mungkin 'kan Arland akan bersikap jahat padanya?
"Asa ada di dapur, Pak Arland. Dia buat kopi karena katanya semalam lembur. Kata dia sih suaminya tadi malem banyak mau sampai bikin dia lembur." Katanya keceplosan. Tidak seharusnya Raua mengatakan hal seperti suami. Karena tak ada yang tau kalau Arasha sudah menikah.
Ya, setidaknya sampai beberapa detik yang lalu. Karena sekarang, lebih dari dua puluh karyawan di sana sudah tau kalau Arasha diam-diam sudah jadi istri orang.
"Cari dia, suruh ke ruangan saya. Oh iya, jangan lupa, lima menit lagi saya mau dia udah sampai di ruangan saya. Karena kalau dia telat sedetikpun, siap-siap kamu yang potong gaji." Ancam Arland.
Raya menelan ludahnya kasar, mengangguk cepat. "B-baik Pak. Kalau begitu saya… lari dulu!" Setelah mengatakan hal itu, Raya melepaskan heels nya dan mulai berlari kesetanan mencari Arasha.
Sedangkan orang-orang di sana bertanya-tanya tentang ucapan Raya.
"Arasha udah nikah? Sejak kapan?"
***
***
Brak!
"Masih ada empat detik lagi! Yang artinya gaji Raya aman!" Arasha sampai di ruangan Arland tepat waktu. Meski harus terengah-engah dan sedikit kesakitan karena mengenakan heels yang cukup tinggi, Arasha tetap berusaha untuk tegak dan profesional. Karena bagaimanapun juga, dia sedang menghadap atasannya.
"Duduk!" Arland tidak mengapresiasi sedikitpun usaha Arasha untuk bisa berada di sini tepat waktu. Padahal, dia berlari kesetanan dan berebut lift.
Untungnya, Arland masih waras sampai menyuruhnya untuk duduk.
Arasha duduk di kursi hadapan Arland sehingga keduanya hanya dibatasi oleh meja kerja Arland yang super jumbo.
"Jadi, ada keperluan apa Pak Arland memanggil saya ke sini?" Arasha memaksakan senyumnya sendiri. Dia berusaha untuk terlihat ramah seolah sebelumnya tidak marah. Padahal, sepanjang jalan yang dia lakukan hanya menyumpahi Arland. Pria yang mana berstatus double dalam hidupnya. Sebagai suami dan atasan.
"Lusa kita ke Bali." Katanya santai.
Arasha mengerjapkan mata, heran. "Dalam rangka apa ya Pak?"
"Kerjaan lah, apalagi." Jawab Arland ketus.
Arasha mencebikkan bibirnya, kesal. "Ya maksud saya dalam rangka apa? Perasaan gak ada jadwal buat perjalanan dinas ke Bali."
"Salah satu pesawat kita di sana mengalami masalah di bagian mesin. Saya mau mengeceknya langsung. Jadi, kamu ikut dengan saya!" Seru Arland mode serius.
Arland dalam mode apapun tampaknya sangat menjengkelkan. Mode suami membuat Arasha ingin membunuhnya, sedangkan mode bos membuat Arasha ingin mencekiknya.
Hanya mode masa lalu yang waras dalam diri Arland.
"Kenapa saya ikut dengan Pak Arland? Saya bukan bagian mesin. Saya juga gak ada urusan apapun di sana." Arasha tetap berusaha tersenyum.
Kesal karena Arasha menolaknya, Arland berubah kerasukan. "Apa susahnya sih tinggal ngeiyain?"
"Susah. Kerjaan saya banyak banget. Kalau ke sana untuk hal gak berguna, saya gak mau."
Emosi Arland tersulut mendengarnya. "Lo ke Bali sebagai istri gue, bukan sebagai HR gue. Ngerti?! Kalau lo gak ikut, yang mau ngurusin gue di sana siapa hah?! Beliin makan, ngurus pakaian kotor dan semacamnya?!" Kesalnya.
Arasha merasa tertohok. "Jadi aku di sana cuman karena kamu butuh babu?!"
"Bukan babu, bini!"
"Halah, gak percaya!"
"Bini, Sa! Gue lagi gak mau cari masalah dulu karena masalah satu ini aja runyam banget." Arland masih mencoba meyakinkan Arasha.
"Awas ya kalau macem-macem atau aneh-aneh." Mata Arasha memicing curiga.
Arland menghela nafas panjang, mengurut kepalanya. "Iya ah! Tinggal nurut repot banget lo, gue aduin ke Mami tau rasa."
"Gue aduin balik lah kalau anaknya selingkuh."
"Kurang ajar lo, udah berani ngancem ya?!"