Chereads / Destroyed By A Billionaire / Chapter 18 - 18. Apa Alasan Lo Milih Gue?

Chapter 18 - 18. Apa Alasan Lo Milih Gue?

18.

Ting!

Lift telah berdenting. Gadis cantik dengan rambut pirangnya yang terlihat cantik dalam balutan dress formal nya keluar dari dalam lift bersama dengan sahabatnya.

Mereka berjalan bersama, berpisah di sebuah pertigaan dekat sana. Jika Arasha berbelok ke arah kanan, maka Raya sebaliknya. Dia berbelok ke arah kiri untuk pergi mengurus sesuatu dengan salah seorang rekan kerjanya.

Baru saja masuk ke dalam ruangannya, Arasha dikejutkan dengan sebuah dokumen yang ada di atas mejanya. Dia duduk, meraih dokumen tersebut.

"Oh… ini CV nya calon sekretaris barunya Arland…" gumam Arasha tanpa sadar.

Jemari lentik yang polos tanpa polesan cat kuku mulai membuka dokumen tersebut. Pada halaman pertama, terdapat sebuah foto disertai data diri. Dan tepat sewaktu retina matanya menangkap foto tersebut, Arasha terkejut bukan main.

"What the f—" umpatannya terhenti di ujung lidah. Dia mengucek matanya, memastikan apa yang tengah dirinya lihat.

"Oktaviona?!" Sentak Arasha, tidak menyangka bahwa seseorang yang akan menjadi sekretaris dari suaminya adalah perempuan yang dia kenal baik. Temannya sewaktu kuliah dulu.

Mereka tidak berteman dekat. Hanya saling mengenal dan bisa dibilang berteman baik.

Satu hal yang membuat Arasha bukan karena Okta akan menjadi sekretaris suaminya. Tetapi, fakta bahwa Okta adalah perempuan murahan. Seseorang yang Arland temui di club malam.

"Wah… gila, gila. Hidup gue gila parah!" Teriaknya seraya menjambak rambutnya sendiri.

Dia terus mengamati data diri di depannya, mencoba untuk berpikir positif bahwa Arland berbohong. Ya, dia masih berharap pandangannya terhadap Okta tidak seburuk itu.

Kegilaannya bertambah parah sewaktu dia menyadari bahwa hari ini dirinya akan berhadapan langsung dengan Okta untuk mewawancarainya. Hanya sekedar formalitas saja mengingat sudah pasti Okta akan lulus seleksi dan mendapat pekerjaan ini.

Di tengah sakit kepalanya yang meradang, ketukan pintu terdengar. Dia melirik ke arah pintu, menutup dokumen di tangannya. "Masuk!" Sahut Arasha.

Pintu terbuka. Mbah Dyah yang rupanya pelaku dari ketukan pintu tersebut masuk dan duduk tepat di kursi depan Arasha.

"Sa… Mbak Dyah pengen curhat, Sa." Kata Mbak Dyah.

Arasha langsung bereaksi menjadi layaknya seorang profesional. Dia melepaskan blazer nya, meletakkan kedua tangannya di atas meja dan bersiap untuk mendengarkan keluh kesah Mbak Dyah.

"Iya, Mbak. Silahkan." Kata Arasha.

Mbak Dyah menatap ke kanan dan ke kiri, seolah memastikan bahwa tidak ada siapapun yang melihat. Setelahnya, barulah Mbak Dyah berbisik manja pada Arasha.

"Mbak mau mengeluh tentang pekerjaan Mbak yang akhir-akhir ini kayaknya gak ada selesainya, Sa. Bahkan, pekerjaan yang gak harusnya Mbak tangani tiba-tiba ada di meja Mbak. Kamu tahu Mbak Tania 'kan? Dia agak pemalas, Sa… mentang-mentang pernah jadi pacarnya Pak Arland, dia jadi sesuka hati ngoper kerjaan ke Mbak. Udah pernah Mbak tegur, tapi… ya gitu. Alasannya di panggil Pak Arland." Keluh Mbak Dyah.

Arasha terdiam, jengah. Bahkan, di saat bekerja sekalipun dia harus mendengar nama Arland?! Kenapa kehidupannya jadi penuh dengan Arland dan Arland?!

Memaksakan senyumnya, gadis cantik berambut pirang itu membalas dengan segera. "Jadi, masalahnya sama Mbak Tania ya? Nanti Asa coba buat tegur Mbak Tania ya?"

Mbak Dyah tampak menggeleng. "Bukan, Sa. Masalahnya sama Pak Arland. Dia biarin Tania manja. Bahkan, pernah waktu itu Mbak negur Mbak Tania. Tetapi, Mbak Tania ngadu sama Pak Arland… dan Pak Arland negur Mbak Dyah, Sa. Bisa gak sih bantuin biar Pak Arland dilengserkan?! Ganti siapa kek yang lebih becus." Kesal Mbak Dyah.

Arasha tercekat, tidak menyangka. Dia melipat bibirnya ke dalam, tanpa sadar berujar. "Sama, Mbak. Asa juga berharap banget Pak Arland dilengserkan. Pengen nge ruqyah Pak Arland juga." Gumamnya.

Mbak Dyah tentu tertawa kecil. Dia tahu betapa bencinya Arasha pada bosnya satu itu. Tetapi, dia tidak menyangka bahwa kebencian Arasha sudah sampai di tahap ini. "Kamu benci banget ya sama Pak Arland, Sa?"

"Eh?" Arasha tidak sadar dengan apa yang diucapkannya. Alhasil, dia terkejut.

"Hati-hati loh, Sa… kalau terlalu benci biasanya nanti jodoh." Goda Mbak Dyah.

Arasha tersedak angin. Dia terbatuk, merasa tercekat. "Hah?! Jodoh?! Hahaha! Gak mungkin… gak mung—"

Ceklek!

Ucapan Arasha menggantung sewaktu pintu terbuka secara tiba-tiba. Baik Arasha maupun Mbak Dyah secara otomatis mengalihkan pandangan mereka bersamaan ke arah pintu.

"Arasha Orlean." Seseorang yang hari ini Arasha hindari sejak pagi, ada di ambang pintu ruangannya. Sedang menatap Arasha dengan manik tajam menggelap nya.

"Iya Pak Arland, ada apa?" Tanya Arasha.

Arland, pria yang menemui Arasha. Dia yang semula berniat untuk tidak berangkat kerja pada akhirnya memutuskan datang ke kantor meski dalam keadaan masih sedikit mabuk.

Bahkan, jalannya pun sempoyongan. Dan hal ini dia lakukan tidak jauh-jauh untuk membuat istrinya geram. "Okta sudah datang?" Tanya Arland.

Dyah yang menyadari posisinya segera undur diri dan keluar dari sana, meninggalkan Arasha dan Arland berdua.

Arland mendekat, duduk di dekat Arasha. "Belum, Pak. Okta belum datang. Ada apa ya Pak?"

"Hubungi dia. Suruh dia datang sekarang karena saya membutuhkannya." Kata Arland.

Arasha memutar bola matanya malas. "Pak, saya tidak bisa seenaknya. Janji temu dengan Okta masih tiga jam lagi.

"Katakan saya membutuhkannya! Cukup bilang kalau saya ingin tidur dengannya. Dia pasti akan datang." Arland mendekati Arasha, menaikkan dagu istrinya hingga mendongak.

Dua memajukan wajahnya, hingga hanya menyisakan jarak yang tipis. "Jangan bantah gue dan jangan bikin gue marah kalau lo gak mau gue kurung di kamar lagi, Asa." Desis Arland.

Arasha lagi-lagi hanya bisa pasrah. Dia melangkah mundur, sedikit menghindari Arland. "Perlu aku pesenin kamar hotel sekalian?" Sarkas Arasha.

Arland tertawa puas mendengar itu. Dia menyandarkan belakang tubuhnya di meja Arasha, melipat kedua tangannya di depan dada. "Gak usah. Gue mau main sama dia di kantor. Biar lebih terasa sensasinya." Jawab Arland.

Kedua tangan Arasha tengah sibuk dengan ponselnya, mencoba menghubungi Okta. Setelah mengirim pesan dari Okta dan mendapat balasan bahwa Okta akan datang dalam beberapa menit, Arasha beralih kembali pada sang suami. "Lima belas menit lagi dia dateng." Katanya.

Arland merasa semakin puas. Akan tetapi, dia masih merasa ada yang kurang. Tentang mengapa Arasha tidak marah, justru mendukungnya. "Lo gak marah?"

"Hm? Marah kenapa?"

"Karena gue tidur sama cewek lain. Bahkan, sama calon sekretaris gue sendiri."

Arasha jadi tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Arland. Dia menggeleng singkat, menjawab. "Enggak. Ngapain aku marah? Itu urusan kamu, bukan urusan aku. Lagian, kalau misalkan kamu mikir kalau aku milih kamu karena aku cinta sama kamu… kamu salah besar. Dan kalau kamu mikir kalau aku bakal cemburu atas apa yang kamu lakuin, kamu juga salah besar. Aku gak akan semudah itu untuk mundur, Arland."

Arland jadi penasaran dengan apa alasan Arasha memilihnya. Entahlah, dia masih belum bisa menerkanya sedikitpun. "Terus, alasan lo milih gue apa?"