Chereads / Pelangi dihidup Bara / Chapter 19 - Bara Moreno

Chapter 19 - Bara Moreno

Pria tampan berdarah Jerman dan memiliki tubuh yang atletis membuat para wanita terpesona, memiliki uang dan kekuasaan mampu untuk mengubah dunia, dengan wawasan yang luas, dia mampu menciptakan situs web digital berskala internasional. Tentunya itu tak luput dari kerja kerasnya selama ini. Bara Moreno, pria berusia 28 tahun memiliki perusahaan besar yang dirinya mulai dari bawah, kini sudah berkembang begitu pesat. Dengan teknologi yang sedang berkembang saat ini, tentu Bara tidak menyia-nyiakan kesempatan dan kepintaran yang tuhan berikan untuknya, Bara Moreno merupakan CEO sekaligus pendiri Rashable, blog populer yang sedang berkembang menjadi situs berita teknologi berskala internasional.

Beberapa tahun silam, seorang anak laki-laki tengah sibuk dengan bukunya, membacanya hingga tidak melihat sekitar. Sikapnya yang terlalu tidak memperdulikan hal di sekitar membuat dirinya di jauhi anak-anak seusianya. Padahal, anak lelaki itu hanya sedang menikmati dunianya sendiri, dunia yang sedikit berbeda dengan anak seumurannya. Dia adalah Bara, anak lelaki yang memiliki segudang prestasi, meski usianya masih begitu kecil, hal itu lantas membuat banyak temannya iri, sehingga hanya bukulah yang selalu menjadi teman dekat dan terbaiknya. Hingga suatu saat Bara mulai tertarik dengan dunia digital, sebuah teknologi yang bisa di kembangkan, dari situ Bara semakin mencintai bacaan, mencari tahu berbagai pengetahuan tentang teknologi digital.

Saat usia Bara menginjak 16 tahun, dirinya harus pindah ke kota ini, saat itu dia hanya bisa menerima keputusan orang tuanya, bukan ingin menolak, hanya untuk apa dia melakukan itu. Karena itu akan membuat orang tuanya kecewa. Kota kelahirannya juga tidak akan bersedih jika dia pergi, apalagi teman yang Bara tidak miliki. Hanya karena mereka menganggap Bara lelaki yang aneh, hanya berteman pada buku dengan kaca mata yang selalu ia kenakan, membuatnya terlihat semakin aneh.

Sore itu Bara berniat membeli cemilan untuk perjalanannya, seperti biasa dia selalu mengandalkan kaki untuk dirinya berpijak, meski sang ayah telah membelikan kendaraan beroda dua untuk dirinya. Namun, sepertinya Bara lebih menikmati perjalanannya dengan berjalan santai, melihat sekitar yang di penuhi dengan berbagai drama maupun aktifitas pejalan kaki lainnya. Selain itu, Bara tidak harus menikmati kemacetan yang di sertai dengan polusi udara yang di keluarkan oleh knalpot kendaraan yang melintas.

Bara membawa sebuah camera, mengabadikan beberapa aktifitas orang-orang yang ia lihat. Lampu merah dengan kendaraan yang disiplin berbaris, menunggu rambu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. Pengamen jalanan dengan alat musiknya yang sederhana, sudah di pastikan bahwa itu buatan tangannya sendiri, sebuah kreatifitas yang berbuah penghasilan dengan kayu yang di kaitkan dengan beberapa tutup botol agar menciptakan suatu bunyi.

Tepat pukul 14.25 wib, Bara melihat arlogi di tangannya, "Masih ada waktu," ucapnya dengan senyum memikirkan hal yang menarik sebelum dirinya pergi meninggalkan kota kelahirannya itu. Kakinya terus melangkah, menyusuri jalanan yang di penuhi dengan kendaraan yang melintas di jalan raya, sementara Bara berjalan di tepi jalan. Terdapat beberapa bangku yang di design begitu indah, dengan pot batu berisi bunga yang terlihat tengah mekaar, tak lupa juga di berikan cat berwarna, menambah keindahan kota ini. Ada beberapa pepohonan yang rindang, dan setiap paginya pasti ada petugas yang bekerja untuk membersihkan jalanan kota.

Bara duduk di salah satu kursi, sekedar untuk mengikat tali sepatunya yang terlepas, mengganggu aktifitas perjalanan Bara, matanya liar sejenak untuk menikmati suasa kota itu, namun matanya terperanjat saat melihat sosok anak kecil tengah terjatuh di seberang jalan, Bara melihat sekeliling, apakah gadis kecil itu ada yang menjaganya, ibu atau ayahnya dan bahkan pengasuhnya? lantas  Bara tidak menemukan siapa-siapa di dekat gadis kecil itu, terlihat dari kejauhan anak itu tengah menangis sambil memegangi kakinya.

Kemudain Bara berinisiatif untuk membantunya, iapun bangkit dari tempatnya. Melihat jalan ke kanan dan ke kiri, untuk melihat kendaraan yang masih berlalu lalang. Namun sebuah rambu lalu lintas berubah warna menjadi merah, para pengendarapun menghentikan lajunya, membuat Bara agar bisa melewati para pengendara. Akhirnya Bara berhasil menyebrangi jalan itu "Adek, sini kakak bantu ngobati lukanya?" ucap Bara menawarkan bantuan, namun gadis kecil itu takut akan sosok lelaki asing yang berbicara padanya. gadis kecil itu masih betah duduk di jalan dengan kedua kaki yang ia peluk, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya terlihat jika ia menolak tawaran Bara. Namun, darah segar kini terlihat mengalir dari lututnya, di tambah dengan butiran pasir yang menempel pada luka dan sebagian kakinya. Lalu tidak menutup kemungkinan bahwa debu kendaraan yang melintas juga akan menempel pada lukanya,

"Nanti luka kamu bisa infeksi loh," ucap Bara kembali, tak ingin jika anak sekecil itu menyepelekan lukanya. Namun, sepertinya gadis kecil itu masih ketakutan akan sosoknya, Bara kemudian berjongkok, mendekati gadis kecil itu agar bisa berkomunikasi dengan baik dan memberi pengertian padanya.

"Tenang aja, kakak bukan orang jahat kok, jadi kamu jangan takut ya?" mungkin ucapan Bara kali ini bisa di pahami gadis kecil yang masih meringis kesakitan akan rasa perih pada lukanya.

"Gak kasihan apa sama kakinya, berdarah gitu? Pasti sakit bangetkan?" ucap Bara bertanya, memastikan agar gadis kecil itu mau menerima bantuan darinya.

"Kakak beneran orang baik? Gak akan nyakitin aku kayak tante kan?" ucapnya, yang membuat Bara tersentak akan penuturan ucapan gadis kecil itu.

"Tentu aja kakak orang baik, buktinya kakak ingin membantu kamu," ucapan Bara memberikan respon baik, membuat anak kecil itu menoleh kearahnya, memberikan senyuman manis yang terlihat begitu polosnya.

"Mau kakak gendong? Kita ke mini market dekat situ aja," ucap Bara menawarkan bantuan lalu tangannya menunjuk pada sebuah mini market yang berada tidak jauh dari tempat mereka. "Kalau ke apotik, bakalan jauh," lanjutnya berucap.

"Iya, aku mau kak," suara khas anak kecil membuat teduh hati Bara di tambah senyum cerianya yang berusaha mengabaikan luka pada lututnya. Bara kemudian mengangkat anak kecil itu, menggendongnya hingga ke mini market, beruntung semua yang mereka butuhkan tersedia di mini market itu.

"Kamu mau apa? kakak traktir deh, ambil aja apa yang kamu inginkan," ucap Bara menawarkan, senyumnya mengembang melihat anak kecil itu sibuk mengajaknya untuk berpindah rak.

"Apa aku boleh membeli gelang ini kak?" tanyanya dan tentu saja Bara mengiyakannya, lalu tangan Bara mengambil sebuah mainan berupa bongkar pasang. Mainan yang biasa di sukai anak kecil seumurannya. Selesai Bara membayar di kasir, mereka lantas mencari tempat untuk membersihkan luka anak kecil itu.

"Ssstt.., au, au..," ringis anak kecil itu

"Tahan ya, bentar lagi juga siap kok," ucap Bara sambil menium luka anak kecil itu, "Nama kamu siapa?" lanjut Bara bertanya.

"Pelangi," jawabnya

***

"Pa, ku mohon sadarlah," lirih Raino berbicara pada Aditya, namun sepertinya pria itu masih betah dalam tidurnya. Tubuh kelar dan penuh wibawa yang dahulu begitu di idamkan para wanita. Kini bagai bunga yang telah layu, bukan pula Aditya gugur seperti kelopak bunga mawar. 

"Pa, sampai kapan aku harus menunggumu, aku ingin mendengarkan suaramu? tak apa jika kau marah padaku, tapi ku mohon sadarlah pa, izinkan aku merasakan menjadi seorang anak," Raino sudah tak mampu lagi membendung air matanya, kini buliran bening yang sempat terbendung itu telah tumpah, kemudian jemari tangannya menyeka buliran bening itu, tak ingin jika Aditya melihatnya menangis.

"Andai papa tau, saat ini oma sama seperti papa, hanya mampu berbaring di ranjang kecil milik rumah sakit, lalu untuk apa Raino di sini? melihat kalian seolah menghindariku, apa kalian gak menganggap aku ada? atau kalian hanya ingin menyiksaku, hah?" lalu, sejenak Raino terdiam, berusaha menahan tangisnya, di pandanginya wajah sendu lelaki yang paling ia sayangi. Walau sejujurnya ada rasa kecewa yang menyelimuti hatinya, bukan karena Aditya memiliki kesalahan padanya, tapi karena kesadaran Aditnya begitu ia harapkan.

"Pa, berjanjilah untuk segera sadar, karna aku sangat menantikan hari itu tiba, kau dapat membalas pelukanku, bahkan kau bisa menjadi teman terbaikku, berjanjilah padaku," Raino mengangat tangan Aditya, mengaitkan kelingling Aditya dengannya.

"Lihatlah pa, kita sudah membuat perjanjiannya, jadi aku sangat menunggu kau menepati janji," ucap Raino dengan senyum yang ia paksakan, kemudian Raino mengusap air mata yang membasahi pipinya.

"Hari ini jadwalku begitu padat pa, harus ke sekolah, trus  ke rumah sakit menjenguk oma, belum lagi aku harus ke kantor, huh.., apa papa tidak kasihan padaku? seharusnya masa remajaku dapat aku nikmati, tapi..," Raino terpaksa menghentikan ucapannya, karena dia merasakan sesuatu tengah bergetar dari dalam sakunya. Merasa geli akan hal itu Raino langsung mengambil benda pipihnya dari dalam saku celananya, "Anggi." ucapnya saat melihat nama kontak pada layar minimalis itu.

"Ya hallo Gi," ucapnya setelah mengusap ke atas layar ponselnya

"Apa kamu bisa ke rumahku?" jawab Pelangi dari seberang telepon, sedangkan dalam pikiran Raino sibuk bertanya-tanya.

"Apa aku harus menjawabnya? padahal kamu sudah tau jawabannya," sahut Raino membuat Pelangi tersenyum, walau Raino tidak melihatnya.

"Okey, aku tunggu ya," 

Raino lantas kembali mendekati ranjang sang ayah, berpamitan pada lelaki yang tentu tidak bisa melihatnya. Namun, hal inilah yang selalu Raino lakukan saat akan pergi keluar rumah.

"Aku pergi dulu ya pa? papa baik-baik di rumah ya," pamitnya, kemudian mengecup punggung tangan Aditya.

***

Di sebuah bangunan serba putih di penuhi dengan bunga di pinggiran tembok pemisah, banyak kendaraan beroda empat maupun beroda dua tengah berjajaran, berbaris rapi, seperti tengah mengantri saja. Di tengah bangunan, terlihat ada taman yang begitu luas, dengan rumput indah yang di tata sedemikian rupa, terlihat pula pepohonan yang menjulang tinggi, dengan ranting dan dedaunan yang menciptakan teduh. Desiran angin membuat dedaunan bergoyang berirama, di tambah dengan daun yang jatuh berguguran. Bangku taman yang tersedia, membuat para penghuni mampu merasakan kesejukan, udara yang segar dan jauh dari polusi.

Banyak penghuni yang bersorak, bahkan sesekali berteriak, ada juga yang mengamuk dan terdiam. Lalu gelak tawa terdengar nyaring di lorong. Suara nyanyian terdengar syahdu dengan tangan mendekap sebuah boneka, lalu mengayunkannya ke kanan dan ke kiri. Sesekali wanita itu tertawa, seolah tengah bermain dengan bonekanya.

"Sayang anak mama, eh.., anak mama kok nangis," ucapnya lalu tiba-tina iapun ikut bersedih, seolah merasakan kesedihan boneka yang tengah di gendongnya.

"Cup cup cup cup, anak mama gak boleh cengeng, harus kuat, biar bisa ketemu papa," wanita itu berusaha menghibur bonekanya,

"Papa sebentar lagi pulang sayang, sama adik kamu, kamu jangan nangis ya, nanti mama ikutan nangis," ucapnya kemudian kembali bersedih, sambil terus menghibur boneka yanh ia yakini sebagai anaknya.

"Enggak, gak..," teriaknya sambil membuang boneka itu

"Kau pembunuh, kau pembunuh suamiku, gak..., siapapun tolong aku.., jauhkan dia dariku," teriaknya begitu histeris sambil terduduk mundur, mengesot dengan kaki yang terseret mundur.

Datanglah beberapa wanita dengan berseragam serba putih dengan rambut yang di ikat dengan begitu rapi, tak ada sehelai rambutpun yang di biarkan keluar bahkan sang pemilik rambut tak akan berani mengizinkannya untuk berserakan, menjuntai keluar dari ikatannya jika dalam lingkungan rumah sakit, rumah sakit yang khusus di penuhi dengan pasien gangguan kejiwaan.

"Bu, ibu yang tenang ya?" ucap salah satu perawat, mencoba menenangkan Aranya.

"Pergi, pergi, menjauhlah dariku, hiks hiks," teriak Aranya histeris bercampur dengan isak tangis. 

"Iya bu, dia sudah pergi, jadi sekarang ibu bisa tenang," bujuk perawat yang sudah mengusap lembut bahu Aranya

"Gak, gak, dia masih di sana, menjauhlah.., ku mohon kembalikan suamiku," ucap Aranya lirih, begitu pelan. Namun, di akhir ucapannya dia kembali berteriak histeris, bercampur dengan tangis dan tawa. Perawat sungguh kewalahan menanganinya, bahkan salah satu oerawat sudah berlari, meminta bantuan pada dokter agar segera memberikannya suntikan, untuk menenangkan Aranya yang terlihat begitu tidak terkontrol. Kemudian sang dokter tiba dan dengan sekali suntikan, Aranya pun tumbang tak sadarkan diri.

Para suster membawanya ke dalam kamarnya, dengan penuh ke hati-hatian perawat meletakkan Aranya pada kasurnya, kemudian menyelimuti tubuh mungil Aranya, bahkan kini tubuh idealnya terlihat begitu kurus, wajahnya sangat tirus begitu tidak terawat. Padahal selama Aranya hidup bersama sang suami, Aditya. Aranya selalu di perlakukan bagaikan seorang ratu, di manjakan dengan segala fasilitas mewahnya. Tak pernah Aditya membiarkan istrinya murung, ataupun bersedih, kecuali karena kesalah pahaman.

Di depan pagar yang menjulang tinggi, tentunya di pantau oleh pria bertubuh kekar, siapa lagi kalau bukan security yang bertugas menjaga keamanan pemilik rumah. Raino dengan gagahnya mengendarai motor sport dengan jaket kulit dan juga tas ransel, menyambangi kediaman Pelangi dengan gagah berani.

"Permisi pak," ucap Raino tang kini sudah membuka helmnya.

"Eh den Raino, maaf den. Mari silahkan masuk," sahut pria berpakaian serba hitam itu, dengan tanda pengenal Remon, nama yang bagus, bukan?

"Iya pak, sa..,"

"Berangkat yuk," potong Pelangi yang kini sudah melenggang, berjalan menghampiri Raino, dengan membawa tas kebanggaannya.

"Gak pamit sama bunda kamu?"

"Bunda lagi gak enak badan, makanya aku nelpon kamu,"

"Oh, kirain ada apa, aku sampai khawatir loh,"

"Ya maaf,"

Raino adalah sosok pria yang akan menurut hanya pada wanita yang dekat dengannya, yaitu oma. Namun, selama Raino mengenal Pelangi, menambah daftar wanita yang selalu ingin dirinya lindungi. Oma dan juga Pelangi, selama ini tak ada wanita yang berhasil mengusik hatibdan pikiran Raino, apalagi sampai mengacak-acaknya. Semua wanita yang sengaja menampakkan diri untuk mendekatinya, Raino tepis tanpa memperdulikan rasa kecewa mereka. Begitulah Raino, dia akan melakukan apa yang ia sukai dan menolak apa yang tidak ia sukai.

"Temani aku ke suatu tempat ya,"

Sembunyikan kutipan teks

Pada tanggal Sel, 21 Sep 2021 11:10, aya abdillah menulis:

Pria tampan berdarah Jerman dan memiliki tubuh yang atletis membuat para wanita terpesona, memiliki uang dan kekuasaan mampu untuk mengubah dunia, dengan wawasan yang luas, dia mampu menciptakan situs web digital berskala internasional. Tentunya itu tak luput dari kerja kerasnya selama ini. Bara Moreno, pria berusia 28 tahun memiliki perusahaan besar yang dirinya mulai dari bawah, kini sudah berkembang begitu pesat. Dengan teknologi yang sedang berkembang saat ini, tentu Bara tidak menyia-nyiakan kesempatan dan kepintaran yang tuhan berikan untuknya, Bara Moreno merupakan CEO sekaligus pendiri Rashable, blog populer yang sedang berkembang menjadi situs berita teknologi berskala internasional.

Beberapa tahun silam, seorang anak laki-laki tengah sibuk dengan bukunya, membacanya hingga tidak melihat sekitar. Sikapnya yang terlalu tidak memperdulikan hal di sekitar membuat dirinya di jauhi anak-anak seusianya. Padahal, anak lelaki itu hanya sedang menikmati dunianya sendiri, dunia yang sedikit berbeda dengan anak seumurannya. Dia adalah Bara, anak lelaki yang memiliki segudang prestasi, meski usianya masih begitu kecil, hal itu lantas membuat banyak temannya iri, sehingga hanya bukulah yang selalu menjadi teman dekat dan terbaiknya. Hingga suatu saat Bara mulai tertarik dengan dunia digital, sebuah teknologi yang bisa di kembangkan, dari situ Bara semakin mencintai bacaan, mencari tahu berbagai pengetahuan tentang teknologi digital.

Saat usia Bara menginjak 16 tahun, dirinya harus pindah ke kota ini, saat itu dia hanya bisa menerima keputusan orang tuanya, bukan ingin menolak, hanya untuk apa dia melakukan itu. Karena itu akan membuat orang tuanya kecewa. Kota kelahirannya juga tidak akan bersedih jika dia pergi, apalagi teman yang Bara tidak miliki. Hanya karena mereka menganggap Bara lelaki yang aneh, hanya berteman pada buku dengan kaca mata yang selalu ia kenakan, membuatnya terlihat semakin aneh.

Sore itu Bara berniat membeli cemilan untuk perjalanannya, seperti biasa dia selalu mengandalkan kaki untuk dirinya berpijak, meski sang ayah telah membelikan kendaraan beroda dua untuk dirinya. Namun, sepertinya Bara lebih menikmati perjalanannya dengan berjalan santai, melihat sekitar yang di penuhi dengan berbagai drama maupun aktifitas pejalan kaki lainnya. Selain itu, Bara tidak harus menikmati kemacetan yang di sertai dengan polusi udara yang di keluarkan oleh knalpot kendaraan yang melintas.

Bara membawa sebuah camera, mengabadikan beberapa aktifitas orang-orang yang ia lihat. Lampu merah dengan kendaraan yang disiplin berbaris, menunggu rambu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. Pengamen jalanan dengan alat musiknya yang sederhana, sudah di pastikan bahwa itu buatan tangannya sendiri, sebuah kreatifitas yang berbuah penghasilan dengan kayu yang di kaitkan dengan beberapa tutup botol agar menciptakan suatu bunyi.

Tepat pukul 14.25 wib, Bara melihat arlogi di tangannya, "Masih ada waktu," ucapnya dengan senyum memikirkan hal yang menarik sebelum dirinya pergi meninggalkan kota kelahirannya itu. Kakinya terus melangkah, menyusuri jalanan yang di penuhi dengan kendaraan yang melintas di jalan raya, sementara Bara berjalan di tepi jalan. Terdapat beberapa bangku yang di design begitu indah, dengan pot batu berisi bunga yang terlihat tengah mekaar, tak lupa juga di berikan cat berwarna, menambah keindahan kota ini. Ada beberapa pepohonan yang rindang, dan setiap paginya pasti ada petugas yang bekerja untuk membersihkan jalanan kota.

Bara duduk di salah satu kursi, sekedar untuk mengikat tali sepatunya yang terlepas, mengganggu aktifitas perjalanan Bara, matanya liar sejenak untuk menikmati suasa kota itu, namun matanya terperanjat saat melihat sosok anak kecil tengah terjatuh di seberang jalan, Bara melihat sekeliling, apakah gadis kecil itu ada yang menjaganya, ibu atau ayahnya dan bahkan pengasuhnya? lantas  Bara tidak menemukan siapa-siapa di dekat gadis kecil itu, terlihat dari kejauhan anak itu tengah menangis sambil memegangi kakinya.

Kemudain Bara berinisiatif untuk membantunya, iapun bangkit dari tempatnya. Melihat jalan ke kanan dan ke kiri, untuk melihat kendaraan yang masih berlalu lalang. Namun sebuah rambu lalu lintas berubah warna menjadi merah, para pengendarapun menghentikan lajunya, membuat Bara agar bisa melewati para pengendara. Akhirnya Bara berhasil menyebrangi jalan itu "Adek, sini kakak bantu ngobati lukanya?" ucap Bara menawarkan bantuan, namun gadis kecil itu takut akan sosok lelaki asing yang berbicara padanya. gadis kecil itu masih betah duduk di jalan dengan kedua kaki yang ia peluk, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya terlihat jika ia menolak tawaran Bara. Namun, darah segar kini terlihat mengalir dari lututnya, di tambah dengan butiran pasir yang menempel pada luka dan sebagian kakinya. Lalu tidak menutup kemungkinan bahwa debu kendaraan yang melintas juga akan menempel pada lukanya,

"Nanti luka kamu bisa infeksi loh," ucap Bara kembali, tak ingin jika anak sekecil itu menyepelekan lukanya. Namun, sepertinya gadis kecil itu masih ketakutan akan sosoknya, Bara kemudian berjongkok, mendekati gadis kecil itu agar bisa berkomunikasi dengan baik dan memberi pengertian padanya.

"Tenang aja, kakak bukan orang jahat kok, jadi kamu jangan takut ya?" mungkin ucapan Bara kali ini bisa di pahami gadis kecil yang masih meringis kesakitan akan rasa perih pada lukanya.

"Gak kasihan apa sama kakinya, berdarah gitu? Pasti sakit bangetkan?" ucap Bara bertanya, memastikan agar gadis kecil itu mau menerima bantuan darinya.

"Kakak beneran orang baik? Gak akan nyakitin aku kayak tante kan?" ucapnya, yang membuat Bara tersentak akan penuturan ucapan gadis kecil itu.

"Tentu aja kakak orang baik, buktinya kakak ingin membantu kamu," ucapan Bara memberikan respon baik, membuat anak kecil itu menoleh kearahnya, memberikan senyuman manis yang terlihat begitu polosnya.

"Mau kakak gendong? Kita ke mini market dekat situ aja," ucap Bara menawarkan bantuan lalu tangannya menunjuk pada sebuah mini market yang berada tidak jauh dari tempat mereka. "Kalau ke apotik, bakalan jauh," lanjutnya berucap.

"Iya, aku mau kak," suara khas anak kecil membuat teduh hati Bara di tambah senyum cerianya yang berusaha mengabaikan luka pada lututnya. Bara kemudian mengangkat anak kecil itu, menggendongnya hingga ke mini market, beruntung semua yang mereka butuhkan tersedia di mini market itu.

"Kamu mau apa? kakak traktir deh, ambil aja apa yang kamu inginkan," ucap Bara menawarkan, senyumnya mengembang melihat anak kecil itu sibuk mengajaknya untuk berpindah rak.

"Apa aku boleh membeli gelang ini kak?" tanyanya dan tentu saja Bara mengiyakannya, lalu tangan Bara mengambil sebuah mainan berupa bongkar pasang. Mainan yang biasa di sukai anak kecil seumurannya. Selesai Bara membayar di kasir, mereka lantas mencari tempat untuk membersihkan luka anak kecil itu.

"Ssstt.., au, au..," ringis anak kecil itu

"Tahan ya, bentar lagi juga siap kok," ucap Bara sambil menium luka anak kecil itu, "Nama kamu siapa?" lanjut Bara bertanya.

"Pelangi," jawabnya