"Ah, kenapa sekarang aku malah memikirkan gadis kecil itu?" pikir Bara yang kini sudah membuyarkan lamunannya.
Bara lantas mengambil gawainya, mencari kontak yang ingin ia hubungi, lalu saat sudah menemukan kontaknya, Bara lantas menekan simbol telepon pada layar gawainya.
"Bagaimana, apa sudah ada info mengenaik gadis itu?" tanya Bara saat ponselnya sudah terhubung.
"Maaf pak, tidak ada info mengenai identitas gadis itu,"
"Lantas apa saja kerjamu? Mencari info satu orang saja tidak becus!" bentak Bara yang merasa asistennya tidak berguna, kemudian Bara menutup panggilannya secara sepihak.
"Aaaaahh..., sial! Dasar tidak berguna!" umpatnya dengan mata merah menyala, sejenak Bara berpikir apa sebaiknya dia mencari asisten baru saja, kinerja kerja Joe semakin melemah. Bahkan untuk mencari info tentang satu orang wanita saja dirinya tidak bisa.
"Apa sebaiknya dia pensiun saja?" batin Bara bertanya, mencoba memikirkan dan menimbang akan tanya yang terbesit di benaknya.
Beberapa hari telah berlalu, Pelangi masih saja mengandalkan Raino dalam setiap aktifitasnya, bukan untuk memanfaatkan cowok tampan incaran wanita di sekolahnya itu. Tapi, untuk mengelabui Sherly, bunda palsunya.
Setiap hari Sherly memantau perkembangan Pelangi melalu orang suruhannya yang sengaja ia perintahkan untuk menguntit aktifitas Pelangi, saat dirinya berada di luar kota untuk perjalanan bisnisnya. Sherly tak ingin kecolongan, karena akan sia-sia semua usahanya 17 tahun ini.
Beberapa hari silam,selepas Raino pulang dari rumah Sherly, Pelangi habis di intograsi karena tidak pulang semalaman. Sejujurnya Pelangi takut akan kebohongannya. Namun, ini kali pertamanya dirinya harus berbohong pada Sherly.
"Rupanya, kau sudah berani menentangku!" bentak Sherly
"Ng-gak tan," sahut Pelangi ketakutan
"Lalu berada di mana kau semalaman?" tanya Sherly masih dengan emosinya
"A-aku di rumah sakit tan, maaf karna ponselku low,"
"Alasan klise, kau jawab jujur atau ibumu yang akan menanggung akibatnya?" ancam Sherly yang tidak percaya dengan jawaban Pelangi.
"Jangan tan, ku mohon jangan sakiti mama," pinta Pelangi dengan memohon, kini Pelangi sudah berlutut sambil memegangi kedua kaki Sherly.
"Sekarang kau memohon padaku, setelah semalaman kau berani menentangku!"
"Gak tan, aku beneran di rumah sakit, karna Raino begitu syok saat mengetahui omanya belum sadarkan diri, tan."
Kring.., terdengar suara panggilan dari gawai Sherly, kemudian wanita antagonis itu menjawab panggilannya. Membuat Pelangi bisa bernapas lega, pasalnya Pelangi bisa terbebas dari kemarahan Sherly. Setelah sedari tadi dirinya merasa seperti berada di atas bukit yang tinggi dan begitu curam, sehingga sulit untuk dirinya bisa turun, dan tentunya itu sangat membuat jantungnya tidak aman.
"Kemungkinan aku akan ke Singapura sore ini, dan ingat jangan pernah berani untuk kabur saat aku pergi!" ancam Sherly, tentu saja Pelangi akan menjawab iya, sejak kapoan dirinya berani untuk berkata tidak, sejak saat lahir Pelangi sudah menjadi boneka bagi Sherly.
Sejujurnya Sherly ingin sekali membawa Pelangi untuk ikut bersamanya, membalaskan dendamnya adalah tujuan hidupnya saat ini. Walau Aditya sedang koma dan Aranya depresi yang harus berakhir di rumah sakit jiwa, lantas itu belum sebanding dengan kesakitannya saat kehilangan calon anaknya dan juga suami tercintanya. Sherly harus menunggu sampai sepasang suami istri itu merasakan langsung dalam kesadaran semua kesakitan yang ia alami. Semua masa depan yang sudah ia rencanakan harus berakhir tragis dengan kematian suami dan bayi yang ada dalam rahimnya.
Sherly bersiap untuk keberangkatannya, berat sekali untuk dirinya pergi meninggalkan Pelangi. Namun, semua ini harus ia lakukan demi bisnisnya. Karena, Sherly harus mengembangkan usahanya, dia tidak mungkin hanya mengandalkan orang lain dalam pekerjaannya terus menerus.
"Bunda hati-hati ya?"
"Iya tan, hati-hati ya," sambung Raino yang ikut mengantar Sherly hingga kebandara.
"Iya, tante titip Anggi ya Ren,"
"Pasti aku bakal jagain Anggi tan, tante tenang aja."
"Iya, tante percaya sama kamu," Sherlypun pergi meninggalkan ke duanya.
Dalam perjalanan pulang, Raino mengajak Pelangi untuk menjenguk Meli. Namun, Pelangi mendadak menunduk dan berpindah posisi.bukan tanpa alasan Pelangi melakukannya. Hanya saja Pelangi melihat sosok yang kini harus dirinya hindari. Pelangi tak ingin jika orang itu melihatnya dan kembali menculiknya seperti waktu itu.
"Gi, kita mau langsung ke kamar oma atau mau makan dulu?" tanya Raino saat keduanya sudah tiba di parkiran rumah sakit.
"Langsung ke kamaar oma aja deh, kebetulan aku masih kenyang,"
"Oke deh,"
Ini sudah terhitung sebulan meli di rawat di rumah sakit. Namun, belum ada perubahan yang terjadi, kesadaran meli juga belum menampakkan tanda-tanda apapun, padahal Raino sudah begitu merindukan sosok meli dalam hidupnya.
Pelangi mendekat ke arah ranjang Meli, dirinya duduk di kursi yang memang telah tersedia di samping ranjang. Tubuh lemah dan tak berdaya Meli begitu sendu terlihat, wajah yang sudah memiliki kerutan itupun hanya mampu dirinya lihat, Pelangi yang belum pernah bertemu Meli apalagi sekedar untuk berbincang, kini entah mengapa dirinya tertarik untuk mendekati wanita paruh baya itu. Rasanya ingin sekali dirinya bercerita dan mengajaknya untuk bercanda, biasanya Pelangi hanya duduk sambil menemani Raino. Tapi, tidak kali ini dirinya ingin sekali bercengkrama dengan wanita terkasih sahabatnya itu.
"Hai oma, kenalin aku Anggi temen sekolahnya Raino," sapa Pelangi memperkenalkan dirinya, dengan senyum yang ia sunggingkan. Tangan halusnya kini sudah menyentuh lembut jemari Meli, di usapnya dengan perlahan sambil terus memperhatikan wajah keriput Meli dengan luka yang sudah mulai membaik.
"Oma, apa gak ingin berkenalan sama aku? Padahal aku udah gak sabar banget, pingin ngobrol dan sekedar minum teh bareng oma," ucap Pelangi dengan tersenyum malu, pasalnya dari kejauhan Raino justru memperhatikannya dengan seksama. Melihat dua wanita beda usia itu tengah berbincang. Entah apa yang membuat Raino begitu menyukai momen ini.
"Oma cepat sembuh ya, biar kita bisa sering-sering ngobrol, banyak hal yang ingin aku ceritakan ke oma, pasti oma udah gak sabarkan pingin dengar ceritaku tentang Raino yang belakangan ini selalu bersamaku? Hmm.., apa oma gak cemburu? Akhir-akhir ini Raino begitu dekat denganku, bahkan sekarang bunda udah percaya banget sama dia, oma gak takut, kalau Raino di rebut bunda?" canda Pelangi dan itu membuat jemari Meli bergerak, membuat Pelangi terkejut sekaligus senang, apa ucapannya membuat Meli marah? Karena tak ingin Raino di rebut oleh siapapun. Tapi, apapun itu semoga saja, meli segera pulih.
"Ren, tolong kamu panggilin dokter, ini tangan oma bergerak loh, ayo cepetan," panik Pelangi dan Raino langsung memanggil sang dokter tanpa melihat kondisi omanya terlebih dahulu. Bukan karena Raino tidak sayang pada omanya, hanya saja kepanikan Pelangi seolang menular padanya.