"Kamu kemana aja sih?" tanya Pelangi dengan wajah cemberutnya, membuat Raino merasa lucu saat melihat wajah sahabatnya itu. Apalagi yang Raino lakukan jika tidak tertawa begitu lepas. Seolah dia tak memiliki beban.
"Ambil ini," jawab Raino sambil menunjukkan barang bawaannya.
"Punya oma?"
"Nah.., itu pintar,"
"Ih.., jadi selama ini aku bego, gitu?" ambek Pelangi.
"Gak gitu juga Gi," Raino lantas membujuk Pelangi yang terlihat seolah sungguhan marah. Padahal wanita yang ada di hadapannya saat ini tengah iseng menjahilinya. Mana mungkin Pelangi akan marah dengan hal kecil seperti ini. Apalagi Pelangi cukup tahu, apa yang tengah laki-laki itu lakukan.
"Makan dulu yuk?" ajak Raino saat mendengar suara dari perut Pelangi, kekehan kecilpun terdengar di telimga Raino. Pelangi yang menyadari perutnya tidak bisa di ajak kompromi, langsung memegangi perutnya, rona merah di pipinya pun terlihat jelas. Pelangi sungguh malu dengan kejadian ini, cacing di dalam perutnya tidak mengenal tempat jika sudah lapar. Dengan tidak tahu malu, Pelangipun mengangangguk, menyetujuin ajakan Raino.
"Wah.., masakannya enak-enak banget Ren," nafsu makan Pelangi seketika bertambah saat melihat makanan yang tersaji di meja.
"Kamu habisin gih, bontot juga boleh, hahahaha,"
"Kamu ngejek aku, entar kalau aku gendutan gimana?"
"Gak ngejek tau, kan justru terlihat cubby, makin gemes tau,"
"Aku menolak untuk itu, yang ada aku jadi bahan ledekan kamu,"
"Hahaha, ya gaklah.. kan aku...," ucapan Raino terpaksa ia hentikan, saat sadar dengan apa yang hampir saja ia ucapkan.
"Kamu apa?" tanya Pelangi yang penasaran.
"Aku jadi pingin terus cubit pipi kamu," ucapnya beralasan
"Tuh kan, belum apa-apa aja kamu udah ledekin aku,"
Raino hanya mampu tertawa saat melihat wajah cemberut sahabatnya itu. Dirinya tidak ingin jika sampai salah berucap, Raino juga tidak mengetahui perasaan apa yang ada dalam dirinya untuk Pelangi yang ia tahu, begjtu nyaman saat berada dekat dengan sahabatnya itu.
Perasaan akan selalu timbul saat terbiasa, mungkin itu yang akan terjadi pada mereka. Namun, apa semua akan berjalan dengan seperti biasa, saat salah satu dari mereka mengatakan tentang cinta. Hubungan lebih daro sekedar sahabat, tentu rasanya tidak akan seperti biasa lagi. Bahkan bisa saja ada rasa canggung di antara keduanya jika perasaan itu tidak berbalas.
"Ren, apa aku boleh tau tentang papa kamu?" tanya Pelangi saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Raino yang kali ini tengah mengemudikan mobilnya seketika langsung melirik pada kaca spionnya. Lalu menepikan laju kendaraannya. Rasanya begitu sesak, saat ia harus menceritakan semuanya dalam kondisi mengemudi. Hal itu bisa membuat Raino tidak konsentrasi dalam kemudinya.
"Huh, kamu beneran pingin tau?" tanyanya sambil menoleh pada sahabatnya itu. Pelangipun mengangguk, "Tapi, jika kamu gak siap buat cerita, mending gak usah maksain buat cerita Ren,"
"Aku juga gak tau apa yang sebenarnya terjadi, tapi kata oma, papa kecelakaan saat mengantar mama ke rumah sakit,"
"Deg," detak jantung Pelangi, mengingat kejadian yang sama ia alami. Tapi, mengapa begitu kebetulan sekali? Pelangi mencoba menepis rasa sakitnya dulu saat mengingat cerita masa lalunya dari sherly.
"Terus gimana mama kamu?"
"Mama meninggal saat melahirkan aku dan papa koma hingga saat ini, bahkan dokter sudah menyerah. Tapi, aku belum dan alu hanya punya waktu sampai lulus SMA, setelah itu dengan terpaksa dokter harus mencabut semua alat bantu papa dan aku harus mengikhlaskan hal terburuk yang akan terjadi " Pelangi langsung mendekap tubuh Raino dengan air mata yang sudah menetes, Pelangi tahu bagaimana rasa sakit itu, kesedihan yang hampir sama mereka alami. Bedanya Aranya sadar dan sehat secara jasmani. Namun, sakit rohaninya, jiwanya terguncang akan kenyataan yang tidak sanggup ia terima dan hadapi. Meski ada Pelangi yang seharusnya bisa menjadi penguat dalam hidupnya.
"Kamu yang kuat ya, aku yakin sebelum kelulusan papa kamu akan segera pulih, yang terpenting kamu harus berdoa dan jangan pernah menyerah dengan keadaan," ucap Pelamgi sambil mengusap lembut bahu Raino dan melepaskan pelukannya.
"Ayo jalan, gak lucukan kalau ada orang yang ngetul kaca, trus ngira kita yang aneh-aneh, hehehe "
"Ya gak mau lah, malu-maluin aja," Raino kembali melajukan mobilnya, menuju tempat yang seharusnya ia kunjungi.
"Bagaimana kondisi oma saya dok? apa oma bisa segera melakukan operasi?" tanya Bara yang kini sudah berada di ruangan dokter yang menangani omanya.
"Maaf, untuk hal itu, kami pihak rumah sakit belum bisa melakukan tindakan operasi untuk pasien, hingga kondisi kesehatan pasien membaik, karena kami tidak ingin salah mengambil tindakan, untuk itu berikan waktu untuk pasien bisa pulih," penjelasan dokter membuat Raino bingung, bagaimana mungkin ia harus melalui semua ini sendiri. Tapi, apapun itu, Raino harus kuat. Sebagai laki-laki, Raino harus bisa melalui semua cobaan ini. Dia yakin, Tuhan sudah mempersiapkan kebahagiaan untuknya di lain waktu. Yang harus Raino lakukan saat ini adalah jangan pernah menyerah dengan keadaan dan jalan hidupnya. Semua akan bisa ia lewati, walau sesulit apapun cobaannya.
"Kamu pasti bisa Ren," Pelangi menyemangatinya.
Di tempat lain, Bara tengah merencanakan sesuatu untuk mendapatkan Pelangi, semua info mengenai gadis itu sudah ia dapatkan. Namun, Bara tidak boleh gegabah dalam mengambil tindakan. Dirinya tidak ingin jika Pelangi melarikan diri lagi, mencoba menghindarinya lagi. Entahlah, perasaan cinta sungguh membuat dirinya kehilangan akal sehat, walau apapun akan bisa ia lakukan. Tapi, kali ini Bara tidak ingin salah langkah untuk urusan cinta yang sebelumnya belum pernah ia rasakan.
"Joe, bagaimana tugasmu?"
"Semua sudah saya lakukan sesuai dengan perintah anda,"
"Kau yakin?"
"Tentu pak, proyek ini bernilai besar, tidak mungkin dia akan melewatkannya begitu saja,"
"Lalu bagaimana dengan gadis itu?"
"Saat ini dia tengah bersama seorang lelaki di rumah sakit pak,"
"Laki-laki? siapa dia?"
"Dia merupakan orang terdekat nona pak, bahkan hanya dia satu-satunya orang yang selalu bertemu dengan nona,"
"Baiklah, awasi terus mereka, dan laporkan apapun yang kau ketahui tentangnya,"
"Baik pak,"
Bara mencoba memikirkan sesuatu, agar dia bisa dekat dan masuk dalam kehidupan Pelangi, bagaimanapun caranya dia tidak boleh gegabah. Jika tidak, pasti Pelangi akan pergi lagi darinya.
Kini sandaran sofa terasa nyaman untuknya, memikirkan langkah apa yang akan ia lakukan untuk mendekati wanita yang kini sudah berani masuk kedalam hatinya tanpa permisi. Bahkan seolah tidak memberikan ruang kosong untuk orang lain. Padahal pertemuannya juga tanpa sengaja. Tapi, mampu membuat pikiran dan hati Bara sekacau ini.
"Apa dia gadis kecil itu?" pikir Bara sambil membayangkan wajah bocah itu.