"Gak....," teriak Aranya, saat terbangun dari mimpi buruknya, peluh keringat membasahi tubuhnya, rambutnya terlihat begitu acak-acakan. Bahkan sebagian telah telah menutupi wajahnya.
"Mimpi itu lagi," ucapnya seraya mengambil botol yang berisi air putih yang sengaja dirinya simpan secara diam-diam. Tentunya atas bantuan Mery. Mana mungkin seorang pasien dengan gangguan jiwa di perbolehkan menyimpan sebuah benda yang bisa membahayakan orang lain. Apapun itu, tak ada pasien gangguan jiwa yang di perbolehkan menyimpan suatu barang.
Aranya meneguk airnya, sungguh tenggorokkannya terasa kering, air yang menyelinap masuk ke dalam tenggorokannya terasa segar, dengan beberapa kali tegukan, mampu membuat tenggorokkan Aranya kembali basah. Segera ia sembunyikan kembali botolnya, tak ingin jika petugas lain menemukannya. Walau Aranya bisa saja berbohong untuk memberikan alasannya dan mungkin akan berimbas pada perawat lain yang akan menerima teguran atas keteledoran mereka.
"Aku harus bisa kabur dari sini," pikirnya yang kali ini tidal bisa kembali tidur, sepintas bayangan masa lalu terbesit di pikirannya. Ia yakin bahwa Aditya dan kedua anaknya masih hidup, naluri seorang istri dan juga ibu tidak akan pernah salah. Sudah terlalu lama dirinya depresi akan kenyataan palsu yang orang-orang katakan. Sidah daatnya Aranya untuk mencari kebenaran dan keberadaan keluarganya.
Setiap pagi Mery selalu rutin mengecek kondisi Aranya, "Ra, lo baik-baik aja kan?" tanya Mery saat melihat kondisi Aranya di kamarnya.
"Gue baik Mer, gimana lo udah nemuin cara biar gue bisa kabir dari sini?"
"Lo yang sabar ya, secepatnya gue bakal cari cara buat bawa lo keluar dari sini,"
"Iya Mer, gue udah gak sabar buat ketemu anak-anak gue,"
"Anak-anak? lo yakin anak lo bukan hanya Pelangi?"
"Gue yakin, saat proses kelahiran itu gue masih sadar bahwa dokter mengangkat dua bayi dari rahim gue, bahkan dokter itu mengucapkan selamat sama gue,"
"Ya Allah Ra, gue pikir hanya Pelangi anak lo,"
"Gak Mer, waktu itu dokter bilang anak gue sepasang, berarti Pelangi dan satu lagi anak laki-laki kan Mer? gue yakin dia pasti bersama suami gue dan juga mertua gue Mer, dia yang paling membenci pernikahan gue Mer,"
"Lo yang sabar ya? 3 hari lagi masa kontrak gue habis dan gue gak berniat memperpanjangnya. Bahkan jauh sebelumnya gue udah berniat buat resign. Tapi, gue mikirin nasib lo di sini, gue pingin lo kembali sehat Ra, gue banyak utang budi sama lo,"
"Makasih ya Mer, lo selama ini udah nolongin gue, sabar atas semua sikap gue,"
"Sama-sama," Aranya dan Merry pun berpelukan. Namun, itu hanya sekejap saja, tak ingin jika seseorang mengetahui jika kewarasan Aranya telah kembali. Cukup ini menjadi rahasia mereka saja.
***
"Yang ini aja deh kak," tunjuk Pelangi pada sebuah ponsel yang mungkin harganya sebandinh dengan ponsel miliknya yang telah hancur.
"Yakin?" tanya Bara heran, "Fiturnya kurang canggih loh, gimana kalau yang ini aja," pilih Bara pada sebuah ponsel yang nyaris sama persis seperti miliknya,
"Gak deh kak, itu terlalu mahal, aku gak mau ntar jadi bahan perbincangan teman yang lain,"
"Oke deh, terserah kamu aja,"
"Makasih,"
Kini Sepasang mata wanita itu tengah memperhatikan keduanya dengan perasaan kesalnya, "Pantas saja akhir-akhir ini dia gak ada di kantor, ternyata sibuk sama anak kecil," pekiknya sambil terus memperhatikan gerak gerik Bara dan juga gadis berseragam SMA yang sedang bersamanya, "Dasar cewek matre, bisa-bisanya morotin uangnya Bara, emang apa sih bagusnya itu cewek? sanpai bisa buat Bara seluluh itu, atau jangan-jangan dia menjajahkan tubuhnya? Dasar licik!" cercanya yang terus mengintai keduanya. "Awas aja kau bocah sialan, aku akan memberikan pelajaran untukmu agar kau bisa menjauh dari Bara," wanita itu terlihat begitu murka dengan tontonan yang ada di depan matanya. Rasanya ia ingin sekali mendatangi keduanya dan menjambak gadis yang tengah asyik berduaan sambil memoroti uang milik dari laki-laki yang begitu ia cintai.
Sementara Raino masih kerepotan dengan urusannya di kantor, meski ada asisten sang papa yang selama ini mengurus perusahaan. Namun, tetap saja semua keputusan harus Raino yang mengambilnya, Rifin tidak memiliki wewenang atas itu.
"Apakah bisa sehari saja aku libur?" tanya Raino pada asisten sang papa
"Maaf pak, sepertinya itu sangat sulit,"
"Tapi, akan ada pertandingan basket 2 bulan lagi, aku tidak ingin melewatkan kesempatan itu,"
"Baiklah akan aku atur jadwal anda,"
"Terima kasih, aku tau kau pasti bisa di andalkan,"
"Terima kasih pujiannya pak, dan sore ini akan ada meeting dengan Wiguna grup,"
"Segera siapkan semua berkasnya, kita akan segera berangkat,"
"Siap pak,"
Kepercayaan akan sukit di dapat, jika kita melakukan satu saja kesalahan. Mungkin kepercayaan itu akan langsung hilang dan sangat sulit untuk kita mendapatkannya kembali. Rifin yang sejak dulu bekerja untuk perusahaan Aditya, tak pernah sedikitpun berniat untuk mencurangi Aditya, meski hal itu sangat mudah dirinya lakukan.
Sejak dulu bahkan Meli ingin sekali melenyapkannya. Namun, dengan kesepakatan dan perjanjian yang mereka buat bersama, membuat Rifin akhirnya bisa terus berada di samping Aditya.
"Maaf pak, apa saya bisa menjenguk pak Aditya?" tanya Rifin dalam perjalanan.
"Tentu saja, sejak kapan kau harus bertanya jika ingin menemui papa?"
"Oh, iya ya. Saya sampai lupa, mungkin karena saya sudah tua pak, jadi lebih cepat lelah,"
"Kayaknya itu gak ada hubungannya dengan pertanyaanmu. Tapi, jika kau membutuhkan waktu untuk istirahat, kau bisa mengambil cuti,"
"Ah, rasanya itu tidak perlu pak, saya akan mengabdi pads keluarga bapak, selagi saya masih hidup pak, terima kasih atas tawaran bapak,"
"Sama-sama, jangan sungkan jika kau ingin berlibur apa lagi untuk menemui papa, karna kau adalah orang terbaik yang pernah berada di sisi papa "
"Terima kasih pak," balas Rifin seraya tersenyum pada anak bosnya itu.
Raino dan Rifin keluar dari mobilnya, menuju tempat yang telah di sepakati bersama untuk melakukan meeting sore ini. Walau Raino masih terlalu muda untuk menggantikan posisi Aditya, dan sejauh ini Raino cukup mampu untuk menghandle semua pekerjaan Aditya.
Raino melihat seorang wanita tengah duduk bersantai di sebuah cafe, parasnya yang cantik dan kemolekan tubuhnya membuat lelaki akan terpanah akan pesonanya. Tapi, hal itu tidak berlaku untuk Raino. Dirinya yang masih remaja, tidak pernah memikirkan untuk segera memiliki seorang wanita di sampingnya, cukup Pelangi saja yang menjadi sahabatnya.
"Selamat sore bu, maaf sudah membuat anda menunggu," sapa Raino saat menghampiri rekan bisnisnya.
"Sore, oh.., ternyata CEO dari perusahaan Wijaya grup sangat muda ya, saya pikir berkumis dan memiliki kepala yang botak," canda wanita itu.
"Ibu bisa saja, perkenalkan saya Raino, maaf dengan ibu siapa?"
"Saya Zoya wiguna, kamu bisa memanggil saya Zoya, tidak perlu formal, kita bicara santai saja," ucap Zoya dan membuat Raino merasa risih dengan tingkah rekan bisnisnya. Sementara Rifin hanya mampu menahan tawanya,
"Maaf bu, saya rasa tidak pantas jika saya hanya meyebutkan nama anda saja,"
'Dasar bodoh, kita lihat saja kau akan bertekuk lutut dan memohon untuk meminta cintaku,' batin Zoya