Bara tertegun saat melihat gadis kecil itu tersenyum padanya, walau terlihat jelas raut wajahnya menyembunyikan rasa sakit yang begitu mendalam. Pelangi, nama yang indah, seindah parasnya. Jika anak seusianya biasanya akan berlaku polos, tidak dengan gadis kecil yang ia tolong saat itu, membuat Bara merasa iba.
"Rumah kamu dimana? biar kakak antar,"
"Gak usah kak, aku bisa pulang sendiri kok,"
"Kaki kamu aja terluka, gimana kamu bisa jalan jauh, coba?"
"Luka sekecil ini masih mampu aku tahan kak, bahkan lebih dari ini juga aku akan berusaha menahannya, demi mama." ucapnya, kemudian berlari menjauh dan pergi meninggalkan Bara bersama air mata yang berterbangan. Saat itu Pelangi tengah menangis dan langsung berlari untuk menutupi kesedihannya. "Makasih kak," teriak Pelangi dari kejauhan.
***
"Saya mohon pak, biarkan saya pergi,"
"Berjanjilah untuk tidak dekat degannya lagi!" ucap Bara bersama dengan suara dering ponsel Pelangi, Pelangi langsung beralih pada ponselnya, 'Mungkin Raino bisa membantuku,' batinnya.
Alih-alih mendapat pertolongan dari Raino, Bara langsung mengambil alih ponselnya dan membantingnya hingga menjadi puing-puing, berserakan di lantai serpihan gawai yang setia menemaninya. Ponsel pertama yang ia miliki seumur hidupnya, harus ia saksikan hancur dan lebur takkan mungkim bisa ia perbaiki.
Menangis, itulah yang mampu Pelangi rasakan saat ini. Menyesal takkan ada gunanya, Pelangi berjongkok memungut serpihan gawainya. Betapa teririsnya hati, juga pikirannya. Mengapa Bara begitu kasar dan tega padanya? Sementara selama ini Pelangi tak pernah mengusik kehidupan lelaki yang entah punya pikiran dari mana bisa menjadi guru pengganti di kelasnya. Padahal Bara sudah memiliki kekayaan yang melimpah. Namun, mengapa dia harus memilih tawaran menjadi guru?
"Gak usah nangis, aku akan mwngganti dengan keluaran terbaru,"
"Bapak pikir, semua bisa di ganti dengan uang!"
"Saya tidak mengganti dengan uang, saya akan menggantinya dengan hp keluaran terbaru,"
"Saya gak butuh itu, saya hanya maunya hp saya kembali!"
"Dasar keras kepala,"
"Terserah saya, apa hubungan sama bapak?"
"Karna kau sudah berani mencuri hati hatiku," pengakuan Bara mengejutkan Pelangi, sebisa mungmin dirinya menepis ucapan Bara, memilih tidak menanggapinya dan beralih pada puing-puing serpuhan ponsel yang bertaburan di lantai.
"Ayo, ikut aku!" ajak Bara yang sudah mengangkat bahu Pelangi, "Gak usah pegang-pegang pak, saya bisa sendiri!" sarkas Pelangi. Membuat Bara melepaskan tangannya dari bahu Pelangi.
Sementara Raino masih sabar mebunggu Pelangi di parkiran. Namun, Pelangi tidak kunjung tiba. Sehingga Raino mengambil inisiatif untuk menyusul Pelangi.
"Lama banget sih, Gi?" tanya Raino saat berpapasan dengan Pelangi di koridor
"Tadi ada insiden kecil,"
"Loh, kok bisa? kamu gak papa kan?" tanya Bara panik yang langsung beralih memutar tubuh Pelangi, melihat ada sesuatu yabg terluka atau tidak pada sahabatnya itu.
"Kamu baik-baik aja kan, Gi?"
"Thanks ya Ren, kamu udah perhatian banget sama aku,"
"Ia dong, kan kita sahabat, Oh ya, hp kamu kemana? kok aku hubungi dari tadi gak bisa-bisa?" tanya Bara panik
"Rusak!" jawabnya begitu kesal,
"Iya, tadi bapak gak sengaja mwnyenggol Pelangi" jelas Bara agar tak menaruh curiga padanya.
"Ini saya ingin mengajaknya untuk membeli hp, menggantikan hpnya yang telah rusak karna saya,"
"Kamu ikut ya Ren?" pinta Pelangi yang sejujurnya takut bersama Bara hanya berdua saja.
"Maaf Gi, aku gak bisa,"
"Ya udah gak papa,"
Di tempat lain, Aranya menatap kosong ke depan. Ia duduk di bangku taman rumah sakit, entah apa yang membuatnya akhir-akhir ini diam. Tak ada lagi teriakan histeris darinya, bahkan ia amat sangat menurut pada perawat dan juga dokter.
Angin sepoy-sepoy menyeruak, mengibaskan rambutnya yang tergerai. Wajahnya yang mulai menua kini nampak tersenyum saat merasakan angin telah meniup telinganya, rambutnya berserakan di acak-acak angin.
Saat inj entah apa yang Aranya pikirkan, dia justru terlihat sehat, bahkan senyum yang terlukis di wajahnya seolah tengah mengingat kenangan masa lalu yang begitu indah, mewarnai harinya.
"Ibu, waktunya kita minum obat," ajak perawat yang datang menghampiri Aranya.
"Nanti saja ya, udaranya lagi bagus,"
"Nanti dokter akan marah kalau ibu tidak tepat waktu meminum obat,"
"Di sini saja ya sus, lagian saya sudah merasa lebih baik kok," jawaban Aranya begitu santun, tak terlihat bahwa dirinya adalah pasien dengan gangguan kejiwaan, bahkan perawat begitu bahagia dengan kemajuan yang Aranya tunjukan. Lalu wanita berseragam serba putih itu memberikan Aranya beberapa butir obat dengan segelas air putih. Aranya langsung meminumnya tanpa tersisa dan bahkan Aranya terlihat begitu sehat dan waras, tak ada tanda-tanda bahwa dia merupakan pasien gangguan jiwa.
"Sus, kapan saya bisa pulang?" tanya Aranya
"Nanti saat ibu sudah benar-benar sembuh,"
"Tapi saya sudah merasa lebih baik sus,"
"Saya tau bu, dan saya melihat kemajuan yang besar pada ibu, dokter belum menyatakan apapun mengenai kondisi ibu. Jadi, berlakulah yang baik dan santu, tunjukan pada dokter dan kami para perawat, bahwa ibu sudah jauh lebih baik."
"Apa benar seperti itu?"
"Tentu, kalau begitu saya pergi dulu ya bu,"
"Iya, makasih ya sus,"
Perawat itu bernama Mery, sejak kehadiran Aranya di rumah sakit ini, satu-satunya perawat yang masih betah merawatnya adalah Mery. Bahkan Mery tak mau di pindah tugaskan di tempat lain, saat dokter dan kepala rumah sakit menaikkan jabatannya menjadi suster kepala pun. Mery tetap meminta izin untuk merawat kondisi kejiwaan Aranya. Iya sangat yakin, jika Aranya akan cepat sembuh.
Tak ada yang tahu, apa yang ada dalam pikiran Mery, entah itu tulus atau ada hal lain yang ia harapkan dari seorang pasien dengan gangguan kejiwaan yang cukup lama. "Lo tenang ya Ra, gue yakin lo bisa lewati ini semua, gue akan tetap ada buat lo, apapun keadaannya," batin Mery
***
Bara tengah sibuk membawa Pelangi di sebuah mall terbesar di kota ini. Semua handphone keluaran terbaru sudah ia tawarkan. Namun, tak ada satupun yang menarik minat dari seorang Pelangi.
"Kamu ini maunya sebenarnya apa sih? dari tadi hanya berputar-putar saja," protes Bara, pelangi justru tak merespon ucapannya.
"Atau jangan-jangan kau hanya ingin berlama-lama denga
anku, hah?" goda Bara
"Dih, itu perasaan bapak aja kali, bapak juga yang maksa-maksa saya buat kesini kan?"
"Ingat ya, kalau kita di luar, kamu harus memamggilku kakak, sebutan bapak jika kita di lingkungan sekolah saja,"
"Sok muda, udah tua juga,"
"Apa kamu bilang?"
"Bapak tua, wleek..," Pelangi selalu saja mampu membuat Bara kesal sekaligus senang, senyum yang sedari dulu tak pernah ia perlihatkan. Kini sekarang seolah menjadi kebiasaannya jika sidah berada di dekat Pelangi. Entah apa yang ada dalam diri Pelangi, sehingga membuat Bara bisa jatuh hati padanya.
"Cih, bisa-bisanya dia tertawa lepas seperti itu," ucap seorang wanita dari kejauhan