Seorang suster tengah berdiri di tempatnya, niat ingin mengecek kembali kondisi Pelangi yang sedari tadi terlihat begitu lemas. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu ke dalam kamar pasien, susterpun masuk ke dalam kamar itu. Namun, harus di kagetkan dengan kejadian yang ia lihat langsung di hadapannya saat ini.
"Maaf..," terdengar suara suster yang tanpa sengaja melihat Pelangi dan juga Raino yang seperti tengah berpelukan. Dengan tangan Raino yang masih berpegang pada pinggang Pelangi, terlihat dari sisi belakang Raino.
Dengan keterkejutannya Rainopun melepang pegangannya, Pelangi yang sama terkejutnya hampir saja terjatuh kembali, beruntung tangan Raino yang satunya masih sempat menarik Pelangi kembali dan tangan Pelangi menjaga keseimbangan dengan berpegang pada sisi ranjang pasien.
"Maaf sus, tadi saya hampir terjatuh, beruntung ada teman saya yang menolong," Pelangi harus menjelaskan pada suster agar tidak terjadi kesalah pahaman. Mengingat ini adalah rumah sakit, walaupun memang keduanya tidak melakukan hal yang di pikirkan sang suter.
"Iya mbak. Mbaknya kelihatannya udah baik-baik aja ya? Saya pikir tadi masih lemas, makanya saya kembali untuk mengecek kembali kondisi mbak," jelas sang suster sedikit melirik ke arah Raino.
"Alhamdulillah saya udah baik-baik aja sus,"
"Ya sudah kalau gitu saya tinggal dulu ya mbak,"
"Iya sus, makasih ya,"
"Sama-sama."
Selepas kepergian suster, tinggallah Raino dan Pelangi berdua di kamar itu. Pelangi yang terlihat sudah baik-baik sajapun memutuskan ikut dengan Raino, untuk kembali ke ruangan Meli. Mungkin saat ini Meli sudah bisa di jenguk, dan Raino begitu cemas dengan keadaan wanita kesayangannya itu.
"Bagaimana keadaan oma saya, dok?" tanya Raino begitu dirinya tiba di depan pintu kamar rawat Meli dan kebetulan dirinya berpapasan dengan dokter yang baru saja keluar dari kamar Meli.
"Kecelakaan yang di alami pasien cukup parah, sehingga pasien kehilangan banyak darah dan beruntungnya, pasien cepat di bawa ke rumah sakit. Jadi, kita hanya menunngu pasien segera sadar,"
"Maksud dokter oma saya kritis?"
"Dengan berat hati saya harus mengatakan iya,"
"Gak dok, oma saya pasti baik-baik aja kan? Dokter bohongkan?" Raino begitu syok mendengar penjelasan sang dokter, sementara Pelangi mencoba menenangkan Raino yang saat ini sangat kacau, kesedihan Raino membuat dirinya merasakan hal yang sama. Padahal keduanya baru saja kenal dan berteman. Tapi, entah mengapa perasaan sedih Raino begitu lekat juga Pelangi rasakan.
"Kamu yang sabar ya? Kamu harus tenang dan kuat, kita berdoa buat kesembuhan oma ya? Jangan seperti ini, justru ini gak akan merubah apapun dan kamu yang akhirnya sakit juga,"
"Oma Gi, mana mungkin aku bisa tenang melkihat kondisi oma seperti ini,"
"Iya aku tau, tapi yang harus lakukan saat ini hanya berdoa, minta kesembuhan untuk oma kamu, terus-terusan larut dalam kesedihan seperti ini juga gak baik buat kamu, ayo Rai.., aku yakin kamu bisa lalui ini semua,"
"Tapi..,"
"Lebih baik, kita lihat keadaan oma kamu di dalam ya?" ajak Pelangi, mungkin dengan melihat keadaan oma langsung, Raino akan merasa sedikit tenang.
Di tempat lain, Sherly tengah selesai dengan treatmentnya memanjakan diri. Namun, kabar mengeanai Pelangi juga belum ada. Sherly sungguh sangat kesal kali ini, sudah 3 jam dirinya membiarkan Pelangi bersama teman barunya itu. Mencoba menuruti keingan Pelangi. Namun, sepertinya Pelangi tidak ingat waktu dan membuat Sherly mendengus kesal dan murka akan perbuatannya.
"Sepertinya kau ingin bermain-main denganku ya, tikus kecil?" umpat Sherly, yang kini sudah berlalu pergi meninggalkan tempat bermanjanya dan kembali pulang ke rumah.
Dering ponsel dari bendah pipih Pelangi terdengar nyaring, membuat Pelangi tersentak dan segera mengambilnya dari dalam saku dan melangkah keluar dari kamar pasien saat melihat nama kontak dari layar ponselnya.
"Astaga, pasti dia akan marah," pikir Pelangi yang kini langsung menggeser keatas layar ponselnya.
"Ya hallo bun," sapanya dengan lembut, seolah tidak terjadi apa-apa
"Apa kau sudah lupa pulang? Atau terlalu menikmati dunia luar?" tanya Sherly dengan nada kesalnya
"Maaf, tapi..,"
"Pulang sekarang, atau aku tidak akan pernah mengizinkanmu berteman lagi dengannya!" ancam Sherly
"Baik bun,"
Pelangi begitu takut dengan ancaman Sherly, padahal selama ini hidupnya selalu di penuhi dengan ancaman dan ancaman, tidak sedikitpun dia merasakan kebahagiaan dan menikmati hidupnya. Selama ini dirinya hidup dalam tekanan Sherly, entah sampai kapan ia harus hidup seperti ini, tidak ada yang tahu kapan penderitaannya akan berakhir. Atau bahkan seumur hidupnya, Pelangi tidak akan pernah merasakan kebahagiaan hingga ajal menjemputnya, hanya tuhan yang tahu, takdir hidupnya akan seperti apa.
Pelangi kembali masuk untuk mengambil tasnya dan berpamitan pada Raini. Meninggalkan Raino bersama omanya, walau sesungguhnya berat meninggalkannya dalam keadaan seperti ini, namun Pelangi harus segera pulang. Karena Sherly tidak akan pernah main-main dengan ancamannya.
Dalam kegelisahan Pelangi berjalan dengan tergesa-gesa, bingung dengan alamatnya sendiri. Pasalnya ini hari pertama dirinya pergi keluar sendiri dengan jarak sejauh ini. Pelangi berjalan keluar dari rumah sakit, dirinya kini berdiri di tepi jalan. Matanya liar, melihat sisi jalan ke kanan dan ke kiri. Mengamati pengendara jalan yang tengah berlalu lalang, namun tidak ada satu pun taksi yang berhasil dirinya berhentikan. Karena sedari tadi semua taksi yang ia stop dengan melambaikan tangannya ke sisi jalan. Namun, semua taksi yang ia lihat, hanya melewatinya saja. Mungkin ini jam padat dan sibuk, membuat Pelangi semakin lama berada di luar dan itu membuat Sherly mengumpat dan menyumpah serapah di rumah.
"Bagaimana ini? pasti tante akan marah besar," pikirnya dengan bingung sambil matanya terus mengamati pengendara yang beralalu lalang.
Pelangi mengambil ponsel dalam sakunya, berniat mendownload aplikasih ojek online. "Aduh, apes banget sih.., pake acara mati segala, pasti tante makin marah ini?" umpatnya saat melihat ponselnya hanya berlayar gelap. Tidak ada sedikitpun pencahayaan di dalamnya.
Dengan berdecak pinggang, Pelangi kembali fokus pada jalanan, sungguh dirinya tidak tahu harus melakukan apa saat ini hingga tiba dengan segera di rumahnya.
Sebuah mobil sedan berwarna silver tengah menghampirinya, dan membuka pintu kacanya, "Hai cantik sendiri aja, mau kemana?" tanya pria yang berada di dalam mobil itu. Pelangipun mengabaikannya, tidak berniat sedikitpun untuk menoleh pada sumber suara.
"Sombong banget sih?" tanya pria itu kembali, membuat Pelangi melangkah, menjauh dari mobil itu. Namun, justru mobil itu terus mengikuti setiap pergerakan Pelangi.
"Jangan sombong begitulah, sini om temani?" godanya kembali membuat Pelangi ketakutan, sungguh ini pengalaman pertamanya di luar dan di goda oleh pria hidung belang, sepertinya begitu ungkapan yang pas untuk pria di dalam mobil sedan itu.
Pelangipun berlari, dengan langkah kaki yang begitu cepat, seperti tengah maraton. Sekuat dan semampunya dirinya terus berlari, hingga tidak tahu saat ini dirinya tengah berada di mana. Namun pria yang menggodainya itu tidak menyerah dan terus mengejarnya, bahkan di ketahui Pelangi kalau pria itu tidak sendiri, yang kini sudah keluar dari mobilnya untuk mencari keberadaan Pelangi.
"Matilah aku," pikirnya dengan pikiran was-was