"Pa, ku mohon sadarlah," lirih Raino berbicara pada Aditya, namun sepertinya pria itu masih betah dalam tidurnya. Tubuh kelar dan penuh wibawa yang dahulu begitu di idamkan para wanita. Kini bagai bunga yang telah layu, bukan pula Aditya gugur seperti kelopak bunga mawar.
"Pa, sampai kapan aku harus menunggumu, aku ingin mendengarkan suaramu? tak apa jika kau marah padaku, tapi ku mohon sadarlah pa, izinkan aku merasakan menjadi seorang anak," Raino sudah tak mampu lagi membendung air matanya, kini buliran bening yang sempat terbendung itu telah tumpah, kemudian jemari tangannya menyeka buliran bening itu, tak ingin jika Aditya melihatnya menangis.
"Andai papa tau, saat ini oma sama seperti papa, hanya mampu berbaring di ranjang kecil milik rumah sakit, lalu untuk apa Raino di sini? melihat kalian seolah menghindariku, apa kalian gak menganggap aku ada? atau kalian hanya ingin menyiksaku, hah?" lalu, sejenak Raino terdiam, berusaha menahan tangisnya, di pandanginya wajah sendu lelaki yang paling ia sayangi. Walau sejujurnya ada rasa kecewa yang menyelimuti hatinya, bukan karena Aditya memiliki kesalahan padanya, tapi karena kesadaran Aditnya begitu ia harapkan.
"Pa, berjanjilah untuk segera sadar, karna aku sangat menantikan hari itu tiba, kau dapat membalas pelukanku, bahkan kau bisa menjadi teman terbaikku, berjanjilah padaku," Raino mengangat tangan Aditya, mengaitkan kelingling Aditya dengannya.
"Lihatlah pa, kita sudah membuat perjanjiannya, jadi aku sangat menunggu kau menepati janji," ucap Raino dengan senyum yang ia paksakan, kemudian Raino mengusap air mata yang membasahi pipinya.
"Hari ini jadwalku begitu padat pa, harus ke sekolah, trus ke rumah sakit menjenguk oma, belum lagi aku harus ke kantor, huh.., apa papa tidak kasihan padaku? seharusnya masa remajaku dapat aku nikmati, tapi..," Raino terpaksa menghentikan ucapannya, karena dia merasakan sesuatu tengah bergetar dari dalam sakunya. Merasa geli akan hal itu Raino langsung mengambil benda pipihnya dari dalam saku celananya, "Anggi." ucapnya saat melihat nama kontak pada layar minimalis itu.
"Ya hallo Gi," ucapnya setelah mengusap ke atas layar ponselnya
"Apa kamu bisa ke rumahku?" jawab Pelangi dari seberang telepon, sedangkan dalam pikiran Raino sibuk bertanya-tanya.
"Apa aku harus menjawabnya? padahal kamu sudah tau jawabannya," sahut Raino membuat Pelangi tersenyum, walau Raino tidak melihatnya.
"Okey, aku tunggu ya,"
Raino lantas kembali mendekati ranjang sang ayah, berpamitan pada lelaki yang tentu tidak bisa melihatnya. Namun, hal inilah yang selalu Raino lakukan saat akan pergi keluar rumah.
"Aku pergi dulu ya pa? papa baik-baik di rumah ya," pamitnya, kemudian mengecup punggung tangan Aditya.
***
Di sebuah bangunan serba putih di penuhi dengan bunga di pinggiran tembok pemisah, banyak kendaraan beroda empat maupun beroda dua tengah berjajaran, berbaris rapi, seperti tengah mengantri saja. Di tengah bangunan, terlihat ada taman yang begitu luas, dengan rumput indah yang di tata sedemikian rupa, terlihat pula pepohonan yang menjulang tinggi, dengan ranting dan dedaunan yang menciptakan teduh. Desiran angin membuat dedaunan bergoyang berirama, di tambah dengan daun yang jatuh berguguran. Bangku taman yang tersedia, membuat para penghuni mampu merasakan kesejukan, udara yang segar dan jauh dari polusi.
Banyak penghuni yang bersorak, bahkan sesekali berteriak, ada juga yang mengamuk dan terdiam. Lalu gelak tawa terdengar nyaring di lorong. Suara nyanyian terdengar syahdu dengan tangan mendekap sebuah boneka, lalu mengayunkannya ke kanan dan ke kiri. Sesekali wanita itu tertawa, seolah tengah bermain dengan bonekanya.
"Sayang anak mama, eh.., anak mama kok nangis," ucapnya lalu tiba-tina iapun ikut bersedih, seolah merasakan kesedihan boneka yang tengah di gendongnya.
"Cup cup cup cup, anak mama gak boleh cengeng, harus kuat, biar bisa ketemu papa," wanita itu berusaha menghibur bonekanya,
"Papa sebentar lagi pulang sayang, sama adik kamu, kamu jangan nangis ya, nanti mama ikutan nangis," ucapnya kemudian kembali bersedih, sambil terus menghibur boneka yanh ia yakini sebagai anaknya.
"Enggak, gak..," teriaknya sambil membuang boneka itu
"Kau pembunuh, kau pembunuh suamiku, gak..., siapapun tolong aku.., jauhkan dia dariku," teriaknya begitu histeris sambil terduduk mundur, mengesot dengan kaki yang terseret mundur.
Datanglah beberapa wanita dengan berseragam serba putih dengan rambut yang di ikat dengan begitu rapi, tak ada sehelai rambutpun yang di biarkan keluar bahkan sang pemilik rambut tak akan berani mengizinkannya untuk berserakan, menjuntai keluar dari ikatannya jika dalam lingkungan rumah sakit, rumah sakit yang khusus di penuhi dengan pasien gangguan kejiwaan.
"Bu, ibu yang tenang ya?" ucap salah satu perawat, mencoba menenangkan Aranya.
"Pergi, pergi, menjauhlah dariku, hiks hiks," teriak Aranya histeris bercampur dengan isak tangis.
"Iya bu, dia sudah pergi, jadi sekarang ibu bisa tenang," bujuk perawat yang sudah mengusap lembut bahu Aranya
"Gak, gak, dia masih di sana, menjauhlah.., ku mohon kembalikan suamiku," ucap Aranya lirih, begitu pelan. Namun, di akhir ucapannya dia kembali berteriak histeris, bercampur dengan tangis dan tawa. Perawat sungguh kewalahan menanganinya, bahkan salah satu oerawat sudah berlari, meminta bantuan pada dokter agar segera memberikannya suntikan, untuk menenangkan Aranya yang terlihat begitu tidak terkontrol. Kemudian sang dokter tiba dan dengan sekali suntikan, Aranya pun tumbang tak sadarkan diri.
Para suster membawanya ke dalam kamarnya, dengan penuh ke hati-hatian perawat meletakkan Aranya pada kasurnya, kemudian menyelimuti tubuh mungil Aranya, bahkan kini tubuh idealnya terlihat begitu kurus, wajahnya sangat tirus begitu tidak terawat. Padahal selama Aranya hidup bersama sang suami, Aditya. Aranya selalu di perlakukan bagaikan seorang ratu, di manjakan dengan segala fasilitas mewahnya. Tak pernah Aditya membiarkan istrinya murung, ataupun bersedih, kecuali karena kesalah pahaman.
Di depan pagar yang menjulang tinggi, tentunya di pantau oleh pria bertubuh kekar, siapa lagi kalau bukan security yang bertugas menjaga keamanan pemilik rumah. Raino dengan gagahnya mengendarai motor sport dengan jaket kulit dan juga tas ransel, menyambangi kediaman Pelangi dengan gagah berani.
"Permisi pak," ucap Raino tang kini sudah membuka helmnya.
"Eh den Raino, maaf den. Mari silahkan masuk," sahut pria berpakaian serba hitam itu, dengan tanda pengenal Remon, nama yang bagus, bukan?
"Iya pak, sa..,"
"Berangkat yuk," potong Pelangi yang kini sudah melenggang, berjalan menghampiri Raino, dengan membawa tas kebanggaannya.
"Gak pamit sama bunda kamu?"
"Bunda lagi gak enak badan, makanya aku nelpon kamu,"
"Oh, kirain ada apa, aku sampai khawatir loh,"
"Ya maaf,"
Raino adalah sosok pria yang akan menurut hanya pada wanita yang dekat dengannya, yaitu oma. Namun, selama Raino mengenal Pelangi, menambah daftar wanita yang selalu ingin dirinya lindungi. Oma dan juga Pelangi, selama ini tak ada wanita yang berhasil mengusik hatibdan pikiran Raino, apalagi sampai mengacak-acaknya. Semua wanita yang sengaja menampakkan diri untuk mendekatinya, Raino tepis tanpa memperdulikan rasa kecewa mereka. Begitulah Raino, dia akan melakukan apa yang ia sukai dan menolak apa yang tidak ia sukai.
"Temani aku ke suatu tempat ya,"