"Selamat malam pak," sapa asisten Bara yang sudah sedari tadi menunggunya di rumah
"Malam, bagaimana pertemuanmu tadi?"
"Pak Broto tidak ingin melepaskan lahannya dengan harga yang kita berikan pak, beliau meminta harga yang cukup fantastic pak,"
"Shit, kamu lakukan saja sesuai keinginannya."
"Tapi, pak."
"Lakukan dan jangan membuang-buang waktu." Bara memberikan perintah dan kemudian pergi meninggalkan asistennya yang di ketahui bernama Joe. Tentunya Bara tidak lupa membawa serta Pelangi untuk ikut bersamanya, menarik tangan gadis itu dengan erat. Tanpa memperdulikan Pelangi meronta dan berusaha untuk melepaskan tangan Bara yang begitu kuat menariknya.
"Lepasin," pinta Pelangi dengan terus berusaha melepaskan tangan Bara, lelaki itupun akhirnya menurutinya dan tersenyum licik saat melihat Pelangi sudah meringis sambil mengelus pergelangannya yang memerah.
"Apa begini cara bapak memperlakukan wanita? sangat kasar," cibir Pelangi yang kini semakin berani mengeluarkan suaranya.
"Lalu kau ingin aku memperlakukanmu seperti apa?" tanya Bara yang kini berani mendekatkan wajahnya pada wajah Pelangi.
"Berlakulah yang sopan dan menghargai seorang wanita," balasnya membuat Bara merasa tertantang dengan gadis yang ada di hadapannya saat ini. Jarak di antara keduanya begitu dekat, bahkan hembusan nafas keduanya saling beradu, terasa hangat saat hembusan nafas itu menyentuh kulit wajah keduanya.
"Kau sungguh berani rubah kecil," kini bara semakin mendekatkan wajahnya, membuat hidung keduanya saling bersentuhan dan tidak ada jarak sedikitpun di antara mereka. Membuat Pelangi langsung memalingkan wajahnya. Ia terlalu takut, situasinya saat ini akan terjadi seperti film yang sering tantenya tonton di rumah dan Pelangi curi-curi pandang untuk ikut menontonnya.
"Apa? dia memanggilku rubah? mau dia sebenarnya apa sih? kenapa dia harus membawaku ke sini? atau dia berniat menculikku dan meminta tebusan pada tante? mana mungkin tante mau mengeluarkan uangnya untukku, Dih. dasar pria tidak punya hati, beraninya pada anak SMA sepertiku," batin Pelangi dengan tanya yang memenuhi pikirannya. Dengan kepala yang sudah menunduk, takut jika pria yang ada di hadapannya saat ini akan berbuat di luar jangkauan.
"Kau terlihat begitu berani tadi, lalu kenapa sekarang kau justru menundukkan wajahmu?" tanya pria itu yang kini sudah berani menangkup wajah Pelangi, menatapnya lekat.
"A-ku..,"
"Kau bermalamlah, karna banyak hal yang ingin ku diskusikan padamu besok," pinta pria itu dan kini sudah berjalan meninggalkan Pelangi.
"Tunggu, apa maksud bapak?" sungguh ini di luar kendali Pelangi, lalu apa yang akan di katakannya pada Sherly, jika Pelangi tidak pulang ke rumah dan bahkan bermalam di rumah lelaki dewasa yang tidak sama sekali dirinya kenal.
"Entah mengapa, aku begitu tertarik padamu?" sahutnya begitu santai dengan langkah kaki yang terus saja berjalan meninggalkan Pelangi. Namun, bukan Pelangi namanya jika dirinya terima begitu saja tanpa penjelasan apapun. Mengingat tempat ini asing untuknya, bahkan sangat asing.
Pelangi berlari, mengejar pria itu hingga menaikki gundukan tangga dengan langkah kaki yang begitu lebar, membuat dirinya terserimpat dan tentunya dengan sigap pria itu menangkapnya.
"Perasaan apa ini? mengapa jantungku berdetak begitu kencang? Apa aku kena serangan jantung karna hampir jatuh? Tapi gak mungkin, ini hal pertama yang aku rasakan?" batinnya bertanya sambil menatap lekat pada sosok pria yang saat ini sedang menyelamatkannya. Mungkin jika pria itu tidak sigap, sudah di pastikan Pelangi akan terjatuh ke bawah.
"Apa aku begitu tampan, huh?" tanya pria itu, membuyarkan pikiran Pelangi yang kini sudah langsung memundurkan dirinya dan menjauh dari pria itu.
"Apa maksud bapak berkata seperti itu? Menyuruhku menginap di tempat bapak, bapak pikir aku tidak punya rumah apa?" tanyanya begitu kesal dan berusaha menetralkan jantungnya, agar suara detak jantungnya yang tidak beraturan itu tidak terdengar di telinga pria itu.
"Jika kau memiliki rumah, pasti ponselmu sedari tadi sudah berdaring. Bahkan keluargamu pasti akan sibuk mencari keberadaanmu," ucapnya santai, membuat Pelangi berpikir agar bisa pergi dari tempatnya saat ini.
"Sudahlah, nikmati saja tidurmu, dan aku ingin mandi atau kau ingin ikut mandi bersamaku?" tanyanya sambil mengedipkan sebelah matanya, menggoda wanita yang baru saja ia kenal hari ini. Bahkan dirinya mampu menyekap wanita itu, walau dengan protesan yang sudah berulang kali dirinya layangkan.
Pelangi sudah malas meladeni ucapan pria yang belum dirinya ketahuin namany itu, tapi berulang kali dirinya melakukan protes dan penolakan tetap saja pria itu tidak menghiraukannya.
"Sampai kapan bapak akan mengurungku di sini?" tanya Pelangi
"Kita lihat saja besok pagi, ku harap kamu bisa tidur nyenyak malam ini."
Rasanya ingin sekali Pelangi menendang laki-laki itu hingga ke ujung dunia, memusnahkannya, agar tidak ada lagi orang yang mampu mengusik dirinya, bahkan menyekap dirinya hingga terpaksa menginap dan tidak memberitahu Sherly.
"Semoga tante gak akan melakukan apapun pada mama." ucapnya dalam hati, Pelangi cukup tahu bagaimana sifat Sherly selama ini, dirinya tidak akan pernah bermain-main dengan ancamannya.
Kegelisahan begitu menghantui diri Pelangi saat ini, bayangan wajah ibunya kini terlihat jelas dalam pikirannya, seolah nyata. Sosok yang begitu ia rindukan, namun Pelangi begitu takut jika terjadi hal buruk padanya, mengingat Sherly yang begitu kejam memperlakukan dirinya dan juga ibunya.
"Semoga tante bisa sabar menunggu ku kembali dan tidak melakukan apapun pada mama," pintanya dalam doa kemudian mencoba memejamkan matanya, berharap hari esok akan ada kebahagiaan untuknya, walau sepertinya sulit, namun secerca harapan sudah mampu membuatnya tersenyum, semoga suatu saat akan menjadi nyata.
Keesokkan harinya, Sherly sudah terbangun dari tidurnya, mencoba membuka mata dan berharap jika Pelangi sudah pulang, iapun segera membersihkan diri, berharap siraman air akan menyegarkan tubuhnya dan juga pikirannya. Entah mengapa kali ini Sherly sangat yakin, jika Pelangi memiliki alasan atas ketidak pulangannya semalam.
Selesai dengan ritual di dalam kamar mandi, Sherlypun kini sudah berpenampilan cukup menarik, seperti ingin bertemu dengan pujaan hatinya saja, padahal kekasih saja dirinya tidak punya, bagaimana mungkin Sherly akan melakukan kencan.
Dengan memakai dress berwarna biru selutut, tidak lupa dirinya memoleskan bedak tipis dan juga blush on pada pipinya, serta polesan lipstik sugary pink pada bibirnya menambah kecantikan pada tampilannya saat ini.
"Pelangi..," panggil Sherly saat dirinya menuruni anak tangga, namun sepertinya tidak ada tanda tanda kehadiran Pelangi, bahkan Sherly begitu lelah memanggil namanya.
"Apa terjadi sesuatu padanya?" pikirnya yang kini tangannya sudah beralih pada ponsel, dengan nama Anggi yang tertera pada layar ponselnya. Lelah rasanya jari Sherly terus menghubungi nomor ponsel yang berstatus sebagai anak dalam cerita yang dirinya karang sendiri.
Bukan rasa amarah yang menyelimuti benak Sherly. Tapi, kekhawatiranlah yang kini hadir dalam dirinya, dengan nomor ponsel yang Pelangi gunakan berharap akan ada kabar darinya. Namun, tidak sesikitpun ada tanda-tanda kehadirannya.
Sementara di tempat lain, seorang pria sudah duduk manis di kursi bertahta miliknya dengan senyum yang ia sunggingkan membuat Pelangi tersenyum ngeri.
"Apa kamu siap dengan apa yang akan aku ucapkan?" tanya pria itu, membuat Pelangi begitu takut. Namun, kali ini dirinya tidak punya pilihan lain, selain mendengarkan ucapan pria yang sok berkuasa itu.
"Katakanlah," jawabnya seolah menantang.
"Baiklah, sepertinya kamu sudah begitu tidak sabar,"