15.
Rumor Gagal
~Suara-suara sumbang akan terus berbunyi, dan kita tidak pernah tahu dari mana sumbernya. Dan yang benar terkadang terlihat salah. ~
Alex.
copyright©irma karameena the novel & the quotes
***
Setiap mendengar sebuah berita, siapapun sangat mudah terhasut. Rumor itu seperti suara-suara yang menghilang lalu menggema, hilang lalu menggema lagi berulang kali. Dia mungkin mencoba mencari asal suara, namun bisa jadi suara itu muncul dari orang paling dekat dengannya.
"Eh, ternyata Alex itu memalsukan identitas lho," terdengar bisik-bisik tidak enak yang Alex dengar. Sejak dia menginjakkan kaki pagi itu di sekolah.
"Dia bergabung dengan mafia untuk mendapatkan kekayaan."
"Parahnya lagi dia menggunakan itu untuk balas dendam."
Alex duduk di bangkunya dengan memikirkan semua perkataan itu. Pemilihan akan dimulai 5 hari lagi. Semua masyarakat International Liegue School akan melaksanakan pemilu ketua osis.
"Alex, gimana nih? Kalau ada isu kayak gitu posisimu bisa terancam lho," kata Dina.
"Hhhhh... itu pasti kerjaannya si Pupus dan Baskoro. Siapa lagi rivalku sekarang," kata Alex santai.
"Kamu gak bisa santai gini, semuanya sudah menerima rumor ini lho," kata Bagas.
"Hmmmm," Alex tampak berpikir solusinya.
Dari luar terdengar Misca memanggil. Dia membawa selebaran.
"Alex! Lihat ini," Misca memberikan selebaran itu pada Alex. Di dalam selebaran itu ada foto Alex yang sekarang dan foto Alex yang dulu. Hanya berbeda rambut dan penampilan.
"Kalian kembar?" tanya Dina.
Bagas berusaha mengambil selebaran itu. Dia memperhatikan foto itu dengan seksama.
"Kalian memang sangat mirip," kata Bagas, "aku bahkan mengira kalian itu satu orang sampai sekarang. Hahaha."
"Siapa yang menyebarkan dan membuat selebaran ini?" tanya Alex mengernyitkan dahi.
"Bukan kita kok," kata Dina, "mungkin orang ini tahu tentang kalian, Alex."
"Kalau benar. Dia saudara kembarku. Aku akan mencarinya," kata Alex, "dan namanya juga sama ya?"
Alex berpura-pura tak tahu apapun. Dan mengikuti arus sementara waktu. Kemana semua ini akan berhenti?? Isu tentang Alex kembar menguntungkan dirinya setelah rumor mafia itu muncul. Alex yakin orang yang membuat selebaran ini, sangat mengenalnya. Tapi siapa?
Rencana Baskoro dan Puspa gagal! Semua orang jadi berbalik simpati pada Alex. Para siswa menjadi kasihan karena mereka mengira Alex benar-benar kembar. Bahkan isu ini juga masuk di ruang lingkup guru.
"Alex itu kembar ternyata ya?" kata salah satu guru di sana, "awalnya kukira mereka satu orang. Tetapi tidak mungkin juga. Anehnya, namanya juga sama."
"Aku sering khawatir padanya karena Yoga selalu mencari gara-gara," kata Bu Dewi.
"Tapi Ibu kan membiarkan Pak Arka mengeluarkannya waktu itu. Padahal kita semua tahu dia tak bersalah apalagi mencuri," jawab Bu Darma.
"Apa yang bisa kuperbuat? Semuanya tunduk pada aturan para donatur. Lagipula sekarang Yoga dan lainnya keluar dari sekolah. Akhirnya, atmosfir di sekolah lebih terlihat seperti tempat belajar. Bukan tempat berkelahi," ujar Bu Dewi sambil menata-nata buku siswa yang sedang dia koreksi.
Semua mengangguk. Setuju apa yang disampaikan Bu Dewi. Apa yang bisa mereka lakukan? Mereka hanya guru. Keputusan hanya berada dijalur atas, kepala sekolah, yayasan, dan donatur.
***
Sesuai perintah Alex, Marco menyuruh orang-orangnya untuk mengusir istri Ardhy dari toko. Tak hanya rumah, Toko itu juga milik mendiang Ibu Alex. Istri Ardhy sepertinya enggan untuk meninggalkan toko ritel itu.
"Siapa kalian? Ini tokoku!" kata istri Ardhy.
"Pergilah, Ardhy sudah dipenjara seminggu yang lalu," ujar Tomy.
"Apa?" Istri Ardhy kaget. Suaminya itu memang jarang pulang. Dia sering tak khawatir kalau Ardhy tak pulang.
Wanita itu datang ke kantor polisi dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Dia menangis menceritakan semuanya pada Ardhy. Tetapi Ardhy hanya diam saja. Tak bergeming, seolah-olah Ardhy sudah paham istrinya akan mengeluh soal toko.
"Itu bukan milik kita," kata Ardhy.
"Tapi pokoknya itu harus menjadi milik kita!!!! Haaaaah!!!" Wanita ini tampak memaksa dan membentak Ardhy untuk merebut harta itu.
"Apa kau tak lihat aku?! Hah?! Aku sekarang di penjara!" Teriak Ardhy kesal. Para sipir mengawasi mereka berdua.
"Lalu kita bertiga akan tinggal di mana? Selama ini kita tinggal di toko!" katanya sambil menangis seseunggukan.
"Rahmi, pulanglah ke rumah orang tuamu, kumohon," kata Ardhy sedikit melunak. Jam menjenguk sudah habis. Ardhy di bawa kembali oleh petugas.
Rahmi memeluk kedua anaknya. Sesekali mencium kedua pipi mereka. Rahmi memutuskan kembali ke rumah orang tuanya di Jogja. Hidup sederhana. Argghhh! Rahmi tak mau hidup miskin seperti di kampung! Tapi mau bagaimana lagi. Rahmi tak punya pilihan lain. Ardhy harus mendekam di penjara selama beberapa tahun ke depan.
***
Pupus kesal kenapa rumor yang ia buat menjadi bumerang pada pribadinya sendiri. Hampir seluruh siswa menyipitkan mata padanya. Dia juga sudah kehilangan geng Salmon Sosialita. Teman berbagi suka dan duka. Sekarang kehilangan semua kepercayaan warga sekolah. Rasanya sangat pening.
Sepulang sekolah Pupus menghadang Alex di kelasnya.
"Ayo kita bicara," kata Pupus.
Pupus menarik tangan Alex. Entah kenapa genggaman Pupus itu rasanya berbeda dari biasanya. Rasanya hangat dan menyelinap masuk ke dalam hati. Seolah-olah Pupus menjadi sosok yang berbeda di matanya. Dia tak memandang Pupus sebagai sepupu tetapi sebagai seorang gadis pada umumnya.
"Lepasin! Ck, apa sih pegang-pegang," kata Alex menunjukkan wajah dingin.
"Oke, kita ngomong di sini saja," ujar Pupus melepaskan genggamannya.
Mereka duduk di kursi bawah pohon, di belakang sekolah. Angin berhembus sangat pelan. Rambut Pupus ditepa oleh angin kecil. Pupus terlihat sangat menawan ketika dirinya mengibaskan rambutnya itu. Alex tak dapat membohongi itu. Pupus memang cantik. Saat itu sekolah mulai sedikit sepi.
"Cepat kalau mau ngomong. Aku sibuk!" kata Alex.
"Kau pikir aku tidak sibuk?!" kata Pupus.
"Ssssttt, jangan berteriak! Suaramu lebih jelek dari kuda," kata Alex.
"Benarkah?" katanya memasang wajah cemberut, "hhh, oke... Mungkin aku akan kalah di pemilu ini. Tetapi kau sedang menjebakku kan?"
"Menjebak apanya?" Alex mengernyitkan dahi, "kamu suka menuduh-nuduh orang ya?"
"Kau memberikan info pekerjaan itu, agar aku tidak fokus pada pemilihan osis kan?!" Pupus mulai berkacak pinggang dan bangkit dari duduknya.
"Enggak. Aku kebetulan melihatmu dengan seseorang dan aku mendengar pembicaraan kalian. Kau ditawari menjual dirimu kan?" kata Alex.
"Oh... Jadi kau ingin bilang kau sedang menolongku?" Pupus tetap merasa kesal padanya.
"Hmmmm, kau ini keras kepala, berisik, dan yang jelas tak tahu diri. Bukannya terima kasih," kata Alex, "hanya itu yang ingin kau sampaikan?"
Alex bersiap untuk meninggalkan Pupus di sana.
"Tunggu! Kalau kau menang, apakah kau mau menjadikan aku sebagai wakilmu?" tanya Pupus.
"Hahahaa," Alex tertawa puas mendengar perkataan Pupus, "jangan mimpi!"
Pupus mendelik karena jawabannya penolakan mentah-mentah. Beraninya Alex bilang begitu pada Pupus.
"Aku tak akan biarkan gadis sombong sepertimu ada disekitarku," kata Alex, lalu pergi dari tempat itu.
Pupus mengepalkan tangannya dan berteriak seperti sirine menyala, "Aleeeeeeeeeeeeeexx!!!!!! Awaaassss kauuuuuuuuuuuuu!!!"
Alex mendengus mendengar suara Pupus. Kepalanya terasa berdenyut setiap kali suara itu menggelegar. Pupus sialan! Batinnya. Alex menyumbal telinganya dengan jumper jaket yang dikenakannya.
***
to be continued...