17.
Sekongkol
~ Kata bijak mengatakan. Kadang-kadang, memang agak sulit mengungkapkan kebenaran. Tetapi kebenaran punya jalannya sendiri. ~
Marco saat menasehati Alex.
copyright ©irma karameena the novel & the quotes
***
Alex menggunakan topi hitam. Pakaiannya benar-benar rebel seperti dirinya yang dulu. Bajunya tak ada yang beres. Semuanya serba gembel. Sobek-sobek seperti anak jalanan.
"Hei Puspa!" panggilnya.
Puspa sedang mengepel di depan kantor. Alex kasihan melihat Puspa harus bekerja keras seperti itu. Tetapi daripada dia dijual Pras. Lebih baik bekerja jadi office girl. Puspa sudah mengiriminya pesan alamat kantor. Meskipun Alex sudah tahu.
"Kau bekerja seperti ini?" tanya Alex.
"Jangan mengejek kau!" kata Puspa masih asyik mengepel, "awas! Minggir-minggir! Jangan dekat-dekat!"
Alex menangkap kepala Pupus, "kamu nggak pernah berubah ya!"
"Lepas!" katanya dengan jutek, "kamu mau apa? Mau minta duit? Kau pasti nggak sekolah, iya kan? Mau jadi apa kau?!"
"Pertama, sebelum kau marah-marah. Jelaskan padaku kenapa kau bekerja menjadi tukang ngepel?"
"Sialan kau! Aku mengepel gini gara-gara Abang tauk! Pras mau menjualku pada temannya. Ardhy?! Entahlah dia Abang paling payah sedunia!"
"Maksudmu?"
"Dia mengusir kami! Kita maksudku," kata Puspa sambil berkacak pinggang.
"Oh, aku ngerti sekarang," kata Alex, "kan rumah itu dijual. Aku melihatnya saat nggak sengaja lewat. Kalian diusir juga rupanya."
Puspa tampak melamun. Dia teringat saat Ardhy mengusirnya setelah orang itu mengusir Alex.
"Puspa!!" Alex memanggilnya sekali lagi.
"Heh? Apa sih? Kau sekarang tinggal di mana?" tanya Puspa menaruh alat pelnya di pojokan.
Alex menutupi mukanya. Dia khawatir karyawan akan mengenalinya.
"Apa kau juga bekerja?"
"Aku mengemis," jawab Alex sekenanya.
"Apa? Dasar kau!!!" Puspa mencubit pinggangnya, "makanya kau jangan brandal! Setidaknya kau bisa sekolah kalau kau nggak nyuri! Kau nggak akan dikeluarkan!"
"Siapa yang nyuri? Yoga itu menfitnahku," kata Alex, "dan kau percaya saja."
"Aku nggak percaya. Tapi kau diam saja seolah-olah memang kau pencurinya. Makanya lawan dong tuh Yoga! Kan aku sudah mengajarimu untuk menendang bokong mereka?!"
Alex tertawa, "apaan? Kau hanya mengajariku marah-marah gak karuan. Itu nggak menyelesaikan masalah."
Sejenak hening.
"Kau beneran mengemis?" tanya Puspa dengan wajah serius.
"Nggak lah, aku bercanda! Dasar!" Alex mengacak rambut Puspa.
"Kau beneran mirip sama Alex anak baru itu lho! Tapi dia kaya raya tau gak?! Kenapa kau ga ngaku-ngaku jadi kembarannya saja? Kau akan kaya juga nantinya," kata Puspa, "ide bagus kan?"
Alex terkekeh. Puspa, puspa... Alex menggelengkan kepalanya.
"Ya kau bilang saja padanya, kalau aku mau jadi kembaran dia," kata Alex, "lagian mana mungkin aku punya kembaran."
"Siapa tahu lho! Aku saja baru tahu kalau kau bukan anak kandung Ayah," kata Puspa, "kau anak tante Syima dengan suami bulenya. Eh, tunggu! Suami arab?"
Puspa jadi mendadak berpikir serius. Alex menatapnya dengan perasaan lucu.
"Jangan-jangan kau benar-benar punya kembaran, Lex! Nama belakang anak itu orang arab! Pangeran Arab lho! Ku pikir dia sepertinya anak haram. Anak dari perselingkuhan pangeran arab dengan gadis Indonesia. Masuk akal kan?"
Sialan! Si Puspa! Dia ngatain gue anak haram. Alex membatin.
"Ngada-ngada lo! Udahlah! Oh ya, gue sekarang kerja di toko swalayan, toko kita dulu, Pus," kata Alex.
"Toko kita? Toko yang diambil Bang Ardhy itu?"
"Iya, sekarang kan, toko itu udah dibeli orang," kata Alex, "dan, ada lowongan pekerjaan di sana. Jadi aku mendaftar."
"Aku mau juga dong! Buat nambah-nambah tabungan," kata Puspa.
"Eh, kau di sini saja. Nggak capek apa kerja banting tulang, kerja di dua tempat," kata Alex.
"Aku nabung buat persiapan uang kuliah, Lex. Bang Pras juga suka meminta uang padaku! Menyebalkan!"
"Masalah itu, aku akan membantumu. Aku akan memberikan sebagian gajiku padamu," kata Alex.
"Serius?" Puspa mendelik.
"Iya. Gak mau?"
"Mau lah. Daripada gue malak orang," kata Pupus.
"Lo malak orang!? Sekarang jangan lagi deh! Dasar!"
"Tapi bagaimana denganmu? Masa depanmu?" tanya Puspa, "kau bahkan nggak sekolah."
"Jangan pikirkan aku," kata Alex, "eh udah ya, aku ada kerja di pasar malem. Jadi tukang karcis."
"Oh, baiklah...!" kata Puspa.
Alex berlari cepat-cepat meninggalkan Puspa.
"Anak itu kukira bergabung dengan mafia," kata Puspa kembali melanjutkan aktifitas mengepelnya, "ternyata, jadi tukang karcis. Hhh, tinggal di jalanan pasti. Hmmm."
Baskoro dan Yoga mengambil foto keduanya. Alex dan Puspa mengobrol bersama. Dan foto Puspa saat mengepel menjadi office girl.
"Sebarkan saja isu, Puspa bukan gadis kaya lagi, dia menipu sekolah, ternyata menjadi office girl," kata Yoga.
Baskoro mengangguk paham.
"Otomatis Puspa akan kalah dariku," ujar Baskoro.
"Ya, warga sekolah nggak punya pilihan lain lagi. Oh ya, sebarkan juga soal persekongkolan Alex dan Puspa. Buat berita bohong, mereka ternyata bersekongkol untuk memenangkan pemilu ketua osis. Dengungkan isu kalau Alex baru itu sama dengan Alex yang dulu. Dia hanya menyamar," kata Yoga.
"Kau benar, Yog. Kau menelepon nomer telepon Alex yang dulu kan?"
"Ya, aku pikir, dia Alex yang sama. Ternyata Alex yang dulu muncul barusan. Tetapi, biarkan saja, tetap dengungkan di sekolah kalau Alex menggunakan pakaian branded palsu untuk menipu orang," ujar Yoga lagi.
"Kau sebenci itu padanya?" tanya Baskoro.
"Hmmm," Yoga mengangguk mantap, "kau tak punya kesempatan lagi. Mulai sekarang, mulai malam ini. Sebarkan lewat internet. Semua siswa akan tahu tentang rumor ini."
Baskoro langsung melakukan saran dari Yoga.
***
Esoknya. Seluruh warga sekolah menjadi gaduh. Tapi bukan Alex yang paling banyak dibicarakan. Melainkan Puspa. Foto-fotonya sebagai Office Girl tersebar di internet dan semua siswa membicarakannya. Justru isu Alex dan Pupus sekongkol dan Alex itu hanya penipu malah tak terangkat. Isu Pupus yang hanya office girl lebih menarik bagi mereka.
"Pupus itu sudah dikeluarkan lho dari geng Salmon Sosialita," kata Kartika.
"Secara gitu lho, Pupus hanya seorang office girl sekarang," ujar Tasya.
Mereka semua menertawakannya. Semua orang di sekolah membicarakannya. Pupus merasa hina dina hari ini. Benar-benar tak bisa berbuat apa-apa dan semena-mena seperti dulu.
Pupus hanya diam saja tak membalas perkataan mereka. Dia geram kenapa rahasianya menjadi terbongkar seperti itu. Siapa yang melakukannya? Hanya Alex yang diuntungkan dari isu itu. Pupus berpikir, ini pasti ulah Alex! Tapi Alex yang mana? Apa mereka sama? Pupus memutar otaknya.
Argggh!
Pupus merasa gila. Pupus sudah lelah setiap hari meneriaki Alex, tak peduli dia Alex adiknya itu atau Alex yang baru? Atau mereka bersekongkol untuk balas dendam pada Pupus? Dia sadar selama ini lebih sering jahat pada Alex. Apa Alex sedang mengerjainya?! Apa ini pembalasan Alex?
Seharian di sekolah. Pupus tak banyak bicara seperti biasanya. Dia banyak pikiran. Belum lagi dia harus belajar, bekerja, dan mengejar mimpi-mimpinya.
"Apa aku pasrah saja?" kata Pupus pada dirinya sendiri, "biar saja itu Alex menjadi ketua osis."
Pupus berjalan keluar sekolah dengan lunglai. Tak bersemangat. Tapi wajahnya tetap saja cantik. Alex mengawasi Pupus dari kejauhan. Dia bukannya tidak tahu apa yang terjadi di sekolah. Alex meminta Tomy mengawasi Pupus sampai dia pulang ke kos Pras. Alex ingin memastikan Pupus akan baik-baik saja.
"Tuan tidak langsung ke kantor?" tanya Dori.
"Aku ada urusan sebentar," kata Alex.
Di sisi lain. Yoga dan Baskoro sedang merencanakan rencana kedua. Alex menerima surat kaleng sejak di kelas tadi. Isi surat kaleng itu permintaan pertemuan di suatu tempat. Tempat itu sangat sepi. Seperti di sebuah bangunan yang tak terpakai. Di sana Yoga dan kawan-kawan STM-nya telah menunggu Alex.
"Wowww!!! Bos kita sudah datang," kata Yoga mengejeknya. Yoga mengibaskan krah Alex dan menyentuh bahunya, "semuanya mahal! Kau kaya! Punya kuasa! Makanya kau berhasil membuangku ke penjara."
"Jadi kau yang mengirimku surat kaleng?" tanya Alex.
***
to be continued...