20.
Alex Sang Pemenang
~Suara yang tak pernah terdengar, suatu saat akan terdengar ke permukaan. Kita boleh tenggelam dalam kesedihan. Tapi tidak boleh mati.~
Alendra.
copyright ©irma karameena the novel & the quotes
***
Melihat Pupus ambruk, dengan refleks Kresi panik dan langsung berteriak memanggil Alex. Dia mencoba mengangkat kepala Pupus agar tak di lantai.
"Alex!!!" Kreci memanggil Alex lagi. Alex jadi urung ke kelas dan kembali ke kelas Kreci itu. Kelas itu mendadak gaduh.
"Ada apa?" tanya Alex.
"Pupus pingsan, tolongin dia plis!" kata Kreci.
"Apakah aku boleh menolongnya? Dia kan jahat padamu," kata Alex.
"Jadi kamu tahu kalau dia suka memalakku?" tanya Kreci.
Alex mengangguk. Dipandanginya wajah Pupus yang pucat pasi. Ah, anak ini kenapa pingsan di saat Alex bahagia sih? Atau jangan-jangan Pupus sengaja pingsan karena tidak kuat menahan patah hati? Pikir Alex. Ah, mimpi! Mana mungkin Pupus menyukainya. Bagi Pupus, Alex hanya manusia yang layak diludahi.
"Ayo Alex," pinta Kreci, "bawa dia ke UKS."
"Ok, baiklah Tuan putri. Kalau bukan Anda yang menyuruh hamba, hamba tidak akan menolongnya," kata Alex pada Kreci, lantas membopong tubuh Pupus.
"Uh, berat juga ya!" kata Alex. Beda rasanya saat dirinya membopong Kreci.
Alex membawa Pupus ke UKS. Dan para kawanan pelakor tetap saja mengikutinya dan mengerubutinya. Padahal Alex sudah jelas-jelas digandeng Kreci, pacarnya.
Hari ini kenapa sungguh merepotkan bagi Alex. Masa dia harus mau menyuapi Pupus. Dan itu atas perintah tuan putri Kreci. Sangat merepotkan si Pupus!
"Kreci, kenapa sih kamu menyuruhku membantu musuhmu ini?" tanya Alex.
"Kata pepatah mengatakan, jadikan musuhmu seperti teman dekatmu," jawab Kreci dengan polos.
Alex mengangguk-angguk, "ohhhh... oke, baiklah, ayo makan, Pus! Kau kan juga musuhku."
Pupus masih membuang muka pada mereka. Pupus yakin, Kreci sengaja menolongnya supaya dirinya sakit hati melihat kebahagiaan mereka. Pupus benci mereka berdua!! Ini adalah pembalasan dendam tersakit sepanjang sejarah.
"Pergi kalian!" kata Pupus, yang baru saja dia siuman, setelah para perawat UKS mencekokinya minyak kayu putih dihidungnya.
"Ayo kita pergi, Kreci," kata Alex menggandeng tangan Kreci yang sangat mungil dan lembut.
Pupus ingin meludahi Alex itu. Di pemilu lusa, Alex pasti menang. Dilihatnya, Alex semakin mendapatkan simpati semua orang. Entah kenapa hati Pupus terasa sangat nyeri melihat Alex dan Kreci benar-benar pacaran. Kalau saja Pupus bilang iya kemarin, mungkin saat ini dirinya yang Alex gandeng.
"Pus," Baskoro tiba-tiba menjenguknya di UKS.
Baskoro duduk dengan wajah tertunduk.
"Rencanaku bahkan nggak berhasil," kata Baskoro, "aku sudah membuat banyak rumor untukmu dan Alex."
"Apa!?" Pupus langsung bangkit dari berbaringnya, "jadi kamu yang menyebarkan fotoku itu? Saat aku bekerja jadi Office girl?"
Baskoro mengangguk sambil memperbaiki kacamatanya.
Pupus memukul lengan Baskoro sambil menangis.
"Kamu jahat! Kamu jahat! Kamu jahat, Bas! Kamu harus bertanggung jawab!! Gara-gara kamu hari-hariku sangat melelahkan," kata Pupus terus memukul-mukul Baskoro dengan tangannya yang lemah.
Kreci dan Alex yang masih belum benar-benar pergi saling berpandangan. Mereka berdua mendengar pembicaraan Pupus dan Baskoro.
"Kamu nggak jadi ngambil tasmu yang tertinggal?" tanya Kreci.
"Nanti saja," ujar Alex menarik tangan Kreci. Mereka berdua menjauh dari UKS.
Alex tampak menunduk. Wajahnya tampak sedih juga mendengar pengakuan Baskoro.
"Aku tahu isu homo tentangmu," kata Kreci.
Alex menoleh pada gadis kecil itu. Tatapan matanya sangat lugu. Oh, Kreci. Alex tiba-tiba meletakkan kepala Kreci ke dadanya. Dia memeluk Kreci.
"Maafkan aku, Kreci," kata Alex mengelus-ngelus rambut Kreci.
"Aku tahu kamu sedang memanfaatkanku," ujar Kreci.
Kalimat itu membuat hati Alex sakit. Betapa jahatnya dia pada Kreci.
"Tapi aku nggak keberatan jadi pacar pura-pura kamu," kata Kreci melepaskan pelukan Alex.
"Nggak Kreci. Aku serius, aku mau kita pacaran! Aku menganggapnya itu takdir," kata Alex dengan wajah serius.
"Begitu ya?" ujar Kreci dengan polosnya.
Alex mengangguk, "aku mau kita serius, Kreci. Kenapa nggak?"
"Apa kau benar-benar mencintaiku?" tanya Kreci.
Alex terkesiap dengan pertanyaan itu. Tetapi Alex menjawab dengan tegas.
"Kalau aku nggak suka sama kamu, mana mungkin aku mau denganmu, Krec?"
"Sekarang aku percaya," katanya menyentuh kelingking tangan Alex. Kreci memandang Alex dengan mengangkat kepalanya. Alex cukup tinggi baginya.
Alex mengacak rambut Kreci, "syukurlah! Ya sudah kamu balik ke kelas sana! Bentar lagi bel masuk."
"Oke, bye bye Alex," kata Kreci melambaikan tangan seperti kelinci.
Setelah Kreci pergi ke kelasnya, Alex kembali ke UKS. Dia sengaja datang menemui Pupus dan Baskoro. Alex berdiri di ambang pintu UKS. Baskoro dan Pupus terkesiap. Mereka syock Alex tiba-tiba ada di sana.
"Alex?" Baskoro tampak gugup. Alex menghampiri keduanya dengan langkah gontai tetapi tegas.
"Aku sudah mendengarnya," ujar Alex sambil mengambil tas ranselnya yang ketinggalan.
"Alex, tunggu!" kata Baskoro.
Pupus hanya menggigit bibirnya. Dia sangat gugup hari ini. Besok hari terakhir. Pemilu akan berlangsung. Bagi Pupus posisi menjadi ketua osis sangat penting. Selain mendapat gaji bulanan, itu juga bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mendaftar beasiswa kuliah.
"Kau sudah sangat berusaha, Bas," ujar Alex sambil meletakkan tasnya di atas pundak, "tapi menjadi ketua Osis itu takdirku."
Alex meninggalkan ruang UKS dengan wajah masygul. Dia kesal bukan main pada Baskoro dan Pupus. Mereka sudah melancarkan banyak rumor miring tentangnya. Kini, malah Pupus sendiri yang mendapatkan batunya.
"Dasar Pupus!" lirihnya alex saat sudah meninggalkan UKS.
Dua hari kemudian. Pemilihan umum sudah tiba. Tak hanya siswa yang mencoblos tetapi juga guru dan pekerja di sekolah itu. Edisi kampanye sudah ditutup. Semua amunisi kampanye sudah diturunkan. Petugas pemilihan umum dibuat seperti pemilu yang ada di masyarakat. Pak Arka ingin siswa belajar tentang politik.
Seolah-olah semuanya memang sudah ditakdirkan. Pengumuman perolehan suara terbanyak akan di umumkan secara terbuka sore ini juga. Panitia pemilu sekolah sedang sibuk menghitung suara. Semua siswa pun enggan pulang ke rumah.
Kebetulan pemilihan ini tepat di hari sabtu, kantor libur. Jadi Alex tak langsung pulang juga. Semua kandidat duduk di depan panggung. Menunggu garis takdir mereka.
"Alex Waleed SAH!" itu kartu suara terakhir.
SAH..
SAH..
SAH..
Teman-teman kelas Alex menggotong tubuh Alex sebagai pemilik suara terbanyak. Suara gendang ditabuh oleh teman-teman kelas. Misca memanggil tim penarinya. Musik disetel dengan riang. Alex secara resmi menjadi ketua osis. Pupus dan Baskoro turun panggung dengan wajah masygul.
"Kepala sekolah, para guru, dan teman-teman yang setia, terutama Kreci pacarku, saya ucapkan terima kasih sudah banyak mendukungku. Untuk kedepannya mari bekerjasama membangun sekolah kita lebih baik lagi!" Alex berpidato dengan baik menggunakan microphone.
"Yeayyyyy!!!!" semua orang di sana bersorak untuknya.
Terdengar suara riuh tepuk tangan. Dan sesekali terdengar cuitan dari mereka.
"Aku akan mengundang kalian makan malam besok ke rumahku," ujar Alex, "tunggu saja undangannya."
"Yeayyyyyyy!!!!" semua bergembira. Alex menang telak dia mendapatkan 75% suara, 15% untuk Pupus dan sisanya Baskoro dan golput.
Suara gendang yang dimainkan Bagas dan Rony memenuhi seantero sekolah. Semuanya berbahagia dan kemenangan sudah tiba.
***
To be continued...