"Maaf nona, kunci mobilnya?" Seorang pria dengan sopan namun tegas menghampiri Aubrey yang baru saja keluar dari mobil. Dia adalah supir Liam yang ditugaskan untuk membawa mobil Aubrey menuju Gallery miliknya. Aubrey pun keluar dari mobilnya dan menyerahkan kunci pada supir William.
Aubrey masuk kedalam mobil yang dikendarai oleh William dan duduk di sebelahnya.
"Apakah tempat gallery mu jauh dari sini?" Aubrey bertanya sambil memasang sabuk pengaman.
"Lumayan jauh. Sudah siap? Kita berangkat sekarang ya, Aubrey." Ujar Liam dengan ragu-ragu. Wajahnya mengguratkan senyum kegembiraan karena bisa membawa Aubrey ke gallery miliknya yang memajang berbagai macam lukisan hasil karyanya sendiri.
"Okay." Meskipun dirinya dan William hanyalah pacaran pura-pura, namun tidak ada salahnya menunjukkan sedikit kebersamaan di hadapan karyawan William agar perempuan yang mengincar William tidak akan mengejar William kembali. Dan, misi nya pun tuntas tanpa perlu menunggu tiga bulan.
William pun mengendarai mobil dengan kecepatan sedang.
"Aubrey, apakah kamu sudah punya pacar?" William bertanya namun matanya tidak berani menatap perempuan yang memiliki kepribadian tegas dan susah di prediksi itu.
"Sepertinya aku pernah bilang kalau aku tidak punya pacar." Jawab Aubrey dengan wajah juga tidak menatap lawan bicaranya.
"Oh, kalau begitu, aku tidak perlu khawatir akan ada yang marah. Hehehe …" Jawab William sambil terkekeh.
"Liam, ayo kita tuntaskan tiga bulan ini. Aku akan kembali fokus pada karirku, begitu juga kamu. Aku membantumu karena keluargaku punya hutang budi pada keluargamu. Tapi, aku tidak mau menikah dalam waktu dekat ini." Jawab Aubrey dengan mantab.
Liam diam tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Perempuan ini berbeda dari kebanyakan perempuan lain. Perempuan-perempuan lain bila mendengar nama The Knight, pasti berlomba-lomba untuk menjadi calon menantu atau minimal menjadi pacar anak-anak dari The Knight. Tapi, Aubrey justru tidak peduli dan tidak tertarik. Karena baginya, karir lebih diatas segalanya." Gumam Liam dalam hati.
"Hmm, kalau boleh tahu, kenapa kamu lebih suka berkarir?" Liam menggaruk-garuk tengkuk lehernya sesekali.
"Aku ingin bekerja keras dan punya uang banyak sehingga aku bisa membeli apa yang aku inginkan. Mendiang ibuku adalah ibu rumah tangga murni yang tidak bekerja dan juga tidak menghasilkan uang. Ketika bisnis ayahku semakin besar, muncullah perempuan penggoda dan membuat ayahku lupa akan ibuku. Karena ibuku begitu mempercayai ayahku, ibuku tidak peduli dengan rumor buruk yang beredar tentang ayahku dan wanita penggoda itu. Dan, ketika kenyataan itu benar-benar ada, ibuku jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia. Dan, wanita penggoda itu kini menjadi nyonya rumah di rumah ibuku sendiri."Ujar Aubrey menceritakan kisah hidupnya.
"Untuk itulah, aku tidak ingin mengandalkan lelaki untuk menghidupiku. Aku harus mandiri agar lelaki tidak bisa semena-mena padaku." Aubrey menatap William di ucapan kalimat terakhirnya. Pria yang ditatap hanya tersenyum lirih mendengarnya.
"Sungguh aku tidak salah memilih calon istri. Dia bisa mengimbangi keinginanku untuk mencapai tujuanku." Ucap Liam dalam hati.
"Kita sudah sampai." Mobil itu pun akhirnya sampai di sebuah lahan yang sangat luas dan jarak antara pintu gerbang ke gallery juga lumayan jauh. Aubrey takjub melihat ada tempat seluas dan segersang ini dari luar tapi ternyata isinya adalah gallery lukisan.
"Kamu … pemilik tempat ini?" Aubrey masih tidak menyangka kalau pria lugu dan kadang seperti anak kecil ini, ternyata memiliki tempat usaha sendiri.
"Iya, aku bukan pebisnis seperti kedua kakakku. Kemampuan yang aku miliki adalah melukis, dan itu aku dapatkan dari ibuku. Ayo kita masuk." William menunggu Aubrey yang masih terkagum-kagum melihat sekeliling lahan gallery bagian depan. Tempat ini sangat luas, bahkan mungkin lebih luas daripada kampus tempatnya mengajar.
Aubrey dan William berjalan berdampingan menuju gallery. Beberapa karyawan yang kebetulan melihat mereka, menganga tidak percaya. Akhirnya, bos mereka membawa seorang perempuan berjalan masuk kedalam tempat ini. Sejak gallery ini pertama kali dibuka, bos mereka tidak pernah membawa seorang perempuan masuk, apalagi berjalan bersama. Kekaguman mereka bertambah ketika bisa melihat perempuan yang dibawa William dari dekat.
Dengan rambut pirang dan warna mata biru cerahnya juga, ternyata semua keindahan itu ditambah lagi dengan sikap Aubrey yang ramah dan selalu senyum kepada setiap orang yang ditemuinya.
"Gallerymu luas sekali dan teduh. Aku suka tempat ini." Jawab Aubrey spontan. William tersenyum mendengarnya.
"Kantorku ada dilantai dua, apa kamu mau ikut?" Tanya William.
"Tentu saja." Aubrey pun berjalan mengekori dibelakang pria dengan warna rambut putih tersebut.
"Hai, apa kamu tahu siapa perempuan itu? Bos tampak menyukainya." Ujar Neil bertanya.
"Huh, tahu darimana kamu? Membawa seorang perempuan ke tempat kerja, bukan berarti perempuan itu pacarnya. Kamu terlalu berlebihan." Stella meninggalkan Neil yang memanggilnya.
"Bos, ada yang bisa saya bantu?" Stella mengejar Liam dan bahkan menghalangi Aubrey yang berdiri tepat di belakang william. Aubrey yang melihat sikap perempuan yang belum dikenalnya itu, mengernyitkan alisnya.
"Siapa perempuan ini? Kenapa sikapnya tidak sopan sama sekali?" Aubrey bergumam dalam hati.
"Stella, oya kenalkan ini pacar saya. Namanya Aubrey. Saya mengajak Aubrey untuk berjalan-jalan di gallery." Liam berkata sambil melebarkan satu tangannya ke arah Aubrey dengan maksud memperkenalkan diri. Namun, yang tidak diduga adalah Aubrey justru mendekati William dan merangkul pinggang pria tinggi jangkung dengan sikap kadang masih seperti anak kecil itu. William kaget mendapatkan balasan Aubrey seperti itu.
"Hai, namaku Aubrey. Aku baru berpacaran dengan William. Oya, nama kalian siapa?" Aubrey tersenyum manis penuh arti pada Stella dan Neil yang berlari-lari kecil dibelakang menyusulnya. Wajah Stella menampakkan kecemburuan yang teramat sangat.
"Selamat datang di gallery, nona. Nama saya Neil. Dan, nama teman saya ini Stella." Neil mewakili Stella berkenalan dan membungkuk hormat, sebagai pengganti dari berjabat tangan. William tampak bingung mendapat rangkulan tiba-tiba dari Aubrey. Bahkan, Aubrey mengusap kemejanya sambil tersenyum manis dan kedipan menggoda.
"Sejak kapan perempuan ini begitu agresif? Dimana sikap perempuan yang kaku, dingin, dan tidak suka berbasa-basi." Gumam Liam dalam hati.
"Maaf, aku dan William harus segera ke ruangan kerjanya karena jadwal kami masih sangat padat. Permisi. Senang berkenalan dengan kalian. Yuk sayang, kita lanjutkan ke dalam." Aubrey berkata dengan suara manja dan penuh kelembutan pada William yang masih belum mengerti apa maksud Aubrey kali ini.
Namun, pria itu setuju saja dan membalasnya dengan tersenyum senang. Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan menuju ruangan William yang tinggal menaiki anak tangga lebar lalu sampai di dekat ujung anak tangga lantai dua.
"Fyuh, akhirnya …" Aubrey melepaskan pelukannya di pinggang Liam dan menepuk-nepuk kedua telapak tangannya seperti membersihkan sisa rontokan makanan di tangan.