2005
Di bagian barat Inggris, tepatnya di region Lancashire. Sebuah kota kecil bernama Blackpool berada. Di sana, di tepi pantai Lancashire terdapat resort kuno Midland yang populer sebagai tempat liburan keluarga.
Hal itu sangat menggelitik keluarga Hester. Menjelang pertengahan musim di minggu pertama bulan Maret, keluarga yang berasal dari London ini rela menempuh jarak 249 mil. Hanya untuk menikmati liburan mereka. Itulah alasan, kenapa Tuan Hester bersikeras mengajak istri—dan—anaknya untuk singgah selama seminggu di Midland.
"Jadi, apa rencanamu setelah ini, Grace?" tanya Hester kepada putri kecilnya yang berusia 10 tahun.
Putri kecilnya itu sedang bermain dengan adiknya—Korvin, yang saat ini menginjak usia tujuh tahun.
"Aku ingin ke dermaga, Pap... tentu setelah bermain pasir di pantai sore nanti," jawab Grace sambil memandang ayahnya yang tampak merapikan barang-barangnya dari koper.
"Yah... kurasa, 40 pound per—malam tidak buruk untuk memaksa pergi liburan ke tempat kecil ini." Larina, wanita berambut merah itu melingkarkan lengannya kepada sang suami, kemudian mencium bibir suaminya sekilas.
Setelahnya, dia berjalan, menghampiri Grace dan Korvin yang tengah bermain. Kemudian menata beberapa barangnya dari koper.
"Oke... sekarang, kalian bermainlah berdua. Papi dan Mom akan menyusul kalian setelah ini," ujar Hester. Menggantikan pakaian Grace dengan bikini berwarna kuning, kemudian beralih pada Korvin.
Kedua anak berambut merah itu berlarian. Setelah keduanya keluar dari resort. Bermain pasir, kemudian mulai berjalan menuju dermaga yang tak begitu ramai.
Pengunjung di pertengahan musim, memang tidak akan sepadat pengunjung saat musim panas datang. Itulah sebabnya, beberapa penginapan memberikan harga yang lumayan miring.
"Hey, Korvin! Ke sinilah! Jangan bermain terlalu jauh dari pantai, kau tahu!" teriak Grace, melambaikan tangan pada Adiknya.
Embusan angin sore ini lumayan dingin. Cukup untuk membuat tubuh kecil Grace menggigil.
"Sialan kau, Grace! Berhentilah melarangku seperti aku ini bayi!"
"Kau bayi, Korvin! Bahkan usiamu masih 7 tahun!" keduanya saling lempar pasir. Sebelum suasana tenang itu menjadi mecengkam.
Ya, Grace dapat melihat dengan jelas dari mata abu-abunya, jika resort tempatnya tinggal digeledah oleh orang-orang yang tak ia kenal. Orang-orang berpakaian hitam dengan pistol di tangan.
"Aaaa!"
DOOORRR!!!
Grace memekik. Tatkala melihat sosok yang baru saja ia jumpai, dan ia tahu sebagai pemilik resort menjerit bersamaan dengan tubuh limbung karena tembakan pistol.
Mayat pemilik resort itu tampak mengerikan. Matanya terbelalak dengan semburat kemerahan dari darah yang terus keluar dari kepala.
"Grace!" teriak Korvin yang sadar jika sekitarnya bukanlah dalam keadaan aman.
Bahaya sudah mulai datang!
"Grace, Papi! Mom! Mereka ada di sana, Grace!" teriak Korvin panik. Dia terus menarik-narik tangan Grace. Membuat Grace menahan tarikan tangan Korvin dan memeluk adiknya itu kuat-kuat.
"Kita tidak bisa ke sana, Korvin, kau tahu? Kita akan mati!"
"Tapi, Papi? Mom?"
Mata biru Korvin nanar. Hidung pucatnya memerah bersamaan dengan tetesan dari air matanya yang jatuh di pipi.
DOORRR!
Suara tembakan ketiga kalinya. Namun, tidak ada korban yang tampak dibuang keluar dengan menyedihkan.
Grace harus menolong orang tuanya, tak peduli tentang apa pun itu! Namun, ia juga harus menyelamatkan Korvin, adiknya yang paling ia sayang sebelum para manusia jahat itu menangkapnya.
"Larilah Korvy... larilah," kata Grace tergagap. Wajah pucatnya tampak panik, sementara mata abu-abunya terus mengoreksi wajah adiknya yang sudah menangis. " Larilah ke dermaga! Ya... di sana! Aku akan menyusulmu setelah ini, aku janji."
"Tapi, Grace... kau?"
"Aku akan melihat keadaan Pap dan Mom."
"Tapi, Grace... kau akan mati! Mereka... mereka itu monster, Grace!" ucap panik Korvin. Grace membingkai wajah Korvin dengan kedua tangan mungilnya. Mencoba menenangkan adik lelakinya.
"Dengarkan aku, Korvy... aku tak akan mati, sungguh! Aku akan membawa kembali Pap dan Mom dengan kita. Jadi, pergilah ke dermaga nanti aku akan menyusulmu ke sana. Oke? Kau bisa melakukan itu untukku, Korvy?"
Meski berat, akhirnya Korvin mengangguk. Dia percaya dengan Grace lebih dari siapa pun. Dan ia percaya... jika nanti Grace akan menyusulnya bersama dengan Papi dan Mom. Ya, Korvin percaya akan janji kakak perempuannya.
Setengah ketakutan, Korvin berlari sekuat tenaga melintasi pantai yang cukup sepi. Matanya memejam rapat-rapat karena takut jika dia melihat mayat atau apa pun di depannya. Yang ia harus lakukan hanyalah... secepatnya di dermaga, sebab... itu satu-satunya tempat teraman kemudian ia akan bersembunyi di sana.
DOORRR!!
Grace terjingkat. Sesekali dia menelan ludahnya dengan susah. Kedua tangan kecilnya dikepal kuat-kuat, sebelum ia yakin jika pergi ke arah resort adalah keputusan yang tepat. Di depan, dua lelaki perawakan tinggi besar sedang berdiri dengan gusar. Tampak, seorang wanita memakai rok sepaha berbincang serius dengan dua lelaki itu.
Hup!
Grace melompat. Ia bersembunyi di antara kursi. Agar sosoknya tidak tertangkap oleh mata orang-orang jahat.
Setelah Grace yakin jika orang-orang itu tak memperhatikannya. Dia kembali berlari menuju arah samping resort. Mencari pintu belakang untuk masuk agar ia bisa bertemu dengan orang tuanya.
Ia yakin... Papi dan Momnya masih hidup. Keduanya masih berada di kamar sedang membereskan bajunya dan Korvin yang berada di koper. Atau paling tidak, Papi dan Momnya sedang merencanakan untuk membuatkan adik kedua untuknya. Ya... dia harus menekankan itu. Agar bergemuruh di dadanya tidak membuat Grace sesak.
"Tuan Kyle, sepertinya keluarga Bowman tidak ada di tempat ini!"
"Ck!" decak lelaki bernama Kyle. Grace tidak bisa melihat wajahnya, karena jubah hitam itu berhasil menutup tubuh lelaki bernama Kyle dari belakang.
"Cari lagi... setelah ini kita pergi." perintahnya mutlak. Lelaki yang melapor langsung pergi. Menyisakan lelaki bernama Kyle itu sendiri.
Celana jeans yang berlumurah darah. Membuat lelaki itu lebih mengerikan dari pada dua lelaki yang Grace lihat di depan tadi.
Auranya dingin, dan mecengkam. Seolah-olah, iblis sudah bersemayam di dalam tubuhnya.
Grace kembali menelan ludah, saat lelaki bernama Kyle berjalan menuju kamar inapnya. Tidak... tidak! Lelaki itu tidak boleh ke sana!
Belum sempat ia bangkit dari persembunyiannya. Suara Hester meninggi, tubuh papi Grace dicengkeram kuat oleh sosok bernama Kyle. Kemudian, dijatuhkan di lantai dengan cara yang menyakitkan.
"Apa... apa yang kau mau, Tuan?" tanya Hester terbata karena ketakutan.
Dia hanya bertelanjang dada, napasnya terdengar terengah dari dadanya yang naik—turun tak beraturan.
Lelaki bernama Kyle hanya tersenyum, sambil memiringkan wajahnya. Mata Grace menyipit, mencoba mengenali siapa sosok itu.
Tapi, Nihil!
Rupanya, lelaki itu memakai topeng untuk menutupi wajahnya. Topeng berwarna hitam pekat dengan goresan merah yang mengerikan.