"Fyuh, akhirnya …" Aubrey melepaskan pelukannya di pinggang Liam dan menepuk-nepuk kedua telapak tangannya seperti membersihkan sisa rontokan makanan di tangan.
"Aubrey, bisa kamu jelaskan apa yang kamu lakukan tadi?" Liam bertanya dengan sangat hati-hati. Pria lembut ini khawatir kata-katanya bisa melukai hati Aubrey yang sedikit keras kepala dan sangat berkarakter.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan. Ya sudah, kita akan makan dimana? Aku lapar sekali." Jawab Aubrey sambil menarik rambutnya ke depan. Leher jenjangnya yang putih mulus langsung terlihat jelas. William menelan saliva susah payah. Nalurinya sebagai seorang lelaki mulai detik ini diuji dengan tindakan Aubrey yang mempengaruhinya sejak tadi.
"A-aku sudah memesan makanan. Sebentar lagi datang. Kamu duduk saja dulu." Liam menuju kursinya dan duduk sambil membuka laptop yang ada diatas meja.
"Kamu sedang mengerjakan apa? Aku bosan duduk disini tidak melakukan apapun." Aubrey duduk dikursi yang ada dihadapan Liam.
"Aku sedang memeriksa ulang perencanaan pameran lukisan yang akan diselenggarakan satu bulan lagi." Ujar Liam. Aubrey mengangguk-angguk mendengarnya.
Tiba-tiba pintu depan diketuk dari luar. Tok tok tok ...
"Siapa?" Liam bertanya.
Tanpa menyebutkan nama terlebih dahulu, pintupun terbuka dan ternyata yang masuk adalah Ruth, perempuan yang sedang mencari suami di antara salah satu anak The Knight.
"Liam, kamu ..." ucapan Ruth tertahan begitu melihat Aubrey yang sedang duduk manis dihadapan pria incarannya.
"Hai, kita bertemu lagi." Aubrey berdiri dan dengan ramah menyambut perempuan yang akan dinikahkah dengan Liam. Sorot mata Ruth menggelap dan tangannya terkepal kencang. Rencananya untuk mengajak Liam makan minum dan memberinya obat perangsang agar mereka berdua bisa ketahuan tidur bersama lalu dinikahkan segera, tampaknya akan menemui kegagalan.
"Liam, apa kamu mau makan siang? Aku sudah memesan tempat untuk kita berdua makan siang di restoran keluarga. Apa sengaja kesini untuk mengajakmu." Ruth mengabaikan sapaan Aubrey dan berjalan hendak menghampiri Liam. Aubrey tersenyum sinis melihatnya.
"Satu lagi rubah betina yang akan meramaikan rencanaku." Gumam Aubrey dalam hati. Aubrey berencana untuk bisa menuntaskan misi selama tiga bulan dengan baik dan lancar.
"Maaf, aku dan Liam sedang menunggu makanan yang sebentar lagi akan datang. Kami berdua akan makan disini. Apa kamu mau bergabung?" Aubrey lebih dulu mendekati Liam dan duduk di pangkuannya. "Sial, apa yang aku lakukan? Kenapa aku bisa begitu agresif seperti ini?" Aubrey memaki dirinya sendiri dalam hati namun bibirnya tetap menyunggingkan senyuman. Liam tersenyum tipis melihat sikap proaktif Aubrey padanya.
"Ruth, maaf aku ... akan makan dengan Aubrey disini. Mungkin lain kali, kita bisa makan bersama." Jawab Liam untuk menolak secara halus. Namun, Aubrey tidak beranggapan demikian.
"Lain kali? Sepertinya pacarku ini punya rencana untuk selingkuh dibelakangku." Aubrey menatap Liam dengan sorot mata tajam. Liam yang tidak menyadari kesalahannya berucap, hanya bisa menyeringai dengan tatapan lugu dan bersalahnya.
"Maaf Ruth, aku ... sepertinya akan sibuk beberapa hari ini." Jawab Liam takut-takut.
"Pria ini ... tidak mau dekat dengan perempuan itu tapi malah memberikan harapan padanya. Apa dia tidak tahu kalau perempuan mudah terhanyut dengan kata-kata meskipun hanya setitik harapan?" Gumam Aubrey dalam hati.
"Baiklah kalau begitu, aku akan menunggumu makan malam dirumah." Ruth berbalik ingin keluar ruangan dengan menahan emosi yang bergejolak didadanya.
"Maaf nona Ruth, rumah yang kamu maksud itu adalah rumah orangtuan Liam. Jadi, tidak seharusnya kamu yang seorang tuan rumah memerintah pemilik rumah untuk melakukan apapun yang kamu inginkan." Aubrey berkata dengan nada sedikit mengancam.
Ruth berhenti melangkah dan tersenyum sinis. Perempuan itu membalikkan badannya sambil berkata,
"Nona Aubrey, kamu hanyalah seorang pacar yang setiap saat kapanpun bisa putus. Jadi, jangan bangga berlebihan dulu." Ruth mengeraskan rahang dan berjalan keluar sambil membanting pintu.
Liam mengatupkan bibirnya sambil merenung, "Baru kali ini ada perempuan yang memperebutkan aku. Rasanya seperti kamu adalah pria paling tampan dan satu-satunya di muka bumi ini." Gumam Liam dalam hati sambil tersenyum senang.
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Apa kamu senang ada dua perempuan memperebutkanmu? Liam, dengar ya, karena kita sedang berakting maka akting itu harus dilakukan dengan maksimal. Setelah tiga bulan, aku akan berpura-pura tidak mengenalmu jika bertemu dijalan." Aubrey berjalan dan duduk kembali di kursi tamu yang disediakan.
Liam terdiam dan senyuman itu hilang dari bibirnya yang merah merona.
"Maafkan aku, aku ... memang tidak pantas untuk ... menjadi pacar apalagi suami kamu. Bahkan, semua wanita tidak akan ada yang menginginkanku dengan ikhlas tanpa memandang status sosialku." Jawab Liam dengan wajah sedih. Aubrey menghela napas melihatnya.
"Sepertinya ucapanku terlalu keras sehingga melukai hatinya." Aubrey berkata dalam hati.
"Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa hubungan kita hanya sebatas perjanjian saja. Aku yakin diluar sana banyak yang ingin menjadi wanitamu, apalagi kamu memiliki wajah dan tubuh yang nyaris sempurna." Jawab Aubrey malu-malu. Perempuan berambut pirang itu memalingkan wajahnya ke samping. Liam tersenyum tipis melihatnya.
Tok tok tok ...
"Silahkan masuk," Liam berkata.
"Permisi tuan William, makanannya sudah datang." Neil, sang asisten datang dengan satu tangan menenteng dua bungkus makanan dan minuman yang sudah dipesan William.
Liam berdiri dan menyambutnya dengan ramah, "Tolong letakkan diatas meja, Neil. Dan, terima kasih." Neil meletakkan bungkusan makanan itu diatas meja dan pria itu pun berucap.
"Selamat makan siang, tuan William dan nona Aubrey." Ujar Neil sambil membungkuk hormat.
"Selamat makan siang juga, Neil." Ucap William.
"Terima kasih, Neil." Aubrey berkata dengan ramah.
Setelah Neil keluar, Liam duduk di kursi sofa di sebelah Aubrey.
"Ayo kita makan dulu, kamu katanya sudah lapar." Liam memberikan sendok dan garpu pada Aubrey yang diterima Aubrey dengan senyum tipis.
Mereka pun makan siang dengan suasana hening tanpa permbicaraan sama sekali. Selesai makan siang, Aubrey ingin kembali pulang namun Liam meminta perempuan bermata biru itu untuk menemaninya sekali lagi ke suatu tempat.
"Aku akan mengantarkanmu pulang setelah dari sana. Mobilmu pun sudah diantarkan pulang kerumah oleh supirku. Semoga kamu tidak keberatan dan maaf kalau aku tidak ijin sebelumnya." Jawab Liam.
"Kemana kita akan pergi?" Aubrey bertanya.
"Apartemenku." Jawab William singkat.
Aubrey melebarkan matanya, tidak percaya dengan yang didengarnya.
"Apa? Ke apartemenmu?" Aubrey menelan saliva susah payah.
"Seperti katamu, agar akting kita bisa dilakukan dengan maksimal, aku langsung berpikir untuk mengajakmu ke apartemenku. Aku tidak pernah mengajak satu perempuan pun ke apartemenku kesebelumnya, bahkan ibuku juga tidak tahu dimana apartemenku berada. Karena kondisi tubuhnya yang tidak bisa bepergian jauh kemana-mana." Ujar William.