"Kenapa Liam tidak memberitahuku kalau dia mengirim orang untuk membantu di kafe?" Gumam gadis dengan wajah lebih segar itu. Aubrey pun keluar dari kamar dan menemui Liam yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
"Bagaimana? Apakah Aubrey sudah lebih segar?" Liam berdiri dan tersenyum cerah melihat perempuan yang keluar dari kamar tamu di apartemen miliknya.
"Hmm, terima kasih. Oya Liam, kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu mengirim orang untuk membantu di kafe? Aku mengucapkan terima kasih banyak tapi kamu tidak seharusnya melakukan itu. Dua karyawanku sudah terbiasa bekerja sendiri." Jawab Aubrey dengan perasaan tidak enak.
"Aku pinjam bos mereka hari ini jadi aku membayarnya dengan mengirim beberapa orang. Apakah kamu keberatan?" Wajah Liam mendadak murung.
"Tidak tidak, aku senang kamu mau membantu meringankan kesibukan dua karyawanku. Tapi, kamu tidak perlu begitu. Aku kesini bukan untuk meminta imbalan." Jawab Aubrey. Liam tersenyum mendengarnya.
"Jadi, bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?" Aubrey bertanya lagi pada Liam.
"Aku ingin minta tolong pendapat kamu mengenai pameran lukisan yang akan aku gelar satu bulan lagi." Ujar William sambil menyerahkan beberapa lembar sketsa.
"Apa? Kamu meminta tolong padaku? Kamu salah orang. Aku tidak mengerti apa-apa soal lukisan. Aku hanya tahu tentang mengajar dan kopi. Selain itu aku tidak tahu apa-apa sama sekali." Ucap Aubrey sambil bergeleng-geleng.
"Ini adalah beberapa sketsa mentahan yang aku buat. Aku ingin kamu memilihnya mana yang pantas untuk dipajang saat pameran nanti." Ujar Liam dengan sikap tenang. Aubrey yang tidak tahu menahu soal lukisan, memaksakan diri mengambil beberapa lembar kertas yang ada di atas meja. Perempuan itu mengambil semua kertas dan duduk diatas sofa sambil mengamati satu persatu semua sketsa lukisan tersebut.
"Ini semua baru sketsa? Tapi kenapa bisa sebagus ini? Kamu memang sangat berbakat dan pandai melukis." Ucap Aubrey dengan spontan memuji. Liam tersenyum senang mendengar pujian dari perempuan yang dicintainya.
"Apakah perempuan yang sedang membuat kopi ini aku? Lalu, perempuan yang sedang mencatat pesanan juga aku? Dan ini ... perempuan yang sedang mengajar juga aku? Jangan bilang aku terlalu percaya diri karena semua ciri-ciri perempuan ini mirip dengan aku." Aubrey menatap William yang tersenyum tipis.
"Benar, itu semua adalah lukisan tentang kamu." Jawab Liam dengan jujur.
"Kenapa harus aku yang dilukis? Aku tidak merasa pantas untuk menjadi artis dalam lukisanmu." Jawab Aubrey dengan lirih. William menyandarkan tubuhnya di belakang sofa sambil menggenggam gelas minuman yang ada diatas meja.
"Karena, aku akan lebih lancar melukis kalau objek lukisannya adalah yang aku sukai. Jariku akan lentur saat memegang kuas kalau aku menyukai apa yang aku lukis." Jawab Liam dengan menundukkan wajahnya. Aubrey mengatupkan bibirnya.
"Apakah pria ini sedang menggodaku? Kenapa dia semakin berani berkata-kata padaku? Huft, ternyata dibalik penampilannya yang polos, tersimpan keberanian yang besar untuk mengucapkan kata-kata pujian." Ujar Aubrey dalam hati.
"Kalau begitu, terima kasih. Tapi, bukankah kamu harus membayar royalti padaku?" Ucapan Aubrey membuat William melongo. Untuk sesaat pemuda itu terdiam tidak mengerti.
"Cih, aku hanya becanda. Kenapa wajahmu tampak serius begitu?" Kali ini Aubrey yang menggoda William dengan kata-kata singkat. Namun, pria dengan wajahnya yang putih itu langsung terlihat merona tersipu malu.
Akhirnya, selama lebih dari satu jam, Aubrey dan William hanya duduk dan membicarakan berbagai hal tentang lukisan. Terkadang Liam juga bertanya tentang kesibukan Aubrey yang mengajar sekaligus membuka kafe.
"Hari sudah mau malam. Aku harus pulang sekarang." Aubrey melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.
"Aku antarkan kamu pulang. Kamu tunggu dulu aku yaa." Liam masuk kedalam kamarnya dan mengambil jaket kulit warna coklat. Sepanjang jalan dari keluar kamar sampai di hadapaan Aubrey, perempuan berrambut pirang itu terpesona hampir tidak berkedip menatap Liam yang berjalan kearahnya.
"Aubrey, kamu lihat apa?" Kini posisi berdiri mereka hanya berjarak kurang dari sejengkal, namun Aubrey belum kembali pulih dari melamunnya.
"Oh, maaf, aku lihat ... lihat, apartemen kamu. Apartemen kamu bagus sekali. Suasananya membuatku nyaman dan betah disini." Jawab Aubrey dengan gugup lalu perempuan itu memalingkan wajahnya ke samping. Liam tersenyum melihat Aubrey panik.
"Kalau kamu betah, kamu bisa sering-sering mampir ke apartemenku. Aku tidak pernah mengajak perempuan lain kecuali kamu." Jawab William sambil menggaruk-garuk tengkuknya lehernya. Kebiasaan William jika gugup atau malu.
"Sudahlah, ayo antarkan aku pulang. Aku juga sudah tidak ada mobil saat ini." Jawab Aubrey sambil melangkah keluar pintu. William tersenyum senang dibalik punggung Aubrey. Perempuan yang pelan-pelan akan dipinangnya menjadi istri itu, memiliki karakter yang keras kepala namun lembut jika sudah mengenal dengan baik. Jadi, William perlu waktu lebih lama untuk menundukkan perempuan yang punya prinsip kuat itu.
"Ayo, kenapa sekarang kamu yang melamun? Cih!" Aubrey berdiri di pintu menunggu Liam yang menyusul keluar.
"Oh okay." Mereka berdua pun keluar dari apartemen dengan langit yang masih agak cerah.
"Kamu mau langsung aku antarkan pulang atau ke kafe dulu? Mungkin kamu mau lihat tokomu hari ini." Liam bertanya pada Aubrey sambil berjalan menuju lift..
"Sebenarnya aku mau lihat kafe dulu. Tapi, aku khawatir kamu kemalaman mengantarku pulang. Karena aku juga tidak bawa mobil." Ujar Aubrey menimpali Liam.
"Aku antarkan ke kafe lalu aku antarkan pulang juga nanti." Jawab Liam sambil tersenyum ceria.
"Bisakah? Aku jadi merepotkanmu." Jawab Aubrey.
"Justru aku yang merepotkanmu hari ini." Aubrey dan Liam terdiam didalam lift.
Namun, sesuatu terjadi di lift yang mereka sedang berada didalamnya. Lampu didalam lift mati dan lift seperti bunyi gesekan.
"Aaaah, apa yang terjadi? Aku takut!" Aubrey dan Liam tidak bisa melihat satu sama lain. suasana didalam lift gelap gulita. Pria dengan rambut silver itu teringat ponselnya dan menyalakan lampu senter dari ponselnya.
"Tenang Aubrey, tenanglah, jangan panik. Baru kali ini apartemennya seperti ini." Liam menghampiri Aubrey yang duduk menekuk lutut di pojokan lift. Kondisinya yang sangat ketakutan membuat Liam harus lebih siaga agar tidak panik. Pria itu memeluk tubuh Aubrey untuk menenangkan dirinya. Aubrey spontan memeluk kembali tubuh Liam erat-erat. Perempuan itu tidak peduli lagi yang penting dia merasa nyaman. Liam memencet tombol darurat di panel tombol angka lift.
"Tolong, saya dan pacar saya ada didalam lift lantai 20. Kami terjebak disini karena lift tiba-tiba mati dan lampunya juga tidak menyala." Liam berkata pada seseorang yang menyahut dari bilik suara itu.
"Tuan William, mohon maaf sedang ada gangguan listrik. Kami akan segera memperbaikinya. Mohon tunggu sebentar." Ujar pria dibalik suara tombol darurat.