"Tolong, saya dan pacar saya ada didalam lift lantai 20. Kami terjebak disini karena lift tiba-tiba mati dan lampunya juga tidak menyala." Liam berkata pada seseorang yang menyahut dari bilik suara itu.
"Tuan William, mohon maaf sedang ada gangguan listrik. Kami akan segera memperbaikinya. Mohon tunggu sebentar." Ujar pria dibalik suara tombol darurat.
"Aubrey, kamu tenanglah. Kita akan keluar dari lift ini dengan selamat." Terdengar suara isakan tangis perempuan tangguh yang selalu Liam lihat. Ternyata dibalik ketegarannya, perempuan ini menyimpan ketakutan tersembunyi.
"Aku takut, Liam. Aku ingin segera keluar dari ruangan ini." Pelukan perempuan itu semakin erat menempel erat di dada Liam yang bidang dan atletis. Liam pun memeluk balik sekedar untuk memberikan kenyamanan pada perempuan yang telah menjadi kekasihnya itu. Meskipun sebenarnya, baru kali ini Liam memeluk seorang perempuan bahkan sangat erat. Dada Aubrey yang cukup besar menekan erat dada Liam yang membuat pria itu sedikit gugup.
Tidak sampai 15 menit, pintu lift pun bisa dibuka. Beruntung, kabel lift tersebut tidak bermasalah sehingga mereka bisa keluar dari lift tanpa harus mengalami kesulitan. Aubrey masih belum bisa berdiri dengan sempurna. Kakinya masih gemetaran. Liam mengajak Aubrey kembali ke apartemennya. Melihat perempuan itu tidak bisa berjalan dengan baik, Liam pun membopongnya dengan kedua tangannya. Aubrey menyembunyikan wajahnya didada Liam dan mengeratkan kedua tangannya di leher pria bermata biru dan berambut perak tersebut.
Setelah sampai didalam apartemennya kembali, Liam mendudukkan Aubrey ke atas sofa ruang tamu. Lelaki itu pergi ke dapur mengambil segelas air dingin untuk membuat Aubrey sedikit tenang dan nyaman.
"Aubrey, minumlah." Liam menempelkan gelas itu ke tangan Aubrey dan perempuan itu pun menggenggam dan minum dengan beberapa tenggakan.
"Terima kasih Liam. Maafkan aku jadi merepotkanmu." Bibir Aubrey masih bergetar berkata-kata.
"Tidak apa-apa. Justru aku yang minta maaf atas kejadian ini. Kamu jadi mengalami kejadian seperti ini." Jawab Liam dengan wajah memelas.
Aubrey yang merasa bersalah telah membuat Liam sedih, memberanikan diri untuk menceritakan phobianya itu.
"Dulu, sewaktu aku masih kecil, aku pernah terkunci di ruangan yang sempit dan gelap. Aku ingat betul itu ulah Chesa dan ibunya. Mereka mengurungku di dalam lemari pakaian yang dikunci dari luar. Aku tidak bisa berteriak karena kehabisan suara. Mereka tidak ingin aku menghadiri pesta ulang tahun ayah yang diadakan di hotel ternama. Seluruh pelayan didalam rumah dilarang menbantu aku untuk keluar dari lemari baju tersebut. Sejak saat itu, aku trauma dengan ruangan sempit dan gelap. Napasku terasa akan berhenti berdetak seketika." Ucap Aubrey sambil terus menundukkan wajahnya.
Liam diam saja mendengar cerita perempuan yang sebenarnya rapuh dari dalam itu meski terlihat tangguh di luar.
"Kenapa mereka bisa sekejam itu padamu?" Tanya Liam.
"Entahlah, huh, sejak saat itu aku mengabaikan mereka dimanapun kapanpun. Aku tidak pernah menganggap mereka ada." Jawab Aubrey sambil tersenyum sinis, mengenang kejadian beberapa tahun yang lalu itu.
"Kalau bukan karena ayah yang melarangku tinggal di luar rumah, aku akan tinggal didalam kafe. Aku tidak peduli dengan gengsi, selama aku bisa makan dan tidur dengan nyenyak, dimanapun aku bisa tinggal." Jawab Aubrey dengan tatapan kosongnya ke dalam gelas yang sudah kosong dalam genggamannya.
Liam merasa kalau hidupnya sudah sangat berat dengan perlakuan kedua kakaknya, ternyata ada perempuan yang lebih berat dan terpaksa menanggung semuanya sendiri, tanpa kehadiran seorang ibu disampingnya. Dan, Liam masih bersyukur masih ada ibu yang berada di pihaknya.
"Sekarang Aubrey punya aku. Aubrey, bagaimana kalau ... kamu tinggal di apartemenku ini saja?" Spontan Aubrey menatap mata Liam dengan tajam. "Ma-maksudku, apartemen ini tidak ditinggali siapapun alias kosong. Aku tinggal dirumah sama mommy karena mommy tidak ingin aku tinggal sendirian diluar. Jadi, Aubrey bisa tinggal disini kapanpun selama Aubrey suka." Liam tersenyum lirih menatap sorot mata tajam Aubrey yang mungkin menyangka dirinya adalah pria mesum dan suka memanfaatkan keadaan. Namun, sorot mata Aubrey kembali meredup.
"Oh begitu." Perempuan itu melihat sekeliling dalam apartemen Liam. "Ruangan sebesar dan semewah ini, apa kamu tidak menyesal kalau aku tempati akan berubah menjadi apa nanti?" Ucap Aubrey sambil tersenyum manis pada lelaki lugu yang kadang terlihat mendominasi.
"Memangnya Aubrey mau buat apartemen ini seperti apa? Aku percaya kamu tidak akan berbuat macam-macam. Justru kalau ditempati oleh perempuan, apartemen ini akan semakin terawat. Benar bukan?" Ucap Liam sambil terkekeh.
"Benarkah? Aku boleh menempati apartemen ini? Aku akan tinggal sendiri dan aku pasti akan menjaga kebersihan apartemen ini sepenuh hati." Jawab Aubrey. Bagaika pucuk dicinta ulam pun tiba. Aubrey sudah lama ingin keluar dari rumah ayahnya agar hatinya bisa tentram. Kini dengan tinggal di apartemen William, pasti ayahnya setuju saja. Pikir Aubrey.
"Deal! Mulai besok, kamu tinggal disini yaa. Barang-barang Aubrey dirumah akan diurus oleh orang-orangku mulai besok." Jawab Liam dengan semangat.
"Tidak tidak, aku tidak akan bawa banyak barang. Aku hanya bawa 1 koper pakaian ganti dan laptop. Aku bisa membawanya sendiri besok." Jawab Aubrey sambil tersenyum.
"Baiklah kalau begitu, aku senang akhirnya apartemen ini berpenghuni juga." Jawab Liam sambil terkekeh dan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
"Aku yang senang dan sangat berterima kasih karena kamu ... mau menyewakan apartemen ini untukku." Jawab Aubrey kembali.
"Sewa? No, bukan sewa. Pakai saja sampai kapanpun tanpa perlu membayar sewa. Apartemen ini tidak untuk disewakan." Jawab Liam.
"Tapi ..."
"Sudahlah, kamu mau tinggal disini saja aku sudah senang. Sekarang bagaimana? Mau aku antarkan pulang atau kamu langsung tinggal disini saja? Orang-orangku akan kerumah Aubrey untuk mengambil pakaian dirumah." Ujar Liam.
"Aku pulang dulu, sekalian berpamitan sama ayah. Besok aku akan kesini sebelum berangkat mengajar untuk menaruh koper." Ujar Aubrey pada Liam yang dibalas dengan anggukan Liam.
"Baiklah kalau itu mau kamu. Ayo, aku antarkan pulang." Liam mengambil gelas yang ada ditangan Aubrey dengan lembut dan meletakkannya di atas meja mini bar. Lelaki gentlemen itu membantu Aubrey untuk berdiri dari duduknya. Aubrey tersenyum pada Liam dan dibalas dengan senyuman malu-malu oleh Liam.
Karena terlalu lama duduk, betis Aubrey keram sehingga perempuan itu mendadak lemas saat hendak berdiri dan tiba-tiba terjatuh lagi keatas sofa. Tangan Liam yang menggenggam tangan Aubrey pun menjadi ikut tertarik sehingga keduanya terjatuh ke atas sofa dengan posisi Liam berada diatas Aubrey dalam keadaan menindih tubuh Aubrey yang terbaring sempurna diatas sofa panjang. Ciuman spontan pun tak terhindarkan diantara sepasang anak muda yang belum pernah berciuman sama sekali.