Chereads / Ain't About Us / Chapter 2 - Awal Yang Manis

Chapter 2 - Awal Yang Manis

Senandung lumayan merdu keluar secara halus melewati celah bibir tebal si pemuda bertubuh tinggi. Mematut diri di depan cermin yang menampakan visualisasi dari pahatan indah layaknya patung yunani, otot-otot menonjol di seluruh bagian tubuh tak tertutupi kain, membuatnya seperti seorang pria mapan yang menduduki posisi tinggi di sebuah perusahaan. Penggambaran dari tokoh CEO muda yang sering dipaparkan di setiap novel romansa.

Hanya saja, semua bayangan menggiurkan tadi terkesan pudar saat pemuda tersebut memakai pakaian dengan logo 'REDCLIFF Senior High School'.

Benar sekali, lelaki yang dikira sebagai pria mapan pemilik perusahaan ternyata hanya seorang murid SMA, tidak lebih dan tidak kurang. Tak seperti dalam film atau drama kebanyakan, tentang si pemeran utama laki-laki yang juga mendapat tanggung jawab mengelola perusahaan, lelaki satu ini benar-benar hanya seorang murid sekolah biasa saja.

Namanya Theodore Junior Anderson, pemuda berumur 17 tahun yang kini tengah berada di semester akhir kelas 2. Mengenai sebuah perusahaan, well, sebenarnya keluarganya cukup terkenal dengan banyaknya gedung-gedung tinggi besar menjadi aset utama, sebuah perusahaan raksasa yang berkembang di berbagai bidang. Dari pariwisata, agrikultural, hiburan dan properti. Sayangnya, dia bukan anak multitasking yang mampu mengelola hal sebesar itu di usia muda. Gambaran seperti di banyak novel atau film terkesan berlebihan. Setidaknya Theo harus menunggu sampai dia lulus dari perguruan tinggi dengan nilah cumlaude. Dan, itu bukanlah perkara mudah tentunya.

Theo menarik simpul dasi hingga berada tepat di perpotongan leher. Seragam putih bersih berpadu dengan dahi hitam sangat pas membalut tubuh atletisnya. Theo tersenyum lima jari ke arah cermin, memperlihatkan gigi-gigi besar rapat nan putih. Kesannya memang narsistik, tapi berkat itu kepercayaan dirinya langsung melonjak tinggi.

Ini adalah hari pertama ujian akhir semester sebelum pembagian rapor. Sudah semalaman suntuk dia menghafalkan beberapa materi ujian.

Semuanya sudah dipastikan terkunci rapat dalam memori otak. Kenapa bisa begitu? Alasannya simpel, karena Theo telah menghabiskan waktu belajar dengan ditemani oleh gadis yang sangat dia cintai.

Rachelle Silvana Williams

Seorang guru les privat yang telah menjadi kekasihnya sejak masa awal SMA. Meski jarak umur mereka terpaut lumayan jauh, tapi Theo sama sekali tak peduli. Yang dia perlukan hanya balasan cinta dari si guru les, dan dia sudah mendapatkannya.

Pertemuan mereka terkesan simpel tapi manis.

###

Kembali pada beberapa waktu lalu, tepatnya setahun setengah dimana seminggu sebelum ujian penerimaan murid SMA berlangsung. Sebenarnya Theo cukup pintar, bahkan dia pernah mengikuti perlombaan akademi ketika SMP, tapi perihal tes masuk sekolah favorit bisa dibilang tak boleh diremehkan. Karena itu seorang guru les privat didatangkan.

Angin berhembus pelan, menerpa dedaunan di atas, menerbangkan helaian rambut pendek berwarna coklat muda.

Lelaki remaja terlihat duduk bersandar di atas kursi santai di paviliun belakang. Jemarinya bergerak dengan liar, menekan dan menggeser sebuah benda berbentuk pipih hitam dengan layar menampilkan karakter yang sedang berkelahi. Tak ada suara dari mulutnya, dia memainkan game cukup tenang. Tak benar-benar tenang karena suara sedikit berisik timbul saat dia menekan tombol pada permukaan benda tipis itu.

Sampai di satu waktu, saat sebuah tangan halus yang, Astaga! Theo berani bersumpah jika aroma harum semerbak merasuk ke dalam indera penciumannya dengan sangat sopan. Reflek kepalanya menoleh ke arah kanan dimana sesosok bidadari sedang tersenyum manis ke arahnya. Sekali lagi, KE ARAHNYA!

"ASTAGA!" Theo tersentak, hampir saja jatuh dari kursi, tapi ternyata ada sesuatu lain yang telah jatuh. Hatinya.

"Hai~" sapa si bidadari -Theo sudah yakin dengan itu, manusia belum tentu memiliki kecantikan yang tak wajar seperti ini. "Apa yang sedang kau mainkan?" si gadis mendudukan diri tepat di samping Theo.

"Tekken 5," sahut Theo dengan suara terlampau lirih.

"Apa?" Merasa kurang menangkan jelas jawaban tersebut, si Bidadari mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Theo. Yang mana membuat wajah remaja lelaki baru memasuki masa puber menjadi merona, sampai ke telinga.

"TEKKEN 5!" Saking gugupnya tanpa sadar Theo mengeraskan suara, hampir berteriak, lalu dengan cepat dia langsung menutup mulutnya sendiri. Dia pasti sudah terlihat seperti seorang idiot.

Yah, bagaimana tidak gugup, dengan jarak teramat dekat seperti sekarang, bahkan lengan si bidadari sudah menempel sempurna dengan lengannya. Aroma Citrus menyegarkan, antara lemon dan jeruk, sangat cocok berpadu dengan senyum ceria yang terpampang jelas di wajah sempurna si wanita.

"Bisa kau perlihatkan bagaimana cara mainnya?" tanya si Bidadari semakin menyamankan duduk di dekat Theo.

Sementara Theo berusaha mati-matian untuk tak salah tingkah, meski usahanya percuma saja jika melihat bagaimana wajahnya sudah berubah menjadi kepiting rebus.

Jemari remaja lelaki itu bergetar dengan sendiri, entah sejak kapan tombol-tombol di Switch nya menjadi sangat keras. Ditambah matanya tak bisa fokus pada layar menyala di tangannya, selalu saja bergerak-gerak melirik diam-diam ke arah kanan, tepatnya wajah di Bidadari yang malahan terlihat lebih fokus daripada dia sendiri.

"Whoaa, kau cukup hebat dalam permainan ini.." pujian dari si Bidadari sontak membuat hidung Theo kembang kempis, dia malu tapi bangga juga disaat bersamaan.

"Ah.. Yeah.. bisa dibilang begitu.." balas Theo, tulang pipiya sudah menonjol akibat menahan senyum.

Si Bidadari menjauhkan tubuhnya dari sisi Theo, membuat si anak lelaki jadi merasa kecewa. "Bagaimana jika kita saling beradu?"

"Kau bisa main game ini juga?" binar di kedua bola mata Thep berkerlap-kerlip. Kurang sempurna apalagi, sudah cantik, wangi, bersuara merdu dan jago bermain game.

"Bukan game ini," sahut si Bidadari. "Aku punya tebak-tebakan, jika kau bisa menjawabnya kurang dari tiga detik kau menang, bagaimana? Mudah bukan?"

Theo mengangguk antusias. Bukan karena tertarik dengan permainan yang ditawarkan, melainkan karena dia sudah terhipnotis pada senyuman indah sang bidadari.

"Okay, siap-siap yah..." Bidadari itu menatap lurus ke dalam bola mata Theo, membuat lelaki tersebut merasakan perasaan aneh di dalam perutnya. Seperti digelitiki dari dalam, membuat Theo semakin tak bisa menahan senyum. Sebentar lagi dia pasti akan dianggap gila karena tersenyum tanpa alasan.

"Siapa nama Presiden ke-3 Amerika Serikat?"

"Eh?" Kelopak Theo berkedip beberapa kali setelah mendengar pertanyaan tersebut.

"Satu..."

"Eh?!" Kemudian, secara cepat menyadari bahwa dia tak salah dengar. Dari segala hal di dunia ini, Theo paling benci tentang sejarah atau tugas menghafal sejenisnya, dia lebih suka Sains yang bisa digunakan di masa depan.

"Dua..."

Hitungan masih berlanjut dan sialnya Theo tak bisa berpikir dengan jernih saat di tekan seperti ini.

"Tiga..."

Entah Theo salah lihat, atau senyuman Bidadari di depannya berubah menjadi seringai kepuasan.

"Ternyata kau tidak hebat dalam permainan dengan level rendah seperti ini."

"A—apa tidak ada yang lain? Aku mungkin bisa menjawab pertanyaan lainnya!"

"Tidak ada," Bidadari tersebut bangkit dari kursi hendak pergi dari Pavilliun ini. Namun sebelumnya dia menoleh ke arah Theo yang tengah memasang wajah kecewa. "Sebagai hukumannya, kau harus berhenti membuang-buang waktu dengan bermain game. Lalu, mulai besok kita akan belajar bersama. Di sini, di Pavilliun ini."

Setelahnya Theo tak bisa tidur semalaman karena jantungnya berdetak tak karuan saat memikirkan Bidadarinya.