Butuh sekiranya beberapa penjelasan dan pengulangan untuk memberitahu seberapa bahayanya ketika orang lain juga mengetahui hal ini. Terutama jika ayah Theo mengetahui perihal hubungan anaknya dengan guru les itu, bisa-bisa Rachelle akan langsung dipecat.
Jean mengangguk paham setelah mendengar, tetapi ada syarat yang harus dilakukan Theodore untuk menjaga rahasia ini tetap aman.
Seporsi sandwich tuna untuk sarapan dan es krim mint choco ketika makan siang. Harus disediakan setiap hari, tanpa ada jeda, meskipun itu libur.
Theo bahkan harus rela hari minggu berharganya hilang karena pergi ke seven eleven hanya untuk membeli makanan itu yang nantinya akan dia antarkan ke rumah Jean. Asal tahu saja, jarak rumah Jean memang cukup dekat dari sekolah. Tapi butuh sekitar setengah jam dari Seven Eleven ke rumah gadis tinggi itu. Pengorbanan agar tetap menjaga rahasianya.
Meskipun awalnya berat. Theo sering melewatkan makan siang, menghabiskan waktunya di jalan, tetapi Jean benar-benar menepati janjinya. Sampai mereka berada di sekolah menengah atas dan Rachelle masih tetap menjadi guru les untuk Theodore. Juga Theo yang tetap menjadi pesuruh jean Jean dalam hal membelikan sarapan dan makan siang hingga saat ini.
"Jangan lupa, Tuna dan ekstra mayonaise pedas~" Jean kembali mengingatkan sebelum dirinya berbelok ke arah kanan, letak tangga menuju lantai dua dimana kelasnya berada.
Theo hanya mendengus sebelum meneruskan perjalanan lurus hingga sampai di kafetaria.
Tempat itu masih sepi. Hanya sedikit orang yang tengah membeli makanan di sana. Ini cukup membantu Theo agar dia tak harus mengantri demi sepotong sandwich tuna.
Sekitar ada 6 kios yang menyediakan aneka makanan. Dari makanan berat hingga ringan , bisa dibilang semuanya lengkap. Theodore berjalan mendekati kios yang terletak paling ujung sebelah kanan. Dia harus berjalan cukup jauh, melewati lima kios lain dan tentu saja bangku-bangku yang berjejer. Merepotkan, namun Theo tak punya pilihan lain.
"Satu Sandwich Tuna lagi?"
Seorang pelayan wanita bertanya bahkan sebelum Theo menjabarkan pesanannya. Ini cukup menjelaskan seberapa sering dia memesan makanan yang sama, selalu, setiap hari.
"Ekstra mayo pedas.." Pemuda itu menambahkan.
Si pelayan wanita mengangguk dan menyuruh Theo untuk menunggu sambil duduk saja.
Jam bulat besar menggantung di dinding atas kafetaria. Jarum-jarum panjangnya menunjukkan hampir setengah delapan, yang berarti jam pelajaran pertama akan dimulai. Theo mendecak keras, menyadari bahwa perjuangannya melajukan sepeda motor seperti pembalap GP tak cukup membuatnya lepas dari kemungkinan terlambat. Harusnya, dia tak berhenti untuk menyapa Jean tadi, harusnya dia tak bertemu pemuda sialan itu yang hanya akan merepotkan dirinya saja.
Tetapi, layaknya jarum-jarum panjang dan pendek akan terus bergerak konstan tak berhenti ataupun berputar terbalik, Theo harus menelan fakta bahwa dia tak bisa mengembalikan waktu pada saat dimana Jean tak memergokinya tengah bersama Rachelle. Keadaan tak akan semerepotkan ini.
Asal tahu saja, Jean memang bisa diandalkan. Namun tak menutupi fakta bahwa pemuda itu adalah seorang berandal sejati.
Beruntung pesanannya selesai lebih cepat dari dugaan, atau ini karena dia terlarut dalam lamunan. Satu hal baik di pagi hari cukup menenangkan hati Theo. Setidaknya dia tak harus berdiri di selasar koridor karena telat masuk dengan alasan yang cukup konyol. Memesan sepotong sandwich tuna.
'PLUK!'
Theo meletakan —nyaris melemparkan— sandwich tuna tersebut tepat di atas pangkuan pemuda yang terlihat menikmati waktu kosong sebelum pelajaran dimulai dengan bermain game.
"HOY! Kau membuatku hampir kalah sialan!" pekik Jean tak terima. Dia mendelik ke arah Theo sekilas lalu kembali berfokus pada smartphone di tangannya.
"Dasar autis," Theo mencemooh sembari berpindah ke bangkunya yang kebetulan —atau mungkin sialnya— tepat berada di depan Jean.
Sejujurnya dia tak masalah berada satu kelas dengan Jean, kalau saja tidak setiap tahun. Sejak di sekolah dasar mereka selalu bersama, tak terpisahkan, seperti anak kembar. Namun Theo menolak mentah-mentah disamakan dengan si berandal Jean, terlebih lagi pemuda itu tak setampan dirinya dan tak sepintar dirinya.
Rasanya sangat membosankan ketika dia harus mendengar pekikan-pekikan tak masuk akal yang keluar dari mulut Jean. Kebanyakan berisi makian dan umpatan sebagai bentuk pelampiasan saat bermain game. Menurut orang lain itu memang wajar, tetapi tidak bagi Theodore. Dia lebih suka tenang dan itu jelas membantunya untuk lebih fokus mengalahkan lawan. Terlebih lagi, Theo tak ingin kedapatan berkata kasar ketika tak sengaja didatangi oleh Rachelle. Big No!
"BRENGSEK! Dia bersembunyi lalu menembaki ku dari jauh! Dasar PENGECUT!"
"Jadi mengumpat keras-keras seperti itu bukanlah pengecut yah? Mr. Hudson?"
Jean menoleh dengan wajah panik. Di depan kelas ternyata sudah berdiri seorang guru kimia bertubuh tambun yang tengah memegang penggaris kayu panjang. Benda itu sebentar lagi akan beralih profesi sebagai alat penghukum bagi siapapun yang melanggar peraturan. Jean meneguk ludahnya susah payah, dia tahu bahwa beberapa saat kedepan pantatnya akan memerah karena benda itu.
"Ma—maafkan saya pak!"
"Berdiri di luar dan angkat satu kaki. Jangan masuk sebelum pelajaran saya selesai," perintah guru itu mutlak.
Jean tak bisa berbuat apa-apa selain melakukan apa yang dikatakan guru tersebut. Berjalan keluar dengan lunglai. Bukan hanya dia, tapi seluruh murid tahu betapa disiplinnya guru kimia satu ini. Mr. Edward tak pernah main-main dalam ucapannya. Jika dia memberi hukuman push up lima ratus kali, maka harus benar-benar dilakukan. Meski tengah disibukkan dalam proses belajar mengajar, pria itu secara luar biasa dapat mengetahui bagaimana murid yang dia hukum melakukan kecurangan. Hukuman lebih buruk akan menanti setelahnya. Maka, Jean benar-benar harus berdiri satu kaki selama dua jam berturut-turut kalau tak mau mendapatkan hukuman lebih sadis lagi.
Sementara itu, Theo tak melepaskan pandangannya mengikuti sosok Jean yang menghilang di balik pintu. Bayangan pemuda ikal itu terlihat di jendela yang mengarah ke koridor, tengah kesusahan menyeimbangkan posisi tubuhnya dengan satu kaki sebagai tumpuan. Theo meringis prihatin, meskipun dia juga merasa puas karena karma sedang berlaku untuk Jean.
Langit terlihat cerah di luar sana, kebiruan dengan sedikit awan putih menghiasi. Lukisan alam indah untuk mengawali hari ini. Tetapi tentu saja tak seindah Bidadarinya.
Daripada memperhatikan papan tulis di depan, Theo lebih suka melihat bagaimana pohon-pohon diluar sana bergerak perlahan tertiup semilir angin. Cerah serta hangat namun tak terlalu panas, hembusan angin membuat keadaan diluar sana menjadi sejuk. Bukankah ini hari yang baik untuk berjalan-jalan bersama kekasih?
Theo tersenyum lebar setelah mendapatkan ide cemerlang itu. Dia melirik beberapa kali ke arah depan, sedangkan tangannya sudah bergerak dengan lincah di bawah laci meja. Jemarinya mulai mengetik di layar smartphone tanpa kesulitan, seakan punya mata sendiri.
[]Setelah pulang sekolah, ayo kita kencan!
[]To: My Angel