"Ah~ Sial.. Kaki ku seperti mau copot rasanya~" Jean mengeluh sambil memijit kaki kanannya yang pasti tak akan bisa digunakan selama beberapa hari. Kakinya sudah mati rasa dan kebas sampai-sampai tak lagi dapat merasakan sakit karena berdiri sangat lama.
Theodore ada di dekatnya, menggeleng beberapa kali lalu menghela nafas. "Aku sudah mengingatkan," ujarnya.
"Mengingatkan bagaimana? Kau hanya mengumpat lalu pergi"
"Oh, ku kira kau tak dengar."
Jean terlihat kesal, tapi dia tak lagi membalas ucapan Theodore. Hanya menyibukkan diri pada kaki kanan, memijitnya beberapa kali lalu meringis karena perlahan rasa sakit kembali muncul.
"Kau terlihat menyedihkan."
"Berisik!"
Kalau saja kakinya sekarang sudah normal, Jean dengan senang hati akan melayangkan tendangan tepat di wajah Theodore. Atau, kalau dia bisa berdiri sebentar saja, kepalan tangannya sudah mampu menggeser rahang pemuda berambut kecoklatan.
"Makanya, ku bilang kau harus cari kekasih, jangan hanya menggoda para gadis saja." Theo memulai sesi ceramahnya yang akan semakin terlihat menyebalkan karena pemuda itu tak menatap, hanya menunjukkan punggungnya saja.
"Ini tak ada hubungannya dengan mencari kekasih."
"Tentu saja ada!" Theo berbalik badan. "Kalau kau punya kekasih, pasti hidupmu akan lebih terawat. Akan ada seseorang yang nantinya mengingatkan tentang tugas sekolahmu, mengajarimu pelajaran yang tidak kau mengerti, membuatkan bekal makan siang—"
"Kau sedang membicarakan dirimu sendiri huh?"
"Aku ingin kau lebih peduli pada hidupmu sendiri bung~"
"Lebih baik begini daripada aku menjadi bodoh oleh cinta, seperti orang di hadapanku ini."
"HEY!"
.
"Kalian berdua yang di belakang sana! Berhenti bermain dan cepat ganti baju, jam olahraga akan segera dimulai."
Perdebatan tidak jelas kedua pemuda di bangku belakang terpaksa berhenti berkat semburan sang ketua kelas di barisan depan yang ternyata sudah memakai seragam olahraga. Begitu juga dengan anak-anak lainnya. Tinggal tersisa Theodore dan Jean.
"Lihat, karena kau, aku jadi lupa untuk ganti baju juga." Theodore segera mengeluarkan seragam olahraga di dalam loker yang terletak di belakang ruang kelas.
"Sial," Jean juga bergegas pergi ke arah loker tempat dimana seragam olahraga tersimpan sebelum meringis kesakitan, hanya beberapa detik setelah mengangkat tubuhnya. "Ugghhh..." yang bisa dia lakukan hanyalah mencengkram kuat betis kaki kanan ketika keram mulai menjalar di bagian itu.
"Hey bung-" Theo telah selesai berganti pakaian, menatap kondisi temannya yang cukup memprihatinkan. "Jangan paksakan dirimu, lebih baik ke UKS saja. Aku akan bilang pada guru bahwa kau sedang sakit."
"Astaga, siapa kau sebenarnya? Alien yang sedang menyamar sebagai TJ?" Jean masih tetap mengeluarkan kalimat bernada mengejek meskipun kondisinya terlihat menyedihkan.
"Sudahlah, jangan keras kepala, setidaknya untuk saat ini saja."
Setelah selesai bicara, Theodore merangkul bahu Jean dan mmenyematkan lengan pemuda itu untuk melingkar di lehernya. Sedikit kesusahan pada awalnya karena Jean bersikukuh mengelak dan dengan keras kepala ingin pergi ke UKS sendirian. Yang mana selalu gagal saat langkah pertama, kaki kanannya bahkan tak terlalu menapak pada lantai dan dia sudah mengadu kesakitan.
Tiba-tiba sudah mendapati dirinya berada di atas ranjang UKS. Tempat ini lebih dingin daripada ruang kelas mereka. Tentu saja karena tak ada siapapun di dalam sini selain mereka berdua, beberapa saat lagi hanya tinggal dia sendirian saja karena Theo sudah harus kembali pada pelajaran olahraga.
"Hoy, sana pergi saja," titah Jean ketika melihat pemuda lainnya tampak sibuk mengubek-ngubek laci meja juga lemari gantung di atasnya.
"Di sini tak ada obat apapun."
"Makanya, sana pergi, kau tidak berguna kalau hanya mencari hal yang tidak ada," Jean melambaikan telapak tangannya, mengusir. "Lebih baik kau cepat keluar kalau tak ingin dianggap bolos. Lagipula kau juga harus mengatakan kalau aku sedang sakit, bukan?"
"Ah, benar."
Barulah setelah mendengar penjelasan dari temannya, Theodore Anderson segera keluar dari ruang Unit Kesehatan Sekolah, meninggalkan satu pemuda di dalam sana sendirian.
"Dasar bodoh.."
Jean menggeleng pelan, menatap sosok Theodore yang terakhir kali dilihat berjalan tergesa-gesa di selasar depan pintu. Keberadaannya tinggal sendirian saja di dalam sini, yang mana berarti dia tak perlu memasang tampang datar demi menutupi rasa perih di kakinya.
Jean menyadari bahwa ucapan Theodore ada benarnya. Sudah seharusnya dia memiliki seseorang sebagai pendamping yang akan selalu memperhatikan setiap detail kecil di hidupnya. Mengingat, dia sendiri bukanlah tipikal orang yang terlalu peduli pada apa yang terjadi di kehidupannya, asal tak ada masalah.
Namun, setiap manusia, setiap orang pasti punya saat dimana dirinya terlalu lelah untuk menata hidupnya sendiri. Peran serta orang lain akan sangat membantu, meski hanya sekedar memberi perhatian kecil. Misalnya mengingatkan sudah makan atau belum.
'Kruyuuuuk~'
"Hah, sialan, aku lupa memakan sandwich tuna itu."
.
.
.
.
.
Pada akhir jam pelajaran, seluruh mahasiswa berbondong-bondong keluar dari ruang kelas. Terkecuali gadis berambut hitam panjang yang tengah terkantuk-kantuk sembari bertopang dagu pada sikutnya. Isi kelas hampir kosong ketika seorang pria, berambut pirang pucat berjalan mendekat ke arah gadis itu, dan duduk tepat di sampingnya.
Tak ada pembicaraan yang terjadi. Si gadis masih berada di alam mimpi sedangkan pria tak dikenal itu menirukan pose si gadis, menopang dagu dan memperhatikan wajah si gadis lekat-lekat. Senyum kecil tersungging di wajahnya.
Beberapa waktu berlalu tanpa suara. Keheningan yang hangat terjalin ketika pemuda berambut pirang mulai membelai wajah gadis itu, tentunya dengan perlahan, tak ingin mengganggu tidurnya.
Tak lama ponselnya bergetar. Si pemuda langsung mematikan notifikasi agar suara berisik itu tak membangunkan gadis di hadapannya. Dia memeriksa ponsel sekilas, lalu raut wajahnya langsung berubah gusar. Apapun yang dia lihat berhasil membuat suasana hatinya menjadi buruk.
Maka, dia berdiri setelah mengantongi lagi ponselnya, menatap gadis yang masih lelap tidur dan tersenyum.
Sebelum pergi, dia meletakan sebatang lolipop dengan pita berwarna ungu tepat di atas buku tulis si gadis yang masih terbuka. Dengan berat hati meninggalkan ruang kelas yang hanya diisi oleh gadis itu.
'Drrrrttt~ Drrrttt...'
Getaran ponsel tersebut rupanyan cukup kencang hingga membuat gadis itu terganggu dalam tidurnya. Kelopak mata yang sedari tadi menutup perlahan terbuka, dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk menghilangkan efek buram karena terlalu lama terpejam.
'Drrrrrttt~ Drrrrrrrtt~'
Getaran ponsel tersebut belum berhenti, setidaknya sebelum gadis itu membuka notifikasi.
Rachelle sukses terbangun dengan kepala agak pening. Dia mengitari pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
Sepi.
Hanya ada dia seorang diri di dalam kelas yang kosong. Lumayan seram. Namun suara getaran yang berasal dari ponselnya berhasil menarik perhatian Rachelle. Dia mengeluarkan benda persegi —yang kini sudah berhenti bergetar— membaca pesan dari seseorang yang sangat ia rindukan.
Dia sudah akan bersiap untuk keluar sebelum menyadari ada sebuah permen lolipon tergeletak tepat di atas buku tulis. Entah siapa yang memberikan, atau mungkin saja dia lupa telah membeli permen itu sebelum mengikuti pelajaran.
Tak mau ambil pusing, Rachelle memasukan permen itu ke dalam tasnya juga sebelum meninggalkan ruangan ini.