Langit cukup cerah meski diselimuti oleh bergumpal-gumpal awan di atas sana, putih bersih tak menandakan turun hujan sama sekali. Angin berhembus pelan tapi konsisten, agak mengganggu karena menerbangkan lembaran kertas pada sebuah buku yang tengah dibaca.
Theo tak mempermasalahkan hal itu, malahan dia sangat berterimakasih. Berkat hembusan angin, dia jadi bisa mencium aroma Citrus menyegarkan yang dapat membuat bola matanya melebar sempurna.
"Jadi, sosok Christopher Columbus adalah penemu Benua Amerika. Itu yang biasa diketahui oleh masyarakat umum, tapi sebenarnya bukan dia orang yang pertama kali menemukannya, -Tolong perhatiannya, jangan melamun," Hardikan Rachelle masih terdengar cukup halus.
Terbukti karena Theo sama sekali tidak takut dan malah semakin melebarkan senyumnya. "Sudah kok," ujarnya dengan cengiran lebar. "Aku sudah memberikan seluruh perhatianku padamu~"
Si Bidadari menatap sejenak lalu kembali melanjutkan bacaannya, meski raut gugupnya tak bisa disembunyikan. "Ja-jadi sebenarnya orang yang pertama kali menemukan benua Amerika adalah—"
Kalimat selanjutnya tak lagi dapat masuk ke telinga Theo karena pemuda itu sudah hanyut dalam pikirannya sendiri sambil memandangi paras menakjubkan Bidadari-nya. Hah, dia bahkan sudah melakukan klaim sepihak tentang kepemilikan gadis itu diam-diam. Theo tak bisa mengalihkan pandangannya barang sedetik saja dari gadis beraroma citrus, dia sudah terlalu terhanyut sampai-sampai lupa menanyakan nama si gadis.
"Bagaimana? Sampai sini paham?"
"Paham~"
Si gadis Bidadari meletakan buku bacaan dan menegakkan posisi duduknya. "Jangan bohong, sedari tadi tatapanmu kosong, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Yang ku pikirkan?" Theo memiringkan kepala, pura-pura berpikir lalu tersenyum mencurigakan. "Tentu saja kau~"
"Hahahaha~"
Theo senang bukan kepalang ketika mendapati gadis itu tertawa setelah mendengar perkataannya. Padahal hanya tawa biasa, tapi terdengar sangat berbeda di telinga Theo. Seperti alunan harpa dari surga, menenangkan hati serta pikirannya. Tawa si Bidadari lebih memabukan daripada minuman beralkohol, meski Theo belum pernah mencobanya.
"Sudah, jangan bercanda lagi. Kau harus secepatnya mengisi kuesioner," ujar si Bidadari mulai berhenti tertawa, walau masih ada sisa tawa kecil yang keluar dari celah bibir berwarna peach. Rasanya Theo sudah mulai gila karena memperhatikan bagian terkecil dari wajah gadis ini.
"Iya iya.. baiklah.. Untukmu aku akan menyelesaikan dengan cepat," sahut Theo sangat optimis. Bola matanya berkilat penuh ambisi. Ambisi untuk mendapatkan pujian atau tawa lembut gadis indah ini.
"Bagus~ Bagus.." Gadis itu menjulurkan tangannya, menepuk ringan pucuk kepala Theo yang langsung memunculkan semburat merah muda di wajahnya. "Kalau kau berhasil mendapatkan nilai sempurna, aku akan berikan sebuah hadiah~"
"Sungguh?"
Theo sudah persis seperti anak anjing dengan ekor yang bergerak-gerak tanda kegirangan.
"Iya, aku berjanji~"
Kesepakatan tanpa tanda tanga di atas materai. Tak ada yang tahu ketepatan dari janji itu. Sekedar ucapan manis di mulut saja. Namun, ini sungguh berarti bagi Theo. Dia menganggap ini adalah penentuan puncak dari usaha pendekatan yang baru saja dia lakukan. Bisa dibilang, Theo sudah terlalu buta untuk mencurigai perihal janji khas anak kecil yang hanya berlandaskan rasa percaya. Benar, dia sudah sangat mempercayai ucapan si gadis Bidadari meski tak tahu namanya, ataupun tak tahu kenapa gadis itu bisa masuk ke Pavilliun belakang, dimana hanya keluarga dan kerabat saja yang diperbolehkan memasuki kawasan rumahnya.
Theo benci sejarah atau apapun yang berhubungan dengan hafalan. Dia bisa langsung menyerah jika harus melakukan tes lisan mengenai pengetahuan umum yang harus menggunakan ingatan. Theo pikir, otak bagian penyimpanan memori tak terbentuk secara sempurna saat dia masih di dalam kandungan. Semua protein atau vitamin terserap secara keseluruhan ke otak bagian kiri. Membuatnya tak mudah larut dalam candaan. Obrolan ringan? Big No! Theo lebih suka mengatakan secara terang-terangan.
Namun sekarang, baru saja dia seolah merasa menjadi orang lain.
Sebuah pelangi telah muncul dalam isi kepalanya, menggantikan awan mendung yang menghalangi pikiran terbuka miliknya. Sekarang, bahkan hanya memandang pohon-pohon tak berbuah membuatnya seketika menjadi pujangga dengan baris-baris kalimat puitis. Dunia yang selama ini tampak biasa-biasa saja, berubah 180 derajat lebih indah. Pengaruh dari Bidadari di sampingnya sangat kuat.
"Yash!" Theo mengangkat lembar jawaban tinggi-tinggi, senyumannya lebar nyaris sampai ke telinga, menjadi pertanda bahwa dia telah selesai memberikan jawaban.
"Sudah?"
Theo mengangguk antusias beberapa kali. Lembar jawaban telah berpindah tangan pada si gadis cantik yang mulai memindai jawaban dengan manik mata paling cerah -dalam pandangan Theo terlihat begitu.
"Lihat, kalau kau sungguh-sungguh belajar pasti bisa menjawab dengan benar~"
Theo tak peduli dengan hasil jawaban, dia melakukan semuanya agar mendapat tepukan lembut di pucuk kepala serta pujian yang mampu menerbangkannya hingga angkasa. "Jadi, bagaimana dengan hadiahnya?" tanyanya kemudian. Terlihat sekali jika dia memang mengharapkan janji dari gadis tersebut.
"Hadiah yah.." gadis itu memasang pose berpikir dengan mengerutkan kedua alis yang terlihat begitu menggemaskan di mata Theo. "Sebenarnya aku belum mempersiapkannya secara matang. Tapi sebagai gantinya, kau bisa meminta apapun yang kau mau.."
"Sungguh?"
"Iya, asal aku mampu memberikannya, tentu akan ku berikan."
Ini adalah kesempatan emas yang tak akan datang dua kali. Kalau tidak melakukannya sekarang, bisa saja dia sungguh tak akan pernah mendapatkannya sama sekali. Meski begitu, Theo memikirkan banyak kemungkinan jika saja dia salah mengambil langkah. Terburu-buru bukanlah hal baik dalam mengambil suatu keputusan, apalagi yang cukup besar seperti sekarang.
"Siapa namamu?"
"Hanya itu saja?"
"Tidak!" tukas Theo secepat kilat. "Kita sudah seakrab ini tapi aku sama sekali belum mengetahui namamu, jadi..."
"Rachelle, itu namaku," sahut si gadis Bidadari tanpa melunturkan senyumannya.
Theo pikir, dia harus sesegera mungkin ke rumah sakit untuk memeriksa kadar gula dalam darah. Senyuman Rachelle si gadis bidadari sungguh, sangat, benar-benar manis. Demi Tuhan, kalau dia adalah semut, dia pasti akan mengikuti kemanapun langkah Rachelle pergi. Tidak peduli jika besar kemungkinan terinjak.
"Rachelle, nama itu cocok denganmu, sama-sama indah.."
Baiklah, sekarang Theo sudah mendedikasikan dirinya menjadi seorang Cassanova dengan ribuan kata-kata rayuan khusus untuk memuji sosok anggun di sampingnya. Padahal, dia bukanlah orang yang peduli dengan arti nama, bahkan namanya sendiri pun tak pernah ia pedulikan. Theo hanya ingin memuji Rachelle saja.
"Yah? Terimakasih. Jadi apa permintaanmu?"
Theo sangat menyukai ekspresi apapun Rachelle. Sekalipun gadis itu hanya bernafas. Apalagi sekarang gadis itu tengah tersenyum malu-malu dengan rona merah muda menjalar di seluruh pipinya. Astaga! Tolong panggilkan paramedis, Theo merasa jantungnya sudah tak bisa dikendalikan lagi.
Theo mengambil nafas panjang. Mengisi rongga paru-paru hingga menggembung sebelum mengatakan keinginannya.
"Rachelle... maukah kau menjadi pacarku?!"
Bola mata Rachelle terbelalak sempurna setelah mendengar pernyataan mendadak yang diserukan lewat satu hembusan nafas.