Kecupan tadi terlepas, namun Theo tak benar-benar menjauhkan wajahnya, dia hanya mundur sejauh lima senti agar dapat melihat ekspresi wajah gadis di depannya.
Semburat merah sudah menutupi seluruh wajah Rachelle. Pahatan wajahnya nyaris sempurna meski dengan kelopak mata yang tertutup rapat. Theo tersenyum lembut sebelum kembali menempelkan bibir mereka. Kali ini bukan hanya sekedar menempel, bibirnya bergerak memagut bibir bagian bawah si gadis. Respon Rachelle yang tak menolak, menjadikan Theo lebih berani bertindak. Padahal dia sudah sangat siap dengan kemungkinan mendapat tamparan atau di dorong oleh gadis itu, tetapi yang Rachelle lakukan hanya diam dan lama-kelamaan justru mulai ikut menggerakkan bibirnya. Terhanyut dalam permainan lidah mereka.
Cukup lama bibir mereka saling memagut, menghisap dan membelai satu sama lain. Bahkan tangan Theo sudah berada di tengkuk gadis itu, menahan agar semakin memperdalam ciuman. Sedangkan tangan Rachelle meremas kuat baju bagian depan Theo.
Rachelle mulai merasakan kadar oksigen di dalam paru-parunya menipis lantas segera mendorong bahu si pemuda tinggi. Theo sadar dan langsung melepaskan tautan bibir mereka. Meninggalkan jejak berupa garis tipis saliva yang menghubungkan kedua lidah mereka.
Ciuman basah dan panas.
Setelahnya, Rachelle buru-buru menarik nafas, mengisi kembali rongga paru-paru yang telah kosong dengan oksigen.
Theo memandang wajah gadis itu telah memerah akibat terlalu lama menahan nafas, atau karena hal lain, misalnya tentang ciuman yang cukup mengejutkan. Dia mengulurkan tangan, menggunakan ibu jarinya untuk menghapus jejak saliva yang tertinggal di bibir Rachelle yang merah dan menebal, jelas karena ulahnya. Theo tersenyum begitu lembut meskipun tak dapat dilihat oleh gadis di depannya yang sibuk menatap lantai.
"Apa lantai itu begitu menarik daripada aku?" tanya Theo.
Rachelle terkesiap, namun bukannya menjawab, gadis itu justru mulai menjauhkan diri dan hendak melangkah pergi. Sebelum itu terjadi, Theo dengan sigap langsung menahan tubuh Rachelle. Memeluknya dari belakang dengan cukup erat.
Pemuda itu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Rachelle, menghirup aroma memabukkan yang semakin membuatnya tak bisa melepaskan gadis itu. "Ku mohon.. jangan pergi.." ujarnya sangat lirih.
"Kita tidak boleh begini," sahut Rachelle, suaranya terdengar rendah. Dia pun sama putus asa nya dengan Theo, status mereka membuatnya teramat sulit menentukan pilihan. Hati terkecilnya berontak, dia ingin mengiyakan ucapan pemuda di belakangnya, hanya saja dia memiliki tanggung jawab yang lebih penting ketimbang apapun juga. Masalah percintaan bukanlah hal penting yang harus di perjuangkan, setidaknya untuk saat ini.
"Aku janji tidak akan mengatakan apapun mengenai hubungan kita pada siapapun, tapi ku mohon, tetaplah bersamaku." Suara Theo sudah sepenuhnya pecah, bibirnya pun ikut gemetar menahan tangis yang mungkin saja akan pecah. "Aku... Aku membutuhkanmu.." Dia memohon dalam keputus-asaan.
Rachelle diam cukup lama. Tak ada jawaban apapun keluar dari mulutnya. Dia tak mengiyakan, tak juga menolak. Isi kepalanya tengah berkecamuk, banyak sekali ke khawatiran di dalam sana. Kemungkinan-kemungkinan buruk mengenai apa yang akan terjadi jika dia mengiyakan ucapan Theo, tentang bagaimana dia bisa menghidupi keluarganya, atau tentang masa depannya. Hidup itu bukan tentang cinta, dia selalu mengatakan itu keras-keras setiap kali merasa iri pada beberapa gadis seusianya yang telah mendapatkan kekasih. Sedangkan dirinya harus bersusah payah mencari lembaran uang untuk membiayai hidupnya. Dan, ketika kesempatan emas akan masa depannya mulai cerah, dia malah jatuh padah pesona remaja lelaki yang bahkan baru dia kenal.
Tak pernah terpikirkan akan berada di situasi paling membingungkan seperti saat ini. Rachelle tahu bahwa dia bisa dengan mudah melepaskan pelukan Theo dan pergi dari tempat ini. Namun tubuhnya menolak melakukan itu. Hatinya tengah meragu.
"Janji tidak akan bilang siapa-siapa?"
Harusnya bukan kalimat itu yang keluar dari mulutnya, Rachelle jelas menyadari kesalahannya tersbeut. Meskipun pikiran rasionalnya menolak dengan keras, dia tetap tak menarik kembali ucapannya. Entahlah, dia sendiri juga tak tahu kenapa bertindak demikian. Seakan tubuhnya telah diambil alih oleh sesuatu, membuatnya menjadi sosok lain. Sosok bodoh yang lebih mementingkan perasaan daripada kerasionalan.
"Iya! Iya! Aku berjanji tak akan mengatakan pada siapapun, termasuk Ayahku. Kalau itu membuatmu tetap berada di sisiku, aku akan lakukan semua yang kau mau!" jawab Theodore bersemangat, dia mengangguk tegas beberapa kali.
Pemuda itu serius dalam ucapannya, Rachelle mengetahui dari bagaimana cara Theo menatapnya penuh kesungguhan, satu-satunya hal yang dapat dia lihat adalah pantulan wajahnya sendiri di balik bola mata coklat kekuningan di depannya. Rachelle bersumpah bahwa itu adalah sepasang mata dengan binar paling cerah yang pernah dia lihat sepanjang hidup. Mata adalah jendela dunia, istilahnya begitu, beberapa orang mudah ditebak dari bagaimana sorot tatapannya mengarah. Rachelle memang bukan ahli mikro ekspresi yang bisa membaca sifat seseorang, tetapi setelah melihat bola mata pemuda itu, seketika seluruh keraguannya menguap, bersamaan dengan hatinya menghangat.
Kehangatan yang juga menjalari kedua belah pipi, membuatnya memunculkan rona merah mudah.
"Baiklah, aku tak akan pergi darimu, selama kau bisa menjaga janji itu.."
Kemudian, dalam hitungan sepersekian detik, Rachelle merasakan lengan besar merengkuh tubuhnya dengan hangat.
"Terimakasih..... Terimakasih.... Aku janji tak akan mengecewakanmu~" racau Theo. Suaranya sedikit tak jelas karena tertutupi oleh isakan dan wajahnya yang tengah tersembunyi di balik ceruk leher si gadis. Mungkin, baginya sekarang, perpotongan leher Rachelle adalah tempat persembunyian paling aman yang bisa membuat hatinya menjadi tenang seketika.
.
.
.
.
.
.
Di ujung sana terlihat sosok gadis berambut hitam, tampak memainkan ponsel sambil menunduk. Theo yang melihat itu langsung memacu sepeda motor berwarna hitam pekat dengan cepat ke arah sana. Senyuman lebar masih mengembang menambah kadar ketampanan di wajahnya, meskipun tertutupi oleh Helm. "Maaf, kau pasti menunggu lama~" ujarnya setelah membuka kaca berwarna hitam.
Gadis dengan kecantikan setara Bidadari itu tersenyum, tidak terlalu lebar tapi terlihat sangat manis, menambah keindahan yang memang sudah terpahat sempurna pada parasnya. Kecantikan yang setara denan Dewi Aphrodite.
"Kenapa harus minta maaf? Justru ini salahku karena selalu merepotkanmu—" Ucapan si gadis terpotong saat Theo tengah memasangkan helm berukuran lumayan kecil di kepalanya. "—Kau tak perlu melakukan ini, lagipula jarak kampusku berlawanan arah dengan sekolahmu kan."
Terdengar bunyi 'Klik', tanda bahwa pengait helm telah di kunci secara kuat. Theo tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada kekasihnya, berkendara dengan sepeda motor terbilang tak terlalu aman, apalagi di jalanan kota yang cukup padat. Sayangnya, dia masih belum mendapat SIM untuk kendaraan beroda empat.
"Aku tak mau membiarkanmu terlambat, ini kan hari sidang skripsimu," Theo tersenyum sambil mengelus pipi Rachelle. Hal yang paling dia suka setelah suara lembut gadis itu adalah rona merah muda yang menjalar ke telinga saat Rachelle kedapatan salah tingkah. Theo semakin bangga karena dia lah penyebab semburat merah itu.
"Pegangan yah.." ujar pemuda tinggi itu sambil menarik tangan gadis di belakangnya agar melingkari perutnya.
Alasan lain kenapa Theo belum mendapatkan SIM mobil, karena dia sendirilah yang menundanya. Dia lebih menyukai momen dimana Rachelle akan memeluk dari belakang saat dia membelah jalanan. Dari jarak sedekat ini, dia bisa mendengar dengan jelas debaran jantung gadis itu yang menempel di punggungnya.